Share

Rencana

"Kenapa begitu?"

"Apa Kakak bilang?!"

Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda.

Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"

Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya.

"Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?"

"Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."

Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku.

"Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."

Mertua yang sekejap tadi berwajah masam, tampak mengangguk setuju. Bibirnya mulai tersenyum sementara tangannya mengelus lembut bahu Silvy, selayaknya seorang ibu pada puterinya.

"Kamu memang perempuan baik, seandainya saja Tiara bisa berbakti seperti kamu."

Sontak kedua tanganku mengepal, darah serasa mendidih hingga pandanganku mulai berkunang-kunang. Kurang berbakti apa aku hingga masih dikritik terang-terangan? Di depan orang luar pula.

Selama tiga belas tahun jadi isteri Haris, apa yang tidak kuberikan untuk keluarga ini? Bahkan Silvy, perempuan yang dipuji-puji beliau, aku masih ikut andil merawatnya hingga lulus sekolah menengah dan menikah. Lalu kenapa?

Kutahan kepahitan hati, lalu menatap wajah culas Silvy. "Yah, kurasa kamu benar. Lantas, sewaktu masih menikah dulu, apa kamu sudah berbakti pada mertuamu? Bukankah katamu mertua sudah mendidik suami kita dengan baik? Kenapa kamu tinggalkan suami yang baik itu?"

"Kakak!"

Silvy berseru nyaring dan setelah itu dia mulai meratap. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan dengan sangat sempurna.

Tentu saja mertuaku jadi panik, pun dengan suamiku yang baru ikut bergabung setelah memasukkan mobilnya ke garasi.

Pasangan ibu dan anak itu memberiku tatapan maut yang membuat perasaan makin hancur.

"Kamu punya otak, nggak sih? Kok tega membahas luka dalam pernikahan Silvy." Mertuaku memulai serangannya.

Haris, puteranya yang berbakti tak ketinggalan menguatkan pernyataan sang ibu. "Tiara, kalau aku tahu kamu seperti ini, tak bakal aku menikahimu. Kamu perempuan berbisa!"

Aku berusaha tenang, memandang keduanya bergantian, meski netraku sudah mulai kabur oleh air mata. Sementara itu, tampak Ciara sedang mengintip percakapan kami di ambang pintu. Rupanya, puteriku urung naik ke atas gara-gara keributan ini.

Menyadari betapa terluka tatapannya yang polos, aku memilih menyudahi percakapan walau hatiku masih sangat sakit.

"Maaf sudah menyinggung kamu Silvy, tapi lain kali jangan ikut campur masalah rumah tanggaku."

Setelahnya aku beranjak tanpa mempedulikan cacian mertua. Kugandeng tangan mungil Ciara, dan tertatih-tatih kami menaiki tangga menuju lantai dua.

"Ma, kenapa Papa dan nenek marah sama Mama?"

Pertanyaan yang dilontarkan puteriku begitu kami memasuki kamar langsung menusuk jantungku dengan telak. Anak mana yang tidak sakit hati menyaksikan ibunya dianiaya walau secara verbal?

"Bukan apa-apa, Nak. Hanya kesalahpahaman kecil dan itu sering terjadi dalam kehidupan orang dewasa."

Ciara menatapku tak percaya namun waktu melihat betapa lelah wajah ini, akhirnya dia tidak memperpanjang cerita.

"Sebaiknya Mama istirahat, muka Mama nampak kurang sehat."

Aku mengangguk, tak lupa menarik tangan Puteriku agar kami sama-sama berbaring.

Walaupun terlihat dewasa, Ciaraku nyatanya masih anak-anak. Tak berapa lama, matanya terpejam rapat dan dia pun tertidur pulas. Tak seperti aku yang masih sibuk dengan pikiranku, hingga terkenang dengan kejadian setahun silam.

Waktu itu masih terbilang pagi, sekira pukul sepuluh. Aku yang tengah sibuk menyirami bunga di halaman, kaget oleh kedatangan Silvy yang tiba-tiba. Terlebih sebab dia datang dengan pakaian lusuh dan muka lebam-lebam.

