Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.
Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.
Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.
[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal. Azizah gadis biasa, pun sederhana. Diberikan mahar semampu Bang Adam sudah lebih dari cukup, asal kita bisa bersama.]
[Bang Adam, hari ini, ayah bertanya pada Azizah, sudah sejauh mana pencapaian Bang Adam, dan Azizah tahu kalau Bang Adam sedang berjuang. Tetapi, ayah tidak mau menunggu lebih lama. Ayah sudah menyebutkan soal ingin menikahkan Azizah dengan Teuku Idris, anak Toke Emas lain di Aceh Utara. Azizah tidak mau menikah dengan lelaki lain.]
[Bang Adam, tolong Azizah ....]
Adam memejamkan mata, mencoba menikmati perih yang terus menggoda dada. Begitu kedua kelopak merapat, bayangan akan masa lalu saat pertemuan pertama dengan Azizah mulai tercipta.
“Assalamualaikum, boleh tanya jalan, Bang?”
Hari itu, dua gadis jelita menyapa Adam yang sedang duduk di taman sendirian. Dia yang disibukkan dengan tugas akhir hampir menolak untuk mengangkat wajah. “Perpustakaan di mana, ya, Bang? Maaf, kami mahasiswa baru di sini,” imbuh suara gadis lain. Lebih syahdu, lebih indah dan amat menentramkan jiwa Adam.
Segera, dia mengangkat wajahnya, demi melihat dengan lebih jelas sang pemilik suara yang baru saja menyentuh hatinya. Adam tertegun untuk beberapa detik. Paras indah dengan manik mata berkilauan itu tersenyum kikuk ke arahnya. Jemarinya yang lentik mengulurkan sebuah brosur lecek, terlihat oleh Adam pula, betapa beningnya kulit putih sang gadis. Juga, kuku merah mudah yang bersih walau tanpa polesan apapun.
“Ini, di brosurnya, tertera kalau di kampus ini ada perpustakaannya. Lengkap dan memiliki Wifi,” imbuh gadis itu lagi.
“Bang? Apa Abang mahasiswa baru juga?” Gadis itu menelisik sebab Adam belum menjawab dirinya.
“Oh, ti-tidak. Mahasiwa tua! Eh, mahasiswa lama, sudah semester akhir. Ta-tadi nanyain apa?” balas Adam jauh lebih kikuk dibandingkan gadis cantik itu.
“Jadi, di mana perpustakaannya?” Gadis yang lain menyergah sebelum Adam semakin terlena.
Pemuda itu mengerjapkan mata, lalu menoleh ke kanan seraya menunjuk sebuah bangunan yang tiga puluh persennya berupa kaca. “Itu perpustakannya!” seru Adam.
Kedua gadis itu mengangguk paham, kemudian mengucapkan kata pamit sebelum melangkah meninggalkan Adam sendirian. Pemuda yang baru saja merasakan gejolak yang berbeda, seketika berkata, “Namanya siapa, ka-kalau boleh tahu?”
“Azizah, Bang!” balas sang gadis.
Tring!
Bayangan yang ada di kepala Adam seketika menghilang. Bunyi berdenting itu mengusik ingatan Adam tentang pertemuan pertamanya dengan Azizah dulu. Mereka yang masih begitu muda dan polos, belum mengerti tentang pahitnya masa depan hanya mampu menyusun setiap langkah agar bisa bersama.
Namun kini, baik Adam ataupun Azizah, dihadapkan dengan sebuah kenyataan nan memilikan, tentang cinta yang terhalang oleh harta. Klise, itulah yang Adam rasakan, meski begitu dia tetap mengusap layar gawai dengan ibu jarinya hingga pesan dari gadis yang begitu didamba muncul.
[Azizah berharap, Abang Adam bisa lebih berusaha. Azizah pun terus berdo’a. Ayah terus mendesak sampai bertengkar dengan mamak.]
Usai membaca pesan tersebut, Adam menghela napas. Entah berusaha seperti apa lagi yang dimaksudkan Azizah. Andai saja gadis itu tahu yang sebenarnya, tentang bagaimana Toke Sofyan mencoba menggagalkan usahanya.
[InsyaAllah, Zizah. Istirahatlah.]
Hanya sepotong kalimat itulah yang dikirimkan Adam, sampai matanya terlelap, dan Adam tertidur dalam buaian mimpi yang pedih.
--
Langit kian mendung siang ini, saat Adam melangkahkan kedua kakinya keluar dari kelas. Diantar tatapan bingung para siswa serta diekori Naya dengan setumpuk buku di pelukannya, Adam menuju kantor.
Baru saja menderapkan langkah di keramik kantor, Adam melirik sesuatu yang terletak di meja guru kelas di sebelahnya. Sesuatu yang menarik mata Adam, namun tidak segera dia sentuh mengingat bukan miliknya.
“Mau pulang, Pak Adam?” sapa Bu Erna ramah.
Wanita pemilik meja tersebut buru-buru memindahkan lipatan kertas cantik yang ada di mejanya. “Sudah selesai ngajarnya, ya? Oh, iya ... gaji honorer sudah masuk, loh. Hm, satu jam lalu dikirim operator sekolah,” sambungnya dengan senyum yang lebih merekah.
