Lebaran sudah lewat beberapa hari. Atika mulai beraktivitas seperti biasa, menjahit keliling. Sepi, sama sekali tidak ada yang jahit. Atika berfikir karna ini masih lebaran, dan orang-orang sebagian juga masih sibuk dengan suasana lebaran mereka.
Saat Atika menyusuri jalan perkampungan, ada beberapa ibu-ibu sedang mnggobrol serius. "Tau, nggak. Itu, semalam. Kejadian dikampung sebelah, katanya ada ari-ari hilang," ucap salah seorang wanita."Ah, masa sih? kok aku jadi serem dengernya ya," jawab wanita yang sedang menjemur cucian."Iya, bener. Aku saja tau dari Mbok Karsem. Semalam dia itu membantu persalinan dikampung sebelah. Eh, taunya arinya hilang. Apa nggak serem tuh," ucapnya lagi meyakinkan ibu-ibu yang lainnya. Atika yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah. Rasa takut akan ketahuan kalau sebenarnya ialah biang dari semuanya."Maaf, ibu-ibu. Mau jahit baju nggak?" Atika mencoba menawarkan jasa jahit baju keliling nya."Nggak, ada yang mau jahit baju sama kamu! mending pergi kekota. Sekalian belanja-belanja," jawab salah satu dari mereka yang bernama Yuni itu. Perutnya tampak buncit, mungkin saja ia sedang hamil tua."Lagian, hari gini jahit baju. Udah tau nggak laku, masih saja dikerjain." ketus ibu-ibu yang satunya juga."Kasihan, kamu. Suami nggak pulang-pulang, anak melarat, dan nggak sekolah. Jangan-jangan suaminya sudah kawin lagi." ketus Yuni sombong.Bukan cuma itu, Yuni juga meludahi, serta menendang gerobak jahit milik Atika."Kalau kalian nggak mau jahit, nggak usah menghina. Setidaknya kalian hargai jerih payah orang," ucap Atika sembari membenarkan gerobaknya yang tumbang akibat di tendang oleh wanita yang bernama Yuni itu."Ngapain kami menghargai? wong kami nggak menikmati hasilmu kok." dengan perut buncitnya, Yuni menantang dan mendorong Atika hingga tersungkur."Mending kamu itu jual diri, biar cepet kaya." ketus ibu yang satunya lagi."Iya, nanti Aku akan jual diri ke suami-suami kalian," jwab Atika lantang. Ia menyetabilkan gerobaknya, dan berlalu dari hadapan mereka semua."Kamu, sih! ngapain cobak tadi ngomong gitu?" ucap Yuni.Mereka semua khawatir dengan ucapanya dan malah berdebat."Sudah keliling seharian, hanya satu Orang saja, yang menjahit," gumam Atika hampir putus asa.Ia berjalan melewati rumah Ningsih, dan ternyata Ningsih belum pindah. Namun ia juga mendengar tangisan suara Bayi Ningsih."Sepertinya Anak Ningsih menangis." Atika, segera menghampiri Ningsih kedalam rumahnya."Kenapa, anak kamu Sih?" tanya Atika.Dilihatnya Ningsih menangis, dan seperti terpukul sekali jiwa dan mentalnya."Ini, Ti. Anaknya nggak berhenti-berhenti menangis. Kulitnya melepuh semua, dan pusarnya membusuk," jawab Inem ibunya Ningsih.Seketika itu juga Atika menelan ludahnya dengan sangat susah. Ia merasa semua ini ada hubungannya dengan ari- ari yang ia curi dan Ia masak."Ya allah, aku turut perihatin ya Sih. Kasihan sekali anakmu," ucap Atika merasa bersalah dan berdosa.Mata Atika tampak basah. sepertinya ia kasihan kepada Ningsih. Nggak seharusnya Ia mengambil, dan memasak ari-ari