POV Naya"Kenapa ini?" tanya Mas Arman yang tiba-tiba masuk kedalam kamar."Ini, Mas. Mbak Naya ngusir aku. Padahal kan aku lagi enak tidur di sini sama Diki," rajuk Lela sok manja."Kamu apa-apaan sih Lela? Hargai privasi orang kalau numpang! Keluar kamu!" Mas Arman menyeret paksa Lela untuk keluar dari dalam kamar. Biarlah Diki dan Daffa tidur di atas kasur, asal bukan manusia tanpa akhlak itu.6 KlaimLela yang semulanya sok manis malah terkejut mendengar bentakan Mas Arman. Dia pikir Mas Arman akan terpengaruh lagi seperti dulu. Tidak semudah itu, Lela. Aku juga bukan Naya yang dulu lagi yang bisa kalian injak-injak. Mulai hari ini rasakan pembalasan kami.Aku menidurkan Daffa di samping Diki, biarlah mereka tidur nyenyak. Aku menatap kedua wajah mungil, malaikat tak berdosa. Kasihan Diki, dia menjadi korban keegoisan Ayah dan Ibunya. Semoga saja Daffa memiliki nasib takdir yang lebih baik. Aku juga berjanji, akan menjaga Diki dan mendidik mereka berdua bersamaan."Kamu kenapa sih
POV NayaMelihat Mas Arman yang tidak mungkin membelaku. Dengan sekuat tenaga aku tarik rambut Lela dan menjambaknya dengan kuat. Dia melepaskan tangannya dari jilbabku, kemudian berteriak kesakitan."Aaaa...."Tidak aku hiraukan teriakannya, aku memegang rambutnya kemudian kubenturkan kepalanya di tembok. "Jangan apa-apakan anakku wanita Ib*Lis!" Ibu berteriak dan berlari menghampiri kami. Tapi dengan sigap Mas Arman menahan Ibu dengan badannya."Biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri, Bu," ucap Mas Arman santai."Awas kamu, bisa mati anakku nanti," bentak mendorong tubuh Mas Arman dengan kasar. Kemudian berjalan ke arah Lela yang masih tersungkur di lantai. Untung saja aku tidak kalap, jika tidak sudah hilang nyawa orang. Astaghfirullah."Kamu nggak papa, Lela. Mana sini Ibu lihat ada yang benjol atau tidak," tanya Ibu sambil meraba-raba kepala Lela. Sedangkan orang yang ditanya Ibu masih diam, mungkin dia syok dan tidak menyangka jika aku bisa membalasnya sedemikian r
POV Naya"Nayaaaaaaaa! Kamu apakan bajuku. Kenapa ada di tanah begini? Mana dekat sama taik ayam lagi!" pekik Lela dari belakang.Aku hanya tertawa cekikikan di dapur, membayangkan wajah Lela yang kesal karena bajunya aku buang dekat dengan kandang ayam tetangga. Cari ribut sih."Ada apa sih ribut-ribut. Ganggu orang tidur aja!" gerutu Ibu keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan. Dia menguap beberapa kali, dan dengan seenaknya mencomot telur yang aku rebus untuk Daffa. Padahal Ibu sama sekali belum mencuci wajah. Jorok sekali, ya Allah.Sepertinya aku harus berpikir dua kali untuk menyuruh Ibu melakukan ini itu. Apalagi memasak, aku tidak ingin sampai diare cuma karena cara masaknya yang kotor. Aku bergidik ngeri membayangkan jika Ibu yang memasak untuk kami semua."Hei, ditanyain juga malah bengong!" ketus Ibu sambil menggaruk kepalanya. Aku hanya mengendikkan bahuku, biar saja nanti Ibu tau sendiri cerita dari Lela."Dasar!" bentak Ibu kemudian berlalu ke kamar mandi. Aku masih
POV Naya"Kalau udah ditolak, jangan dipaksa. Malu!" tegasku pada Intan yang masih menunggu Mas Arman."Tapi, Mas. Aku masih kangen satu mobil sama kamu. Apalagi kalau aku ingat momen itu," ucap Intan sok manja pada Mas Arman. Mataku memperhatikan sikap Mas Arman yang semakin salah tingkah."Momen apa?" tanyaku was-was, karena sebenarnya aku takut mendengar jawaban dari Intan dan Mas Arman. Takut jika nanti jawaban yang mereka berikan kembali melukai hatiku. Apalagi saat ini aku sedang berjuang menyelamatkan rumah tangga kami.Mungkin jika kesalahan yang dilakukan selama ini oleh Mas Arman bisa aku maafkan. Apalagi jika mengingat selama ini sikap Mas Arman berubah karena pengaruh Ibu dan Lela. Tapi jika seandainya ada kesalahan lain yang dilakukan oleh Mas Arman. Aku tidak tau bisa atau tidak memaafkan dia.Mengingat selama ini Mas Arman selalu setia. Mungkin dia jahat dan pilih kasih selama ini, tapi dia tidak pernah melirik wanita lain. Itulah sebabnya aku masih bisa bertahan sampai
