Pukul delapan malam ketiganya tiba di kediaman keluarga Bara El Pasha yang terkenal megah. Rumah bak istana itu membuat Amira membelalakkan matanya, ia takjub. Ia menghela napasnya, menoleh sejenak ke samping untuk mengalihkan pandangannya.
Sementara itu Sam yang berada di mobil belakang ikut resah. Pasalnya, hampir lima belas menit mobil di depannya tak ada tanda-tanda akan keluar. Sam takut terjadi sesuatu dengan Amira, untuk itu ia memilih keluar dari dalam mobil miliknya lalu mengetuk kaca jendela mobil Keenandra."Ada apa?" tanyanya menyelidik. Sam mengintip ke dalam mobil memastikan semuanya aman. Keenandra menggelengkan kepalanya lalu membuka pintu mobil disusul oleh Amira. "Sudah malam. Lebih cepat kita ketemu lebih cepat pulangnya.""Kamu sudah siap?" Amira mengangguk. Keduanya membuat pintu mobil dan melangkah bersama menuju pintu besar rumah itu. Amira mengeratkan genggaman tangannya pada Keenandra. Wajahnya terlihat pucat tapi ia berusaha meDua minggu menjelang pernikahan, Keenandra dan Amira sangatlah sibuk. Mereka sulit sekali bertemu. Bahkan untuk sekedar makan siang saja mereka tak bisa meluangkan waktu. Keenandra sedang sibuk dengan pemindahan bisnisnya yang terus mengalami penurunan, sedangkan Amira tengah sibuk meneliti dan memastikan pengelolaan bisnisnya. "Hah ..." Keenandra menghela napas kesal. Pena yang tengah ia genggam dibuangnya. Sudah hampir lima hari dirinya tak bisa melanjutkan pembangunan untuk proyek barunya karena terhalang izin. "Seharusnya itu bukan kamu yang pegang. Kenapa dilimpahkan ke kamu sih?" Andrinof masuk tanpa memberi salam pada sepupunya yang juga bos besarnya. "Itu kan milik om Burhan. Dia paham betul pasarannya. Kenapa tidak kasih ke dia saja?" "Kamu tahu kan betapa sulitnya menolak keinginan seorang Bara El Pasha?" "Yah. Bahkan kamu sampai harus melakukan tindakan ekstrim untuk membuatnya tak berkutik." Andrinof duduk dengan tenang di depan Ke
Amira tak bisa menghilangkan keterkejutannya akan kedatangan Keenandra yang secara tiba-tiba di depan wajahnya. Calon suaminya itu hanya tersenyum seperti orang tak bersalah saat masuk ke dalam ruangan Amira dengan satu buket bunga di tangannya. "Kamu! Kagetin aku." Amira mendengus kesal. Buket bunga itu diterimanya dengan senyum merekah di bibirnya. "Bagaimana kabar anak aku? Tidak rewel kan?" Amira menggelengkan kepalanya. "Kali ini kamu ingin dibawakan apa? Maaf kemarin belum bisa menemui kamu dan baby." Keenandra mendekat lalu mengusap perut datar Amira dengan lembut. "Dari kemarin ingin ketemu papanya. Tapi papanya sibuk." bibir Amira merengut lucu, membuat Keenandra gemas. Pria itu terkekeh melihat tingkah kekanakan Amira. "Maaf. Papa minta aku tangani projek besar. Andrinof yang jaga kantor." "Iya, aku mengerti. Sebentar lagi makan siang. Kamu tunggu di sana dulu ya." Amira mengusir Keenandra dengan halus. Untung saj
Hampir menunggu satu jam lebih, akhirnya Marina berhasil bertemu dengan Amira di ruangannya setelah makan siang. Marina juga membawakan makanan kesukaannya sebagai tanda permintaan maaf. Entah mengapa sejak kedatangan Aletta ke rumah tadi pagi, rasanya ia ingin menemui calon menantunya itu. Amira pun masuk ke dalam ruangan sambil terkekeh karena celetukan Keenandra. Namun begitu kakinya melangkah masuk, sosok yang tengah duduk manis di atas sofa membuatnya berhenti tertawa. Keduanya mematung di depan pintu masuk. "Ada apa mama datang kemari?" tegur Keenandra yang mendapat delikan protes dari Amira. "Mama ingin bicara dengan Amira sebagai calon menantu. Boleh kan?" Keenandra tak menjawab pertanyaan ibunya. Hanya saja, ia menjadi waspada dengan gerak-geriknya. Amira ikut duduk di sofa, Keenandra pun sama berada di sebelahnya. Duduk dengan satu tangan melingkar di perut Amira. Ibunya melirik sinis melihat cara posesif yang ditunjukan ol
Lepas pukul tujuh malam, Keenandra dan Amira tiba di depan rumah yang selama ini ditempati Amira dan Citra. Mereka masih berada di dalam mobil tanpa ada niat untuk turun. Amira rupanya masih betah berada dekat dengan calon suaminya. Walau keheningan melanda tanpa ada percakapan sama sekali. "Aletta telah bertindak nekat. Aku jadi bingung, kenapa dia bisa berbuat seperti itu?" tiba-tiba suara Keenandra memecah keheningan. Amira menoleh membiarkan calon suaminya mengoceh tanpa henti. "Secinta itukah dia sama aku?" "Dia sama seperti kamu," ucap Amira. Kini giliran Keenandra yang menoleh dengan raut wajah bingung menatap wanita yang dicintainya itu. "Sama seperti kamu yang menggenggam karena masa lalu." "Maksud kamu?" "Dia pasti tak pernah bercerita tapi aku tahu semua kisah cintanya saat masih remaja." Amira menghela napasnya sejenak. "Dia, pernah ditinggalkan oleh seseorang yang ia anggap adalah cinta sejatinya. Entah apa alasannya hingga membua