anaknya Ningsih. Apalagi Ningsih adalah sahabatnya sendiri.Belum begitu lama Atika datang. Anak Ningsih malah semakin menagis histeris, dan matanyapun melotot seperti kesakitan, teramat sakit.Ningsih memeluk erat tubuh munggil anaknya yang baru beberapa hari ia lahirkan. Airmatanya tumpah, hatinya hancur melihat buah hatinya meregang nyawa."Buk, kenapa nggak gerak lagi Anakku buk?" Ningsih panik, saat anaknya tidak lagi bersuara."Ya Allah, bayimu sudah nggak ada Sih!" jawab Inem. Ningsih terduduk dilantai rumahnya yang berlantai tanah, tubuhnya ambruk. Airmata bercucuran. Anak yang baru beberapa hari ia lahikan dengan taruhan nyawa pergi dengan cara mengenaskan.Atika duduk disamping Ningsih. Seandainya saja semua bisa ia ulangi, maka ia tidak akan pernah melakukan itu terhadap Ningsih sahabatnya sendiri."Kamu yang sabar ya Sih, anakmu sudah bahagia disana. Doakan saja untuk anakmu," ucap Atika enteng."Sebaiknya kita panggil warga. Biar segera diurus pemakamannya." saran Inem.Semua orang tidak menyangka dengan kematian teragis anak Ningsih. Dari mulai lahir kedunia, hingga meninggal bayinya terus menangis. hanya sewaktu tidur saja ia tidak menangis.Semua orang sibuk mempersiapkan makam, dan memandikan anak Ningsih. Begitu juga Atika, yang selalu setia duduk disamping Ningsih."Semalam, dikampung sebelah kehilangan ari, eh disini malah ada bayi meninggal." ketus seorang ibu-ibu."Aneh, ya? sepertinya kampung kita ini akan ada marabahaya lagi." ketus Yuni yang juga berada sana.Atika hanya menatap kearah mereka, matanya menaruh dendam terhadap Yuni. sudah lama sekali Yuni selalu menghina Atika. Namun Atika selalu mengalah, karna tidak ingin bertengkar."Ngapain matamu lihatin kami?" ketus Yuni. Di suasana yang tengah berdukapun, Yuni masih sempat mengajak Atika bertengkar.Atika pura-pura mengalihkan pandanganya dan menunduk kearah bawah. Ingin sekali ia membalas sakit hatinya karna mereka semua sekelompok yang sering menghinanya.Setelah semua pemakaman selesai, Atika kembali pulang kerumahnya. Dilihatnya Kedua anaknya sedang makan."Kalian makan?" "Iya, Buk. Ini lauk yang ibu masak masih banyak," jawab Mail."Oh, ya buk. Tadi Bapak nelpon. Tapi Dimas dengar ada suara anak-anak, seperti memanggil Ayah gitu," ucap Dimas.Deg!.. lagi-lagi jantung dan pikiran Atika resah. Semalam suara wanita, sekarang suara anak. "Dimana sebenarnya kamu Mas?" gumam Atika dalam hati."Mungkin itu suara anak orang. Nanti ibu akan hubungin Bapak kalian lagi. Ibu mau tanya kapan Bapak pulang," jawab Atika. Ia berpura-pura tenang. Padahal hatinya sangat panas, dan tidak tenang. Apalagi ia baru saja menyaksikan anak Ningsih meninggal akibat ulahnya."Buk, Dimas mau bicara. Tapi Ibu jangan marah ya," ucap Dimas."Mau bilang apa?" Atika sedikit heran."Yang waktu malam-malam Ibu kerumah Bibi Ningsih, ngapain? kok, Ibu korek-korek tanah?" tanya Dimas.Deg!..Seketika jantung Atika ingin loncat mendengar pertanyaan Dimas. Seseorang yang telah melihatnya malam itu ternyata anaknya sendiri."Kamu salah mungkin." Atika menyangkal."Nggak, Buk. Dimas