Share

Perdebatan

Besoknya, setelah menikmati sarapan pagi khas rumah sakit, aku diperbolehkan pulang.

Sebelum pulang aku sudah banyak merenung tentang situasiku, dan kuputuskan untuk bersikap biasa saja, sampai aku bisa membuktikan kecurigaanku.

Dalam kesempatan ini, sengaja aku merias wajah, memakai parfum, serta dress yang cantik. Persis wanita yang mau pergi kencan.

"Sayang... kamu tampak berbeda, " ujar Haris begitu melihatku di ambang pintu.

Sejak tadi, aku bisa melihatnya sudah tak sabar menunggu. Mondar-mandir di ruang tamu -- kamar VVIP memang punya ruang duduk khusus -- persis orang kebakaran jenggot.

Aku melirik sekilas lalu melempar senyum tipis. Lupakan tatapan hangat yang selalu kuberikan waktu masih jatuh cinta dulu, sebab sekarang aku sedang berusaha menata pikiranku ke titik nol. Tanpa cinta, tanpa prasangka.

"Itu tasku ya Pah, tolong dibawa. Lenganku masih sakit," kataku datar.

Kalau dulu aku selalu sukarela membawa tas dan perlengkapan anak-anak tanpa diminta, untuk hari ini? Maaf saja. Aku sudah bosan membabu.

Haris terlihat bingung sebentar, sebelum buru-buru mengangkat tas dan printilannya. Aku berjalan beberapa langkah di depan dengan gaun cantik dan low heels, praktis dia seperti bawahan dibawah perintah nyonya besar.

"Hai, Kak," sapa Silvy yang duduk cantik di kursi paling depan, tepat di sebelah suamiku.

Melihat sikapnya yang menjijikkan, semua pikiran positif yang sudah susah payah kubangun, nyaris lenyap apalagi bila mengingat ucapan kejamnya pada Ciara semalam.

Tapi lagi-lagi, logika memaksaku agar tidak gegabah. Setelah agak tenang, barulah aku menyahut, "hai juga, Dek." Setelah berhenti sejenak, aku menambahkan, "silakan turun, aku mau duduk di sebelah suamiku."

Kata suami kuucapkan penuh penekanan, hingga Silvy menggigit bibir bawahnya.

"Tapi aku gampang mual Kak, kalau duduk di belakang."

"Lalu kamu mau apa? Mau dikira pelakor karena berani duduk di sebelah suami orang? Kamu mungkin tak takut Silvy, tapi Haris punya nama baik yang harus dijaga."

Nyali betina sialan itu ciut begitu nama Haris kusebut. Tanpa banyak bicara dia pindah duduk, tepat di belakang Haris.

Setelah drama singkat ini aku mengambil tempat di samping pengemudi, disusul oleh Haris yang sudah sibuk sejak tadi menata barang bawaannya dalam bagasi. Berpura-pura tak melihat ada insiden kecil antara aku dan Silvy.

"Kasihan Kak Haris bawa barang sebanyak itu sendirian. Seandainya Silvy tahu, pasti sudah ikut bantu-bantu tadi."

Tanpa sungkan, sepupu yang manis memulai provokasinya begitu kami sudah duduk di dalam mobil.

Rahangku mengatup menahan amarah namun suara ini masih tenang saat menyahut, "suamiku bukan sembarang lelaki. Tenaganya kuat dan dia pekerja keras. Beban segitu tak akan dirasakannya, iya kan Pa?"

Haris salah tingkah, sekilas matanya menoleh ke belakang, seolah takut responnya bakal menyakiti hati seseorang.

"Kenapa, Pa? Apa perkataanku tak benar?" desakku seraya mengerling manja.

"Eh? I--iya, kamu benar."

Aku tersenyum puas. Setidaknya, Haris masih berpihak padaku. Awal yang bagus.

Rupanya Silvy termasuk lawan yang tangguh. Dia masih berusaha menyela, "Iya, tapi tetap saja... ."

Sebelum dia selesai bicara langsung kupotong ucapannya, "Kenapa, Dek? Kamu juga tak setuju kalau kak Haris ini laki-laki hebat? Atau ... ." Aku menggantung ucapanku lalu menoleh ke belakang, menatap tepat ke matanya, "jangan-jangan kamu cemburu? Kalau iya, kakak bisa bantu carikan suami yang speknya macam Kak Haris."

