Share

Partner Ranjang

Melihat Maria yang tak pandai memotong stik, terpaksa Mark memberi potongan miliknya.  "Ambillah, kau hanya akan menghambat tidurku," cetus pria itu.

"Terimakasih." Mark memang pria arogan sekaligus misterius. Namun, dibalik sifatnya itu rupanya masih tersimpan rasa simpatik.

Dua anak manusia beda generasi itu makan dalam diam. Hanya suara deru hujan yang menemani mereka. Maria masih belum terbiasa dengan jenis makanan yang tersaji. Rasanya memang sungguh nikmat, tetapi tidak mengenyangkan.

Dahulu kedua orang tuanya menyiapkan roti serta daging ayam sebagai menu makan malam mereka. Keluarga kecil nan sederhana itu menghabiskan makanan sesuka hati. Berbeda dengan Mark yang makan dalam porsi sedikit.

Seperti kebanyakan orang kaya, usai makan malam mereka langsung menikmati wisky sebagai hidangan penutup. Tak lupa pula buah-buahan melengkapi.

Mark menekan tombol di sebelah kiri meja. Lima menit kemudian datanglah seorang pelayan dengan sepiring stik dan juga kentang goreng. Tak lupa pula roti keju mozarela turut serta.

Semua menu itu disajikan untuk Maria. Seolah tahu, bahwa gadis itu masih lapar. "Ini untukku?" tanyanya.

"Jika kau lihat makanan itu tersaji di depanku, maka itu untukku," sahut Mark ketus. Sehingga membuat Maria berdecak kesal. Namun, dalam hati ia berterimakasih. Setidaknya malam itu ia bisa makan sesuka hati.

Mark mengambil alih stik Maria untuk dipotongnya. Lantas memberi kembali pada gadis tersebut. "Makanlah," titahnya.

"Terimakasih." Mereka pun kembali makan dengan khidmat. Seolah melupakan perjanjian di antara mereka. Sepertinya rasa lapar sukses menyita perhatian dua anak manusia itu.

"Nikmatilah makananmu, aku mau mandi," ucap Mark setelah menghabiskan makannya. Alhasil membuat Maria seketika turut berhenti. Pikirannya mulai berkelana. Membayangkan apa yang hendak dilakukan Mark menjelang tidur.

"Apakah makanan ini hanya sebagai umpan? Sial! Bukankah seekor kambing sebelum disembeli harus diberi makan terlebih dahulu? Apakah aku juga demikian?" pikir Maria semakin menjadi-jadi.

Merasa resah, akhirnya gadis itu menyudahi makan malamnya. Menyisakan setengah daging. Padahal beberapa saat lalu wanita itu masih merasa lapar yang luar biasa.

"Aku harus bagaimana sekarang? Apakah aku harus menyiapkan diri juga?" Maria kian gelisah mengingat kesepakatan antara dirinya dan Mark. Dalam hati perempuan berdarah manis tersebut berharap dapat memutar waktu agar kembali seperti dulu lagi.

Hampir setengah jam Maria berkelana dalam dunia khayal. Sampai akhirnya Mark keluar dari kamar mandi dengan wajah segar lagi wangi. Alhasil Maria terkesima oleh penampilan pria tampan tersebut.

Mark memang merupakan lelaki gagah nan menawan. Banyak wanita yang menginginkannya. Namun, Maria masih tahu diri, bahwa ia bukan berasal dari dunia pria tersebut. Di sisi lain, usia di antara mereka cukup jauh, yakni tujuh belas tahun.

Mengingat itu, kesadaran Maria mulai kembali. Ia berdecak menelan salivanya. "Apa kau tiba-tiba sakit gigi? Mengapa belum menghabiskan makananmu? Bukankah setelah ini tugasmu berikutnya adalah menemaniku tidur?" Mark sungguh pandai membuka topik yang sukses membuat Maria senam jantung.

Lidahnya benar-benar lincah. "Tidur bersama? Pria ini pasti sudah gila!" gumam Maria.

"Cepat habiskan makanmu. Lalu mandilah. Aku tidak suka wanita berbau daging sapi!" Lihatlah betapa tajamnya ujung lidah Mark. Hingga Maria berdecak kesal alih-alih kagum padanya.

Gadis malang itu tidak menyahut. Ia menyudahi makan malam itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa canggung sekaligus takut.

"Mandi saja di sini, aku sudah menyiapkanmu pakaian." Lagi-lagi Maria dibuat tercengang tak percaya. Bagaimana bisa Mark menyiapkan segalanya dengan begitu sempurnah?