ikutin Ibu kok," ucap Dimas lagi.Lagi-lagi Atika jantungan mendengar ucapan Dimas, anaknya."Kamu lihat ibu?" "Iya, Dimas ikutin Ibuk. Kan waktu itu Dimas tidak bisa tidur, terus Dimas liat Ibu keluar Rumah.""Bukan apa-apa kok. Kamu itu kebiasaan, selalu ingin tau apa yang Ibu lakukan." Suara Atika meninggi."Kan Dimas cuma penasaran Buk," jawab Dimas pelan."Nggak perlu kamu sok tau, dan penasaran. Kalau kamu itu sayang sama Ibu, kamu itu mendoakan ibu saja, dan nggak perlu kamu ikut campur." bentak Atika.Dimas, dan Mail saling bertatap. Wajahnya terlihat sedih karna bentakan Atika.Mereka berdua juga heran, belakangan ini Atika sering sekali marah dan gampang emosi. Padahal sebelumnya Atika itu disebut sebagai ibu yang penyabar.Atika meninggalkan kedua Anaknya yang masih berada di meja dapur. Wajahnya penuh sejuta beban. Masalah kemiskinan belum kelar, kini malah dihadapkan masalah suaminya yang sepertinya memang tidak beres."Awas, Kamu Mas. Kalau sampai benar kamu menghianatiku. ari-ari saja bisa kumasak, apalagi kamu." gerutu Atika. Bersambung.Hari sudah menjelang pagi, namun bayangan Atika belum juga tampak keluar dari kamarnya."Bang, aku lapar. Ibu kok nggak keluar-keluar sih?" ujar Mail. Tidak seperti biasanya Atika lama bangun."Mungkin Ibu masih tidur, Dek. Coba kita banguni saja yuk." Ajak Dimas."Buk, buk." panggil Mail, dan Dimas serentak.Atika yang mendengar suara kedua anaknya, langsung tersadar dan langsung terbangun. Dilihatnya Kedua anaknya sedang menunggunya di, depan pintu. "Kalian kenapa kok disini? maaf ya Ibu kesiangan," ucap Atika."Aku lapar buk," ucap Mail sembari memegangi perutnya."Sebentar ya. Ibu mau masak sisa tetelan semalam," ujar Atika. Sewaktu ia memasak ari semalam sengaja tidak dimasaknya semua. setengah dari ari itu di sisakannya, namun sudah direbus. Agar tidak bau."Wah, makan enak lagi!" seru Mail."Iya, Dek. Ibu memang paten." tambah Dimas.Atika tersenyum melihat kedua anaknya bahagia. Baginya kebahagian kedua anaknya, adalah yang terpenting.Setelah ari-ari selesai dimasak, Atik
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#9Malam ini cuacanya sangat dingin. Hujan badaipun mengguyur desa Atika. Semua Air naik keteras rumahnya. Karna memang dataran rendah."Buk, banjir. Atap rumah kita juga bocor," ucap Mail. Ia kewalahan menguras air yang naik keteras rumahnya."Ya ampun, gimana ini? Ibu mana pintar betulin atap rumah," jawab Atika panik.Sedangkan air dan lumpur mulai menggenang dan masuk kedalam rumahnya."Biar Dimas manjat ya, buk.""Nggak, usah nak. Nanti kamu jatuh." Atika ragu."Tapi buk. Kamar ibu sudah basah semua kasurnya. Kalau nggak segera dibetulin nanti makin parah. Dimas kan sudah besar buk," ucapnya yakin."Iya buk, benar. kan Bang Dimas bisa manjat," tambah Mail lagi.Atika berfikir sejenak. Dilihatnya kasur kapuknya yang sudah buluk hampir basah seluruhnya. "Tapi, kamu yakin bisa Nak?""Ibu jangan sepele, Dimas kan sering diajari Bapak kemarin. Kata Bapak, kalau nanti Dimas besar, Dimas harus bisa semuanya kan Dimas anak laki-laki," serunya."Sudahlah, jangan
