"Hei, Alia," suara yang tidak asing di telinga Alia. Alia malas menengoknya. Ia berjalan terus tanpa menghiraukan panggilan tersebut.
"Alia, sombong sekali dirimu!" Kesal sang pria. Ia menatap Alia dengan perasaan jengkel.
Alia menunjukkan wajahnya yang dingin. Pria tersebut menarik Alia dengan kasar. Sang pria mengukir sebuah pohon dan membuat angka.
"Aku pastikan aku akan menikah denganmu," ucapnya sombong. Ia berteriak keras ketika Alia berjalan melewati dirinya.
"Oh ya?" tanya Alia meremehkan sambil membalikkan tubuhnya mengarah sang pria itu.
"Itu akan terjadi," katanya dengan keras hingga Alia yang berjarak 1 meter dengannya dapat mendengar dengan jelas.
Lima tahun kemudian
Usia Alia sudah 25 tahun. Ia tinggal bersama ayahnya yang sangat kaya bernama Menir sedangkan ibunya sudah lama meninggal dunia. Alia mendapat tekanan dari sang ayah. Menir ingin Alia segera menikah. Akan tetapi, Alia masih sibuk dengan menjalankan hobi dan tidak tertarik sama sekali dengan sebuah pernikahan. Alasan berikutnya, ia belum menemukan pria yang cocok untuk kareterianya. Akhirnya Menir mengalah dengan alasan-alasan Alia yang masih dianggap logis untuknya.
Menir bertemu dengan Joko temannya. Ketika Joko memperkenalkan putrinya yang bernama Sonia serta kedua anak dari Sonia yang lucu, yang tidak lain adalah cucu dari Joko. Terbersit rasa iri dipikiran Menir. Kapan ia akan punya cucu dari putri kesayangannya atau anak satu-satunya itu.
Tekanan demi tekanan Menir lakukan agar Alia mau menikah dan akhirnya Alia setuju dengan permintaan Menir. Ia sudah tak sanggup untuk menerima tekanan dari ayahnya.
"Alia," panggil Menir, Menir masih berada di luar rumah. Alia dan Tina saling pandang. Menir masuk dengan wajah sumringah seperti mendapatkan Jack pot.
"Alia, ada berita baik," suara Menir terdengar hangat akan tetapi Alia menaruh curiga. Tak biasanya ayahnya yang memiliki sifat dingin bisa tersenyum sehangat itu. Mata Alia melihat penuh selidik.
"Apa ayah?" Alia mengernyitkan dahinya.
"Ayah akan menjodohkanmu dengan Hendri, anak teman ayah."
Bom waktu seketika meledak tanpa terdengar bunyi menitnya. Tina memberanikan diri menentang Menir demi kebaikan sahabat baiknya.
"Paman, Alia masih terlalu muda untuk menikah," untuk pertama kalinya Tina memberanikan diri berbicara dengan Menir yang dingin.
"Lalu kenapa? Tunggu dia sepertimu," Menir melihat tidak suka terhadap Tina. Alia mencoba mencegah ayahnya untuk tidak berbicara sembarangan kepada sahabatnya akan tetapi Menir tak memperdulikannya. "Lihat usiamu sudah 30 tahun tapi belum menikah."
Menir menunjuk Alia dengan telapak tangannya. "Lihat putriku dia begitu cantik, banyak pria yang suka padanya." Kemudian Menir menunjuk Tina dari atas kepala sampai kaki dengan telapak tangan besarnya. "Lihat dirimu begitu gendut, mana ada pria yang suka padamu." ucap Menir meremehkan.
Tina merasakan sedikit sakit hati atas perkataan Menir yang menyingung fisiknya. "Kau diskriminasi, Paman!" kesal Tina.
"Aku bukan diskriminasi tapi itu faktanya, bukan?"
"Cukup, ayah!" Alia berjalan masuk ke kamarnya sedangkan Tina pulang ke rumahnya.
Menir mengetuk pintu kamar putrinya beberapa kali.
"Ayah bisa tidak sih menghargai perasaanku?" Alia berteriak dari kamarnya.
"Ayah hanya ingin kau bahagia, hanya itu. Lihat ayah! Ayah sudah tua dan ayah tidak tahu umur ayah sampai kapan akan bertahan." Menir mengetuk lagi pintu kamar Alia dengan lembut.
Alia membuka pintu dengan perlahan. Menir melihat Alia penuh harap akan tetapi wajah Alia sangat dingin seperti musim salju di bulan Desember.
"Ayah," Alia tanpa ekspresi memanggil.