Giliran Haris yang kebakaran jenggot sekarang. Serta-merta suaranya naik beberapa oktaf. "Kamu ngomong apa, sih? Silvy masih trauma sesudah perkawinannya yang kandas dan sekarang kamu malah mau menyodorkan laki-laki lain? Apa kamu pernah memikirkan kebaikan Silvy?!"

Aku terdiam, terlalu kalut untuk bicara. Pertama kalinya Haris membentakku, dan itu gara-gara sepupunya. Kurang sakit apa?

Aku menelan ludah susah payah. Terbayang betapa menjijikkan senyuman di muka Silvy sekarang. "Pa, kamu kenapa marah? Apa yang salah dengan kata-kataku? Tak mungkin kita menahan Silvy di rumah selamanya. Dia masih muda, Pa."

"Lantas kenapa? Aku bisa membantu kehidupan sepupuku. Sebagai istri, kamu tak sepatutnya membuatku jauh dari keluarga."

Aku kehabisan kata-kata. Kemarin waktu Haris berkunjung, dia belum sekejam ini dalam bertutur. Entah racun apa yang disuntikkan Silvy dalam kepalanya.

"Kenapa kamu bilang begitu, Pa? Memangnya aku bukan keluargamu? Apa hanya Silvy yang keluargamu di sini?"

Air mataku yang tak tahu diri mulai merebak menemani rentetan kalimatku barusan. Pegangan Haris mengetat pada setir mobil, sepertinya dia tengah berjuang mengatasi pergolakan batin.

Namun belum sempat Haris bilang apa-apa, tiba-tiba Silvy menangis sesenggukan.

"Ma--maafkan aku, Kak. Gara-gara aku kalian jadi bertengkar. Aku memang pembawa masalah dari dulu. Aku banyak berutang ... ."

Kata-katanya berlanjut menjadi sangat panjang, menceritakan kesedihan dan nasib malang yang dia derita setelah kedua orang tua membuangnya begitu saja.

Dari dulu, Silvy memang kerap membawa-bawa situasinya untuk mengundang simpati. Awalnya aku ikut sedih, lama-lama risih juga. Bayangkan! Harus mendengar dongeng yang sama berulang-ulang.

Rupanya, ini tak berlaku untuk suami dan mertua. Setiap kali Silvy menangis sambil menceritakan kehidupannya yang malang, langsung lembutlah hati pasangan ibu dan anak itu. Terbukti, bahkan hingga detik ini, wajah Haris yang dipenuhi emosi tadi tiba-tiba melembut.

Dia menoleh ke belakang dan berkata, "sudahlah Silvy, itu bukan salahmu. Tinggallah bersama kami sampai kapanpun." Setelah itu suamiku yang baik hati, si paling dermawan, menatapku tajam. "Kamu juga sebagai kakak sepupu, harusnya lebih sabar. Jangan terlalu ikut campur dalam urusan pribadi Silvy."

Sebelum aku menyahut lagi, suamiku langsung menutup kalimatnya dengan titah tak terbantahkan. "Sekarang kalian berdua tolong diam. Biarkan aku menyetir dengan tenang."

Akhirnya sisa perjalanan kami lalui dalam keheningan sampai leherku pegal karena asyik memandang ke luar jendela. Rasanya terlalu kesal memandang wajah Haris juga benci melihat muka Silvy.

Tak berapa lama, rumah berlantai dua yang kami tempati bersama mertua tampak di depan mata. Di beranda, bik Ratih dan mertua terlihat mengobrol santai.

"Selamat siang, Ibu," sapaku lembut.

"Ehmm, akhirnya kamu pulang." Beliau menyahut malas tanpa berniat memintaku duduk.

Tentu saja aku tak peduli. Separuh dari rumah ini dibangun pakai uangku. Jadi maaf saja, aku tak perlu sungkan untuk duduk dimana pun.

"Apa ibu baik-baik saja?" tanyaku tetap berusaha ramah.

Namun mertua rupanya sudah konsisten tidak mau bersikap manis padaku, kecuali waktu mereka masih miskin dulu.

"Gimana mau baik? Lha, wong kamu aja di opname sekian lama." Beliau menyahut dengan wajah masam.

Selama ini segala hal yang menyangkut kesehatan dan suplemen mertua, memang aku yang urus. Walaupun untuk hal ini, tak ada yang mau repot-repot bilang terima kasih.

Kutatap wajah ibu mertua dengan seulas senyuman manis lalu jatuhlah bom yang sejak tadi sudah menunggu diledakkan.

"Maaf Ibu, mulai detik aku tak akan merawat ibu lagi. Silvy yang akan menggantikan aku mengurus semua keperluan Ibu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status