Menghabiskan waktu bersama seseorang yang disayangi, sangatlah menyenangkan. Terlebih lagi, orang itu adalah orang yang pernah membawa kita kepada kebahagiaan setelah melewati berbagai kesedihan. Satu kenangan manis yang terukir, mampu membuat segalanya begitu indah. Amira dan Keenandra menghabiskan minggu terakhir mereka sebelum resmi menjadi sepasang suami istri. Tak ada tamu, tak ada telpon, tak ada orang yang akan mengganggu mereka hari ini. Pintu luar dikunci rapat. Hanya ada suara berisik televisi dan dapur. Amira sedang membuat kue kesukaan Keenandra hari ini. "Terlalu manis," ujar Amira mencicipi satu potong brownies yang ia buat tadi pagi. Keenandra mengunyahnya tanpa kata tapi satu jari tangannya menyukainya. "Enak kok. Enggak masalah walau terlalu manis." Keenandra menyukai manis, pantas saja ia bilang rasanya tak masalah. "Nonton film horror dong." Keenandra menggelengkan kepalanya. "Seru tahu, siang begini nonton horor." "Kamu lagi hamil. Kalau mau, nonton film dram
Jantung Amira berdebar kencang, rasanya seperti akan jatuh ke perut. Lima menit lagi acara dimulai dan dia masih terdiam di dalam ruangan menunggu prosesi ikrar selesai dibacakan. Citra ikut terlihat resah, ia dengan setia menemani Amira memegangi tangannya yang dingin dan basah. Amira sangat gugup.“Jangan takut, Mbak. Mas Keenan adalah yang terbaik,” hibur Citra dengan senyumannya yang manis. Amira tersenyum lega.“Keenan sudah selesai. Kamu bisa keluar.” Andrew berdiri di depan pintu menyambut adiknya yang masih duduk diam di atas ranjang. “Sangat gugup?” Amira mengangguk.Andrew menggandeng tangan sang adik dan membawanya keluar ruangan dengan langkah tegapnya. Semua undangan yang hadir menyambut bahagia pasangan Keenandra yang baru itu. Amira duduk di samping Keenandra yang kini resmi menjadi suaminya. Keduanya tersenyum saling bicara lewat mata dan sentuhan tangan. Citra hampir saja berteriak heboh melihat interaksi mereka berdua.Pesta pernikahan digelar cukup meriah. Ini adala
Pesta terus berlanjut hingga menjelang malam. Saat tamu undangan telah pulang sebagiannya, Aletta yang belum beranjak dari tempat duduk tiba-tiba saja berdiri dan melangkah ke panggung pelaminan. Sam dan Andrew juga Andrinov ikut berjaga-jaga. Mereka takut Aletta berbuat macam-macam di atas sana.Dan benar saja, Aletta berdiri dengan tangan berada di pinggang lalu berteriak cukup keras. Tamu undangan yang belum pulang menoleh ke arahnya.“Oh, ini yang kemarin sudah merebut suami orang? Selamat ya, atas pernikahannya. Pasti senang karena sudah berhasil menjadikan Keenan sebagai suami kamu.” mata Aletta tertuju pada Amira, bibirnya menyeringai. “Senang kan?”Andrinov dan Sam berlari ke atas panggung, memegang tangan Aletta dan membawanya turun tapi wanita itu memberontak dengan suara yang cukup keras. Ia tak mau dipaksa turun.“Lepas! Kalian sama saja dengan Amira yang telah merusak rumah tangga aku dan Keenan!” teriaknya
Empat bulan berlalu sejak pernikahan Amira, perut yang kemarin rata kini mulai membulat sempurna. Amira semakin protekti, begitu juga dengan Keenandra. Setiap harinya, suami Amira itu selalu membuatkan makanan sehat untuknya sarapan dengan menu khusus untuk ibu hamil. Sedikit bosan, tapi Amira sangat senang saat melahapnya.“Enak?” Amira mengangguk. “Aku bawakan cemilan untuk kamu di kantor. Untuk makan siang, sudah aku pesan di catering yang aman.”“Sudah diganti menunya?” tanya Amira.“Sudah. Kamu bosan udang kan? Aku ganti tumis daging.” Amira tersenyum mendengar Keenandra sangatlah peka dengan segala kode yang diberikan olehnya. Padahal, Amira tak terus terang kalau dia bosan dengan makanannya.“Akhir-akhir ini aku tuh pengin banget teh dingin. Kamu tahu kan teh yang dicampur mawar itu? Aku pengin dibeliin sama kamu,” rengek Amira merayu dengan kedua mata bulatnya yang berkedip-kedip.“Mau aku belikan?”Amira mengangguk senang. Matanya berbinar cerah. “Teman aku ada yang mau pulang