Adam membalas kecut. Rasa penasaran terus menguak hatinya saat melihat gelagat aneh dari Bu Erna. Meski begitu, Adam tidak ingin berburuk sangka, dia mengumpulkan buku-buku di atas meja, memasukkannya ke dalam tas kerja dan mengisi absensi harian sebelum kemudian pamit pada Bu Erna.
“Pak? Ini taruh di mana?” cegat Naya. Adam mengunci rapat bibirnya. Pemuda itu terus berjalan hingga keluar dari kantor guru.
Baru saja mencapai koridor panjang, Adam dikejutkan dengan dering gawai yang disimpannya di saku. Nama Azizah lagi-lagi terpampang di layar.
[Abang Adam, sudah sebulan dan belum ada kabar baik, ya? Apa Abang bisa bertemu nanti sore? Azizah ajak sepupu supaya tidak cuma berdua.]
Entah mengapa, perasaan Adam semakin tidak karuan. Memang, sudah sebulan berlalu sejak dia melamar gadis itu. Setidaknya bagi Adam, dia sedang melamar, sedang bagi Toke Sofyan, lamarannya sudah ditolak mentah-mentah.
Juga, sejauh ini dia baru mengumpulkan lima belas mayam. Perjalanannya terlalu panjang dan berliku, itu juga sudah berhutang ke teman-teman meski mereka menertawai keinginan Adam yang di luar nalar.
[Baik, Azizah. Abang akan datang sore nanti, di restoran kesukaan Azizah, kan?]
[Ya, Abang.]
“Semoga, bukan sesuatu yang buruk, Zizah,” harap Adam.
Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.&l
Dug Dug DugAdam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.Di antara semua gadis, kenapa harus Azi
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta
Toke Jaya menunggu dengan sabar. Pemuda yang baru saja kehilangan impiannya itu meringkuk tidak berdaya di atas sofa ruang kerjanya yang mulai kusam. Ekspresi Adam sudah menjelaskan semua hal yang ingin diketahui oleh Toke Jaya tanpa harus bertanya.Toke Jaya memilih menyesap lagi kopi hitamnya yang nikmat. Lalu, memandangi bergantian antara cangkir kopi dengan Adam yang diam di sofa.Di mata Toke Jaya, keduanya terlihat mirip. Bibir hitam Toke Jaya melengkung sesaat, telunjuknya mengitari bibir cangkir yang basah dengan cairan hitam beraroma pekat.“Kamu tahu, Dam ... nasibmu itu seperti kopi di mata orang yang tidak menyukai kopi.”Adam menoleh sejenak, setelah menemukan keberadaan Toke Jaya, dia kembali memejamkan mata. Ingin dirasakannya ketenangan dari apapun yang ada di sekitar, termasuk Toke Jaya sekalipun.“Kamu itu, ditolak, bukan berarti kamu buruk. Kalau orangnya tidak suka kopi, mau diceritakan nikmatnya segelas kopi p
Mereka terlibat dalam pertempuran sorot mata dalam hening. Baik itu Naya atau Adam sekalipun, sibuk memandang. Naya menyoroti Adam, sedang pemuda itu menjatuhkan pandangannya pada seorang pemuda nan gagah di belakang Azizah.Pemuda yang disebut oleh Toke Sofyan sebagai orang yang paling tepat untuk Azizahnya itu, kini hanya berjarak tiga meter darinya. Dia baru saja menuruni mobil pajero yang berharga fantastis, kemudian membukakan pintu untuk wanita yang berumur namun tetap terlihat menawan dalam balutan gamis gelap serta kerudung panjangnya.Wanita itu menggenggam satu tas mungil yang berkilauan saat binar matahari menimpa. Indah, dan tentunya menjelaskan stratanya kepada siapapun yang melihat.“Pak! Syarat apa yang Bapak terima dari ayah kemarin, huh?” cerocos Naya di tengah gemuruhnya dada Adam. Gadis itu tidak mau menunggu lebih lama, mengingat jika dia merasa dikhianati oleh Toke Jaya. Seharusnya, kemarin, saat keduanya berbicara
“Ayah!” Naya berseru begitu mendapati keanehan dari cara bicara Adam terhadap Toke Jaya.Gadis muda itu meringsek masuk, melewati Adam hingga berhadapan langsung dengan pria yang darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Naya mengangkat dagu, menatap balik paras tirus dari Toke Jaya tanpa rasa gentar sedikitpun.“Ayah harus jelasin ke aku!” tuntutnya.“Jelasin apa, Naya? Kamu ini ... sekolah saja yang benar, ya? Jangan mikirin urusan orang dewasa. Kalau sudah kuliah nanti, Ayah belikan mobil yang kamu mau. Sekarang, kamu keluar dulu!” balas Toke Jaya.Pria itu memutar paksa tubuh Naya walau gadis itu meronta. Baginya, pembiaraan nan rahasia antara dirinya dan Adam tidak boleh terdengar oleh siapapun, walau hanya seekor semut. Segalanya begitu rahasia dan harus dijaga agar tidak mengundang petaka.Toke Jaya mendorong pelan tubuh anak gadisnya melewati Adam, menyebabkan kaki gadis itu menggesek lantai hingga bunyi yang