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#10"Yang sabar ya Ti! Dimas sudah tenang disana. Suamimu kenapa nggak kamu, kabarin?" Ucap Nilam. Nilam, yang memang baru datang setelah penguburan Dimas, selesai terus menenangkan Atika."Suamiku sudah mati Nil," Jawab Atika lantang."Astagfirullah, kok kamu bilang begitu?""Dia sudah mati didalam hatiku Nil! dia sudah tega menelantarkan kami. Kamu tau dia itu bukan kerja, melainkan menikah lagi." Atika mengeluarkan semua unek-uneknya."Kamu tau dari siapa? kan kamu sendiri, yang bilang kalau Daut, bekerja," Nilam binggung."Aku tau dari seseorang Nil. Sudahlah Nil, nggak usah bahas dia lagi. Aku nggak suka ngebahas dia." Jawab Atika kesal."Dimas anak baik! Padahal cita-citanya tinggi sekali, Dan ingin sekolah. Malang sekali nasipnya," Lirih Nilam. Ia menyeka Airmatanya. Sebagai teman, sekaligus tetangga Atika, Nilam orangnya baik, dan perduli kepada Atika."Aku belum sempat mewujutkan permintaan Dimas, aku merasa berdosa, dan nggak becus jadi Ibu," Ucap A
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#11Setelah menunggu beberapa jam, anak Yuni tidak keluar juga. Sampai akhirnya mereka memutuskan membawa Yuni kekota, agar bisa di Oprasi."Gimana! si Yuni sudah lahiran?" Tanya Nilam."Nggak tau tuh! katanya dibawa kekota," Jawab Atika santai.Dalam hati Atika. Ia sangat gelisah, dan takut kalau Yuni lama pulang. Bisa-bisa rencananya gagal."Itulah akibat punya mulut kurang ajar," Ketus Nilam.Atika hanya tersenyum saja mendengar, perkataan Nilam. Sudah biasa bagi Atika tidak heran lagi."Ku sumpahin lahiranya anaknya sungsang, terus lengket. Biar nggak bisa diangkat," Ketus Yuni lagi."Hus! nggak boleh gitu Nil.""Habis aku kesal Ti! ingat nggak dia waktu memfitnahmu dulu. katanya kamu menggoda suaminya?" Nilam malah mengingat masa dulu. Dimana Yuni pernah memfitnah Atika menggoda, suaminya."Itukan cuma salah faham," Jawab Atika, lagi."Walaupun. Tapi perkataan dia itu seolah menggambarkan karma dia sendiri." Jawab Nilam geram.Lagi-lagi Atika terdiam, da
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#12"Wah, harum sekali ini! kalau ini jelas rasanya lebih enak dari Gulai," Seru Atika. Setelah selesai memasak Kari Ari-Arinya."Ternyata kamu beruntung mempunyai tetangga sepertiku ,Yun! buktinya saja aku rela capek-capek memasakkanmu kari, lezat."Atika tidak habis fikir. Ternyata dikari justru lebih menggugah selera. Saat Ia ingin mencuci tangan kearah kamar, Samar-samar ia melihat wanita berbaju putih dari dinding tepas, yang memang sudah sedikit bolong.Seketika bulu, kuduknya berdiri, dan ingin segera masuk kedalam kamar. "Apa itu tadi? Kok harum jeruk purut ya?" Gumam Atika, ngeri."Prakkk!" Suara atapnya seperti, dilempar menggunakan pasir. Begitu jelas terdengar ditelinga Atika."Berani sekali setan itu mengganguku! kalian kira aku takut? awas saja kalian muncul. Akan kugulai sekalian," Pekik Atika.Ia berusaha memejamkan matanya. Namun tidak bisa, suara aungan anjing terus terdengar. Padhal didesanya sama sekali tidak ada yang melihara anjing.Atik