"Iya,"
"Aku setuju menikah dengan Hendri,"
Senyum kebahagiaan terukir pada bibir Menir. Ia memeluk putrinya yang munggil itu. Suasana sedikit mencair dan hangat.
"Apa keputusanmu?" Tanya Tina saat ia duduk bersama Alia di bawah pohon rindang dan mengeluarkan udara segar."Aku setuju," jawab Alia agak murung. Tina langsung syok, matanya seperti ingin keluar dari rongganya serta jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari kecepatan sebelumnya."Kau tahu Hendri itu orangnya seperti keledai. Dia aneh!" Hardik Tina geram. Tina ingin membuka mata sahabat baiknya."Kau tahu apa, gendut?" tanya Hendri dengan kesal. Tina dan Alia tak menyadari ada sosok calon suami Alia di sini. Hening seketika sampai Hendri tertawa iblis. Menertawakan argumen Tina."Jangan melihat orang dari penampilannya saja," menunjuk kening Tina dengan jari telunjuknya. Tertawa menang. Alia agak geram tapi pikirannya tak mau menanggapinya."Aku enggak melihat kau berdasarkan penampilanmu tapi realitanya kau manusia kejam." Tina melawan, harga diri nomor satu untuknya.Rahang tegas Hendri mengeras. Matanya bergelora merah. Ia meng
"Sudah jelas karena wajahmu yang menawan itu," ucap Hendri penuh kharisma. Alia tampak murung dengan jawaban dari Hendri yang tak dapat memuaskan hatinya."Hei! Ada apa? Bukankah itu logis?" tanya Hendri dengan nada kesal. Pria dengan garis wajah tegas itu tampak begitu kesal. Dari dulu hingga sekarang ia belum bisa meluluhkan hati Alia."Logis, tapi tidak memuaskan," jawab Alia ketus.Hendri semakin kesal, ia menatap Alia dengan tatapan begitu dingin. Kesal, dari dulu hingga sekarang Alia tak pernah membuka hati untuknya.***Suatu hari pemuda bernama Farhan pindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan. Karena tak punya ijazah ia sulit mendapatkan pekerjaan. Farhan mendapatkan informasi dari beberapa orang yang baik padanya bahwa seorang saudagar kaya bernama Menir menyewa angkutan umum miliknya. Singkat cerita Menir dan Farhan bertemu dan menyesuaikan kesepakatan. Kesepakatan telah mereka buat dan Farhan menjadi salah satu supir
"Ada apa Ayah?" Alia bertanya seraya merapikan rambutnya yang acak-acakan."Calon suamimu datang, ayo temui dia!"Alia memutar bola matanya. Ia kesal, jam tidur nikmatnya diganggu oleh seorang yang tak pernah ia cintai. Siapa lagi kalau bukan Hendri, pemuda yang tampan dan berkharisma serta memiliki kekayaan dan kekuasaan tak mampu membuat hati Alia bergetar sedikitpun."Hem, ada apa?" Alia merenggut kesal. Hendri tak henti-henti menganggunya."Aku ingin mengajakmu ke proyek properti milikku."Alia malas mendengarkan ucapan sang pria tampan tersebut."Alia," Hendri melambaikan tangan ke wajah Alia. Alia sedikit terkejut dengan lambaian tangan Hendri."Kau tidak fokus dengan apa yang aku bicarakan?!" tanya Hendri membentak. Alia benar-benar terkejut sekali. Sang pria pilihan ayahnya ternyata emosional. Alia murung membuat Hendri sedikit menyadari nada tinggi ucapannya."Aku ingin mengajakmu jalan-jalan," kata Hendri melunak
Setelah pulang dari Rumah Dilah, Reno merasa kesal. Hatinya hancur karena gagal menikah dengan pujaan hatinya. Reno berjalan mendekati anak buahnya yang seram dan berotot."Kalian semua, cari calon istriku sampai ketemu, jika kalian bertemu pemuda yang bersama calon istriku bunuh saja dia," amarah Reno menggelegar. Hatinya hancur, kepalanya mendidih. Ia benar-benar murka pada pemuda yang menculik Dilah."Baik Bos," mereka menunduk dan berpencar untuk mencari Dilah.Reno mengacak-acak rambutnya kesal. Ia menendang angin sangkin kesalnya."Lelah sekali aku mencarimu sayang, semoga kau baik-baik saja. Pemuda itu harus mati di tanganku." gumam Reno dengan senyum iblis miliknya.Reno keluar dari rumah mencari sesorang untuk di bunuh untuk menghilangkan rasa kesal."Ini Bos, laki-laki tua yang tak mau membayar utang," lapor anak buah Reno.SreeettttReno menyayat laki-laki paruh baya tersebut dengan ganas. Setelah puas membunuh, ia pergi ke