Maria datang ke rumah itu dengan tangan kosong. Hanya pakaian di badan yang menjadi satu-satunya milik perempuan tersebut.

"Tidak! Aku mau mandi di kamarku. Bukankah Anda telah menyiapkan segalanya di sana untukku?" sahut wanita itu dengan gemetar.

Lagi-lagi ia meremas jemarinya. Ada peluh di sudut kening mulai bercucuran. Padahal cuacanya sedang dingin akibat dari derasnya hujan.

Belum sempat Mark menyahut, Maria meninggalkan kamar itu terlebih dahulu. "Huft. Pria itu benar-benar membuatku takut." Setibanya di kamar, Maria mengembuskan napas lega, walau setelah ini ia harus melayani Mark.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Benarkah kesucian yang selama ini ku pertahankan dengan susah payah akan berakhir begitu saja di tangan pria yang bukan suamiku? Ya Tuhan, sebenarnya takdir apa yang sedang Kau mainkan? Mengapa peran-MU masih belum aku rasakan? Aku benar-benar takut, Tuhan." Maria mulai emosional. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah ruah.

Lantas ingatan wanita itu berkelana pada kedua orang tuanya di desa. Entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

"Maafkan aku, Ma. Mama pasti kecewa padaku begitu tahu pekerjaan ini. kalian pasti tak akan pernah memaafkan diriku. Namun, percayalah, bahwa aku tak punya pilihan lain," lirih Maria masih menitihkan air mata.

"Mengapa kau masih belum siap? Apa kau sedang memikirkan rencana untuk melarikan diri?" Tiba-tiba Mark masuk ke dalam kamar Maria. Padahal suara pintu pun tidak terdengar sama sekali.

"Tuan Mark?" gumam wanita itu.

"Ya, ini aku," sahutnya dengan tatapan menakutkan.

Maria menelan salivanya dengan susah payah. Betapa tidak, saat ini Mark tengah mengenakan jubah mandi yang sama. Dengan rambut setengah basah, pria itu terlihat sungguh mempesona. Namun, bukan itu intinya. Melainkan rasa tidak nyaman yang dimiliki oleh darah cantik tersebut.

Mark mulai melangkah pelan mendekati Maria. Sedangkan gadis itu mundur secara perlahan.  Sialnya, tubuhnya tak mampu menembus kuatnya ranjang. Alhasil ia pun terjatuh di atas tempat tidur tersebut.

Posisi Mark semakin mendekat. Bibirnya diarahkan ke kuping Maria, hingga membuat gadis malang itu kian ketakutan.

ia pun menutup mata, tak berani menatap netra tajam Mark. "Aku tidak suka menunggu," bisik Mark akhirnya.

Maria terkesiap membuka mata. Dilihatnya wajah Mark yang sungguh dekat. Sialnya, wajah lelaki itu benar-benar tampan dan karismatik. Tak ada pori-pori sama sekali. Sebagai seorang pria, ia terlalu sempurnah fisiknya.

"Bersihkan tubuhmu. Kau benar-benar bau daging sapi!" Mark menarik diri sembari mencela aroma tubuh gadisnya.

"Tunggu apa lagi? Apa kau ingin ku bantu membersihkan diri?" imbuh lelaki itu.

"Tidak!"

"Kalau begitu jangan membuatku menunggu!" tukas Mark mulai kesal.

Sontak Maria masuk ke dalam kamar mandi. Lantas memegang dadanya yang berdegup kencang. "Pria itu benar-benar menakutkan," gumamnya.

Sementara itu, Mark kembali ke dalam kamarnya menanti Maria di sana. "Baiklah, aku paham. Kau kirim data itu lewat email. Aku akan memeriksanya di sana." Setibanya di kamar, Mark menerima panggilan telpon dari seseorang terkait bisnis yang ia geluti.

Mark merupakan pendiri perusahaan telekomunikasi, jual beli saham, dan juga perhotelan. Bisnisnya mulai menggurita saat ia berusia dua puluh tiga tahun. Sudah lebih dari satu dekade ia menggeluti bisnisnya.

Tujuh tahun lalu ia mendirikan rumah sakit yang diberi nama 'Cleopatra Hospital.' Dan masih banyak lagi cabang usaha yang ia geluti. Maka tak heran bila ia melahirkan pundi-pundi uang yang tak sedikit setiap hari. Sehingga menjadikannya sebagai orang terkaya di kota tempatnya bermukim.

Bukan hal mustahil pula bila ia sanggup menebus Maria dengan angka dua belas digit.

"Tuan." Maria.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status