"Boleh aku masuk, Kak?" tanyanya.

Meski terheran-heran, aku segera membuka gerbang lalu memintanya duduk di teras. Tak lupa memanggil mertua agar beliau bisa berbincang dengan keponakan jauhnya itu. Berdasarkan cerita Silvy waktu itu, suaminya baru saja melakukan kekerasan dan ini bukan yang pertama.

Demi mendengar kisah keponakannya, mertua langsung bertitah, "ceraikan saja suamimu dan tinggallah bersama Bibi."

Padahal beliau belum berdiskusi sama sekali denganku maupun Haris.

Akhirnya, Silvy yang malang resmi gabung lagi dalam Kartu Keluarga kami. Awalnya cuma numpang, tunggu ketemu kontrakan yang pas katanya, lalu mulai minta kerjaan yang sesuai dengan jurusannya di sekolah menengah, Administrasi Perkantoran.

Dan sekarang, mulai ikut campur pula urusan rumah tangga kami. Sungguh definisi tepat dari 'Dikasih hati minta jantung'

Sebab otakku terlalu sibuk berpikir, alhasil mata pun tak bisa terpejam hingga jam makan malam tiba.

"Ma, ayo makan. Semua sudah menunggu di bawah." Ciara yang sudah bangun dan mandi segera memanggilku untuk bergabung di meja makan.

Meski malas dan masih kesal atas perlakuan mertua dan suami tadi pagi, kupaksa juga melangkah ke ruang makan.

Di sekeliling meja bundar yang berkapasitas enam orang itu, sudah duduk semuanya, kecuali aku dan Ciara.

Di sebelah kiri ibu mertua duduk Silvy -- biasanya aku yang di sana -- sedangkan di sebelah kanan adalah Haris. Dengan posisi begitu, terlihat seolah Silvy-lah menantu sedangkan aku orang luar.

Mengabaikan rasa tak nyaman, aku duduk di ujung meja yang satu sedang kedua anakku duduk di sisi kanan dan kiri.

"Sebagaimana permintaanmu, mulai sekarang Silvy yang akan mengurus keperluanku sekaligus duduk di sisiku waktu makan malam." Mertua membuka acara makan dengan sambutan tak lazim.

Aku tersenyum dan menyahut pasrah, "iya Ibu."

Setelah itu, kami memulai acara makan dan disinilah siksaan sesungguhnya dimulai.

"Bi, silakan makan ikannya, durinya sudah kuambil." Silvy mulai bicara seraya meletakkan daging ikan di piring mertua.

Wanita tua itu tersenyum lebar seraya memuji-muji Silvy, hal yang tak pernah dia lakukan walau aku melakukan hal yang lebih berat.

Bergantian, kini Haris yang memasukkan sepotong sayur ke piring Silvy. "Makan sayur yang banyak Dek, biar... ."

Belum sempat suamiku selesai bicara, si sepupu langsung berdehem kecil seperti takut terbongkar sesuatu. Lucunya, Haris pun segera bungkam meski setelah itu pertunjukan kemesraan antara mereka bertiga tetap berlanjut.

"Ibu, makanlah semur daging. Ibu paling suka ini, kan?" Ditengah kesedihanku, Ciara sudah meletakkan sepotong daging di piringku.

Mata langsung kukedip-kedipkan agar air yang nyaris tumpah, tertahan di dalam.

Pada akhirnya, kuikuti strategi Ciara. Aku fokus pada kedua anakku dan menganggap tiga manusia di seberang sana adalah tamu yang numpang makan.

Suasana hatiku jadi tak seburuk tadi, sebelum mertua kembali memporak-porandakannya dengan titah yang tak masuk akal.

"Berhubung kamu sedang sakit, serahkan uang belanja bulanan pada Silvy. Biar dia yang mengelola keperluan rumah mulai sekarang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status