Motor Adam meluncur cepat, keluar dari Jalan Darussalam menuju Jalan Gudang. Hatinya kini begitu menggebu dengan semangat membara meski terik matahari memayungi perjalannnya.
Di kepala Adam terus terbayangkan, dua mayam selanjutnya yang akan segera berpindah tangan. Artinya, selangkah lebih dekat menuju Azizahnya yang begitu didamba.
Adam menghentikan laju motor, dia memarkir kuda besinya yang mulai tua dan membiarkan tukang parkir mengambil alih. Langkahnya kian tegas menuju sebuah toko emas dengan lambang bintang. Pria bertubuh kurus dengan jam tangan kekuningan menyambut kehadiran Adam.
“Toke, dua mayam!” tegas Adam seraya menunjuk deretan cincin di dalam etalase. Hatinya berdebar hebat tatkala melihat deretas emas dalam berbagai ukuran. “Sungguh bagi para Toke Emas, menyanggupi mahar seratus mayam adalah hal yang mudah,” pikirnya.
Dua pembeli di sebelah Adam ikut mencuri pehatiannya. Mereka memborong dalam jumlah yang sangat besar. Dua gelang tebal dan seuntai kalung nan berat. Pandangan Adam tidak bisa teralihkan dari perhiasan-perhiasan yang begitu diinginkannya itu, hingga tanpa disadari Adam penjual berucap padanya, “Ini, Bang. Dua mayam!”
Sebutir cincin mungil nan tipis disodorkan ke arah Adam. Hati pemuda itu mencelos, melihat bagaimana jauhnya jarak yang tercipta antara kenyataan dan hayalan.
“Ini semua enam puluh mayam, Toke?” Wanita di sebelah Adam berseru. Dia sibuk mencoba dua lingkar gelang emasnya yang berat, pun seuntai kalung untuk wanita yang lebih muda. Sesekali gemerincing emas yang beradu terdengar oleh telinga Adam.
“Beutoi, Bu. (Benar, Bu). Beli banyak bisalah dikurang. Harga langganan!” sambung pria itu.
“Kalau belinya sedikit enggak bisa, Toke. Hana pat tacok laba! (Hampir tidak ada untungnya).”
“Toke, tolong dibungkuskan, ya?” ujar Adam. Dia sadar, ucapan dari wanita di sebelahnya adalah untuk dirinya. “Ini, uangnya, Toke! Tidak masalah kalau tidak dapat potongan. Setidaknya aku tidak mengusik orang yang tidak kukenal!” Adam bersungut kemudian.
Dia menerima kwitansi yang telah diisi oleh Toke, mengabaikan wajah merengut dari pembeli di sebelahnya. Setelahnya, dia menuliskan nama selaku penerima barang, dengan ditatap oleh Toke tanpa kedip.
“Jadi, kamu Si Adam?” serunya tiba-tiba. Dia menarik kwitansi dari tangan Adam, kemudian merobeknya menjadi dua bagian. “Beli di tempat lain saja, sana!”
“Loh, Toke? Apa-apaan ini?” kilah Adam tersinggung. Tubuhnya mendadak panas dingin.
“Toko ini juga dibantu Toke Sofyan, jadi kami tidak menjual barang ke orang yang dimusuhi Toke Sofyan. Silahkan cari toko emas lain yang tidak berurusan sama Toke Sofyan, Bang.”
“Urusannya sama aku apa, Toke?”
“Tidak usah banyak bicara, Bang. Pergi saja! Kami tidak mau berurusan sama Toke Sofyan. Bisa-bisa hancur bisnis ini.”
Adam menghela napas, dia mengulurkan tangan di atas etalase dengan lemah. Uang yang sudah diberikannya pun dikembalikan Sang Toke begitu saja. Membuat Adam terpukul cukup dalam, hingga dia melangkah menjauh dari toko, diiringi kikikan kecil dari wanita di sebelahnya.
“Bang, lon bi nasihat saboh! (Aku beri satu nasihat).” Toke berseru. “Kasus Abang saat ini, artinya Abang ditolak Toke Sofyan. Tidak usah memaksakan diri, karena Toke Sofyan sendiri yang mengumbar ke seluruh pemilik toko emas di sini, kalau Abang sanggupi mahar putrinya, maka akan dia naikkan dua kali lipat. Mau cari dimana enam ratus gram, Bang? Mundur saja, perempuan bukan satu di dunia ini.”