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#13Diwan meraba gundukan tanah basah itu. sepertinya ada yang tidak beres. Karna kemarin tanah itu rapi, dan bambunya juga menjulang keatas, dan bukan Kesamping."Sepertinya ada, yang sengaja menyerak tanah ini. Bambunya juga mereng, dan ini sama sekali bekas bongkaran baru." Lirihnya curiga.Ia segera masuk kedalam. dan menanyakan itu kepada Istrinya, Yaitu Yuni. Dilihatnya Yuni Masi menyantap kari Ari-Ari itu tanpa tersisa, sedikitpun."Dekk!" "Apa Mas?" Sahutnya. Sembari mengelap mulutnya."Itu, tanah Ari-Ari siadek kok kayak ada, yang bongkar," Ucap Diwan."Bongkar gimana sih, Mas?" Sahutnya, sembari Masi menyeruput kuah Kari."Tanahnya. Seperti baru dibongkar lagi. Apa ada anak-anak tadi main kesini?""Anak siapa? disini anak-anak jarang, dan kalaupun ada ya cuma anak si miskin itu. Sama tetangga sebelah rumah kita Diah," Celetuknya."Simiskin siapa?" Diwan tidak mengerti."Itu si Atika.""Tapi mana mungkin anaknya sampai kesini! apa dibongkar kucing
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#14"Jait baju Buk." Atika menawarkan jasa jahitnya."Males lah! Mending jahit sendiri." Ketus Wanita tua berambut putih.Mereka sedang berbincang-bincang soal kehilangan ari-ari Yuni. " Aneh ya? kemarin dikampung sebelah. Sekarang malah dikampung kita." Ucap sipemilik warung, yang biasa dipanggil bude itu."Jangan-jangan didesa kita ini ada persugihan!" Ketus Ibu, yang satunya juga."Persugihan? Persugihan, apa?" Tanya Pemilik warung."Ya biar kaya lah. Secara dikampung kita ini masih banyak bener, yang miskin. Dan melarat. Contohnya itu Atika," Ucap Wanita rambut putih itu. Matanya melirik kearah Atika.Kalau bicara nggak usah sebut-sebut nama saya buk! saya emang miskin. Tapi untuk apa melakukan persugihan," Pekik Atika."Ya mana tau kan. Lagian bukanya menuduh bisa jadikan." Ucap Wanita berambut putih itu lagi."Kalau bicara seenaknya saja. Udah tua bukan tobat, malah menghina orang. Kalaupun saya melakukan persugihan kamu nanti, yang akan saya jadikan t
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#15Malam ini Atika berencana akan pergi kekampung sebelah. Ia sudah tekat sebelum Nilam mengadukan perbuatanya. Sebetulnya Nilam nggak punya bukti. Namun Atika harus tetap jaga-jaga.Mail masih duduk dipojok kamarnya. Terlihat Ia masih menangis segugukan. Sesekali Ia juga melirik kearah pintu kamarnya. "Kamu dirumah dulu. Ibu mau pergi, " Ucap Atika, dari balik pintu."Ibu mau kemana?" Tanya Mail. Suaranya masih terputus. Akibat tangisnya."Mau ada urusan sebentar. Kamu beranikan dirumah.""Mail takut buk! Inikan malam. Mail nggak berani," Jawab Mail."Ibu cuma sebentar. Kalau kamu ikut nanti, yang ada merepotkan ibu," Pekik Atika.Mail tertunduk, dan tidak berani menjawab lagi. Tangisnya meledak saat Atika melangkah keluar rumah."Hik,, hik,," takut buk! jangan tinggalin Mail." Pekikannya berubah, nejadi Pekikan sebuah tangisan.Semua harus ditanggungnya. Wajahnya menggambarkan sebuah kerinduan besar, terhadap Dimas, dan juga Daut, Bapaknya.Ia berjalan kel