Di kediaman Darma, Darma sedang duduk dikursi kebesarannya bak seorang raja. Tiba-tiba rasa santainya dikejutkan dengan laporan anak buahnya."Tuan Darma, saya telah menyelidiki Franz ternyata dia menyamar menjadi Ali." suara anak buah Darma pelan. Ia berposisi berjongkok dan menunduk hormat."Berita yang membosankan sudah sana pergi!" teriak Darma menggelegar membuat seisi rumah mendengarnya."Tuan, saya belum selesai bicara." ucap anak buah Darma dengan keringat dingin di tubuhnya."Katakanlah!" teriak Darma dengan intonasi yang lebih kuat dari sebelumnya. Membuat anak buah Darma bernyali ciut. Ia hanya terdiam karena merasakan ketakutan."Katakan!" suara Darma semakin kuat, ia seperti singa yang ingin menerkam rusa."Anak Tuan yang bernama Franz menculik putri Menir rival abadi Tuan," suara gugup, ia bahkan tak berani melihat Tuannya."Apa! Franz jadi penculik?" tanya Darma sambil bangkit dari kursi kebesaraannya. Mungkin inilah berita te
Menir mendatangi kediaman calon menantunya. Ia tergesa-gesa membawa berita buruk tentang tebusan 100 juta.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" suara Reno mencekam."Ini Bapak Reno," suara Menir lesu ia takut sekali akan terjadi sesuatu pada Dilah anak semata wayangnya."Ada apa?" tanya Reno dingin."Penculik meminta 100 juta sebagai uang tebusan." ucap Menir ketakutan."Apa?" teriak Reno dan melempar secangkir kopi yang barusan ia minum kesembarang arah."Iya Reno, penculiknya sangat berani." ucap Menir gemetaran."Sebenarnya ingin sekali kau kubunuh Menir. Tapi karena rasa cintaku pada Dilah membuatku mengurungkan niatku. Ini semua karena dirimu Menir, seandainya saja kau memberi gaji dan pesagon pada pemuda itu pasti semua ini tak akan terjadi." suara Reno berteriak pada Menir. Tanpa rasa sopan ia berkata sekeras itu pada orang tua yang seharusnya dihormati."Maafkan saya Nak Reno, saya akan membawa putriku untukmu." suara Menir t
Di malam hati Dilah duduk di tempat tidur. Kemudian telepon selulernya berbunyi."Hallo Dilah," ucap Fina yang mulai khawatir karena mendengar isu Dilah diculik."Iya Fina," senyum girang mendapat telepon dari sahabatnya."Kau diculik ya?" tanya Fina dengan nada takut-takut."Hahaha, tidak, justru aku yang menculiknya," tawa Dilah mengungkapkan kata-katanya tadi."Apa! Yang benar saja?" tanya Fina, Fina terdengar menelan ludah."Iya aku serius," ucap Dilah sambil tertawa kecil."Kau baik-baik saja?" tanya Fina yang masih tak percaya.Apakah orang yang diculik sesenang ini? Batin Fina."Iya aku baik-baik saja, penculikku eh maksudnya orang yang aku culik memperlakukanku dengan baik." ucap Dilah tanpa rasa malu."Bagus kalau begitu. Lebih baik kau menikah saja dengan pemuda itu," ucap Fina menggoda."Ah, aku tak suka pemuda yang polos seperti dia. Aku anak mafia, aku ingin memiliki pendamping hidupku yang kuat." u
Itu mereka!" teriak Reno pada Menir membuat Franz dan Dilah terkejut."Aku sudah tak kuat berlari Ali, jika kau ingin selamat, pergilah!" ujar Dilah sambil memegangi kakinya.Franz tak tega meninggalkan Dilah di hutan. Ia gendong Dilah dipungungnya dan berlari tanpa arah.Setelah melewati hutan yang cukup dalam mereka melihat sebuah perkampungan. Terlihat orang-orang kampung tampak ramah dan baik menyambut orang baru."Itu istrinya kenapa di gendong?" tanya ibu paruh baya yang membawa sayur-sayuran yang disunggih di kepalanya.Istri, aku belum menikah. Franz"Dia lelah Bu," senyum Franz, terlihat Dilah memejamkan matanya dan bersandar di bahu Franz."Bagaimana kalau kalian ke rumah ibu? Kebetulan rumah ibu tak jauh dari sini." senyum ibu tersebut ramah. Ia benar-benar ibu yang berhati baik.Setelah sampai rumah, Franz membaringkan Dilah di tempat tidur yang terbuat dari kaya. Rumah Ibu tersebut sederhana, rumah panggung yang dibuat dar