Adam melipat bibirnya, panas hati menyerang seketika. Ingin berkelit dari ucapan pria itu, sebenarnya Adam pun mengetahui hal ini. Tetapi dia memaksa, demi Azizah yang begitu dia cinta.
“Heh ... belum kapok juga!”
Adam mencoba menolehkan wajah, dekat dengan etalase toko emas tempatnya berdiri tadi, Toke Sofyan sudah bersandar di sana. Dia memandang ke arah Adam, disertai sunggingan senyum di bibirnya.
“Masih tidak sadar diri!”
“Anda benar, Toke!” sahut Adam, sadar jika pria itu sudah memerhatikannya sejak tadi.
Lelah diam, membuat Adam memutuskan untuk membela diri. “Aku tidak tahu diri. Tapi Anda lupa kalau soal jodoh itu urusan Yang Di Atas.”
“Heh, kamu juga jangan lupa, kalau Azizah itu putriku. Kalau bukan aku yang menikahkan, sampai mati pun Azizah tidak akan mau.”
“Jika Allah sudah berkehendak, Anda akan merestui kami. Anda juga akan menikahkan kami, Toke,” balas Adam.
Adam segera menuruni anak tangga, menuju motornya yang sudah menanti di bawah terik matahari. Semangat Adam berkobar lebih hebat, kehadiran Toke Sofyan barusan membuat dirinya ingin berjuang lebih keras dan membuktikan jika dirinya berhak untuk menikahi Azizah.
Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal.
Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.&l
Dug Dug DugAdam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.Di antara semua gadis, kenapa harus Azi
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta
Toke Jaya menunggu dengan sabar. Pemuda yang baru saja kehilangan impiannya itu meringkuk tidak berdaya di atas sofa ruang kerjanya yang mulai kusam. Ekspresi Adam sudah menjelaskan semua hal yang ingin diketahui oleh Toke Jaya tanpa harus bertanya.Toke Jaya memilih menyesap lagi kopi hitamnya yang nikmat. Lalu, memandangi bergantian antara cangkir kopi dengan Adam yang diam di sofa.Di mata Toke Jaya, keduanya terlihat mirip. Bibir hitam Toke Jaya melengkung sesaat, telunjuknya mengitari bibir cangkir yang basah dengan cairan hitam beraroma pekat.“Kamu tahu, Dam ... nasibmu itu seperti kopi di mata orang yang tidak menyukai kopi.”Adam menoleh sejenak, setelah menemukan keberadaan Toke Jaya, dia kembali memejamkan mata. Ingin dirasakannya ketenangan dari apapun yang ada di sekitar, termasuk Toke Jaya sekalipun.“Kamu itu, ditolak, bukan berarti kamu buruk. Kalau orangnya tidak suka kopi, mau diceritakan nikmatnya segelas kopi p
Mereka terlibat dalam pertempuran sorot mata dalam hening. Baik itu Naya atau Adam sekalipun, sibuk memandang. Naya menyoroti Adam, sedang pemuda itu menjatuhkan pandangannya pada seorang pemuda nan gagah di belakang Azizah.Pemuda yang disebut oleh Toke Sofyan sebagai orang yang paling tepat untuk Azizahnya itu, kini hanya berjarak tiga meter darinya. Dia baru saja menuruni mobil pajero yang berharga fantastis, kemudian membukakan pintu untuk wanita yang berumur namun tetap terlihat menawan dalam balutan gamis gelap serta kerudung panjangnya.Wanita itu menggenggam satu tas mungil yang berkilauan saat binar matahari menimpa. Indah, dan tentunya menjelaskan stratanya kepada siapapun yang melihat.“Pak! Syarat apa yang Bapak terima dari ayah kemarin, huh?” cerocos Naya di tengah gemuruhnya dada Adam. Gadis itu tidak mau menunggu lebih lama, mengingat jika dia merasa dikhianati oleh Toke Jaya. Seharusnya, kemarin, saat keduanya berbicara