POV Naya"Kamu pucat. Apakah suami kamu memperlakukan kamu dengan baik?" tanya Pak Wira yang tiba-tiba membuatku terkejut. Aku menghentikan aktivitas mengambil sayur, termenung beberapa saat."Maaf, saya tidak bermaksud. Saya hanya khawatir," lirih Pak Wira lagi.Akhirnya aku berhasil menenangkan diri dari pertanyaan Pak Wira barusan. Aku kembali meraih sayur kemudian memasukkannya ke dalam keranjang.Aku menoleh sekilas ke arah Pak Wira, kemudian tersenyum simpul."Terimakasih, tapi saya baik-baik saja," jawabku tenang. Memang sebenarnya aku merasa sedikit pusing, tapi aku rasa wajar karena kecapekan."Biar saja yang gendong Daffa. Sepertinya dia bosan digendong kamu terus," pinta Pak Wira lagi."Tidak perlu, Pak. Saya bisa mengatasi ini sendiri. Lagipula saya akan ke lantai tiga, buat membeli perlengkapan acara ulang tahunnya Daffa," tolakku lembut. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan laki-laki lain. Apalagi saat ini aku masih menjadi istri orang, tidak baik jika berteman dengan la
POV Naya"Kalian juga jangan terlalu keras dengan Naya, nanti dia bisa usir kalian dari sini. Lagian kita harus bisa rebut hatinya, biar dia bisa luluh." Mas Arman kembali berbicara.Ya Allah, jantungku rasanya berdetak lebih kencang dari biasanya. Nafasku memburu menahan amarah. Jadi selama ini kamu hanya akting, Mas? Kamu menganggap aku dan keluargaku sebagai pembohong. Aku meremas kuat kantong belanja yang dari tadi aku pegang. Awas saja kalian semua, aku tidak akan memaafkan kalian. Terutama kamu, Mas.Aku akan buat kalian kehilangan semuanya.Agar kalian tau bagaimana rasanya di sakiti. Mari kita berakting sama-sama.Setelah menenangkan hati yang terasa panas, aku kembali memutar badan. Sepatu yang tadinya sudah aku lepas, aku pakai kembali. Untungnya Daffa tertidur pulas, jika tidak bisa ketahuan mereka jika aku menguping.Setelah memakai sepatu, aku kembali menetralkan rasa amarah yang dari tadi membuncah. Kuhapus air mata yang mengalir di pipi, aku sakit, Mas. Aku kecewa, semp
POV Naya"Mas, aku mau ngomong," ucapku ketika kami sudah di dalam kamar. Mas Arman yang sedang memakai baju setelah mandi menoleh, kemudian melanjutkan ritualnya memakai baju."Ngomong apa, Sayang?" tanya Mas Arman lembut. Jika dulu dia memanggilku dengan sebutan sayang, aku akan sangat senang dan bahagia. Tetapi tidak dengan sekarang, aku sangat benci saat dia mengatakan itu. Apalagi setelah tau dia mengkhianati aku, sebenarnya bukan hanya aku yang Mas Arman bohongi, juga Abi dan Umi."Maksud Intan tadi pagi apa? Maksudnya momen apa yang tidak bisa dia lupakan?" tanyaku. Mas Arman mengehentikan aktivitasnya menyisir rambut, sedetik kemudian kembali melanjutkan.Setelah selesai, Mas Arman memelihara duduk di tepi ranjang. Sedangkan aku berbaring sambil mengecek pendapatan pada beberapa aplikasi menulis."Maafkan, Mas. Sebenarnya kemarin-kemarin itu Mas sering pergi ke kantor dengan Intan. Karena motornya rusak," ucapnya menjelaskan. Sebenarnya apapun yang mereka lakukan, terserah. Se
"Naya, mana sarapannya?" tanyaku pada Naya yang sedang menyusui putra pertama kami yang berusia sepuluh bulan."Nggak ada, Mas," jawabnya enteng. Dia malah menyandarkan tubuh kurusnya pada sandaran kursi sambil memejamkan mata.Tingkahnya sangat membuatku emosi, padahal aku harus berangkat kerja. Tentu saja harus mendapatkan asupan makanan. Kalau tidak penyakit lambungku akan kambuh."Kenapa nggak ada? Aku mau berangkat kerja ini," decakku kesal.Hening. Naya tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah sambil menyusui Daffa. Semakin membuatku kesal dengan tingkahnya. Masih pagi dia sudah ngantuk lagi. Hanya itu saja kerjanya dirumah, tidur.Brak!Aku menggebrak meja makan dengan keras sehingga menimbulkan suara gaduh. Daffa yang tadinya tertidur sekarang menangis. Mungkin karena dia terkejut.Naya sibuk mendiamkan Daffa, dia berusaha menyusui kembali agar Daffa kembali tertidur."Jadi istri nggak becus! Kamu tau aku ada penyakit asam lambung. Jadi nggak bisa makan telat. Tapi kamu malah ti