"Ya Alloh, lindungilah suamiku."Pada akhirnya, kupasrahkan keselamatan Mas Dasep pada Yang Maha Kuasa. Tak akan cukup waktu untuk terus memikirkannya. Aku harus segera memasak, berharap suamiku segera pulang dan makan dengan lahap."Assalamualaikum."Yang kunantikan telah pulang. Mas Dasep melongokkan kepalanya di pintu warung, mengejutkanku yang tengah memasak sup ayam untuknya."Masih masak di warung, kompor yang baru belum dipasang?" tanya Mas Dasep."Belum, Mas. Aku masih takut nyalain api di dapur belakang. Mas dari mana saja?""Tadi Mas langsung berangkat ke pabrik. Kan Mas sudah cerita, kalau pabrik dapat borongan, jadi bos gak izinkan libur karena banyak kerjaan. Lagian gak enak, uang bonu
"Mbak Ayu mau beli apa? Biar saya ambilkan," kataku. Pura-pura tak mengerti kalau dia hendak meniru apa saja yang kujual di sini."Nggak kok Mbak Mur, aku cuma mau lihat-lihat saja barang daganganmu. Soalnya, dari pagi kuperhatikan warga bolak-balik belanja ke warungmu, sudah pasti kamu jual yang mereka butuhkan, kan. Makanya, aku ke sini mau ngecek Mbak Mur jual apa aja biar aku juga ikutan jual di warungku " jawabnya.Rasanya aneh melihat senyuman di raut wajah Ayu yang jutek."Bukannya barang dagangan Mbak Ayu lebih banyak, ya? sindirku halus."Ya banyak sih, tapi kupikir barang dagangan kita beda. Soalnya kok warungku sepi banget. Ternyata, semua yang kamu jual di sini, aku juga jual di warungku. Tapi, kok kenapa mereka malah beli di warungmu, ya?" katanya.
"Ibu-Ibu arisan di RT-ku, Kak ... mereka ghibahin aku!" jawab Mila sambil sesenggukan."Memangnya ghibah apa?""Mereka bilang, suamiku kerja di kota, kerjanya proyekan, banyak uangnya, tapi kok aku masih ngontrak! Harusnya aku sudah punya rumah sendiri, begitu kata mereka, Kak ....""Ya, kamu kan baru menikah dua tahun, wajar kalau masih mengontrak," kataku, coba menenangkannya. "Kakak juga sudah delapan tahun menikah tapi belum punya rumah sendiri. Tapi, Kakak biasa aja, gak musingin omongan orang. Yang penting rumah tangga Kakak bahagia walau mengontrak.""Itu kan Kakak! Kakak kan gak tahu malu, tapi kalau aku malu digituin! Bahkan, mereka gak mempercayaiku, Kak. Mereka bilang, aku berbohong tentang pekerjaan Kang Husni. Mereka menyangka Kang Husni di kota hanya jadi supir pribadi orang kaya sa
Siapa sangka, begitu pertanyaan terlontar dari mulutku, Mas Dasep langsung melahap semua jagung bakarnya. Hingga mulutnya penuh saat mengunyah, pipinya menggembung."Jagung ini enak, Mur. Bumbunya juga meresap, Mas baru kali ini makan jagung bakar dengan bumbu seperti ini. Mungkin ini bumbu racikan kota, di sini belum ada. Pantas, orang-orang pada beli," jawab Mas Dasep."Mas lupa ya, itu jagung bakar siapa? Yang jual, kemarin malam mau bakar rumah kita lho!" kataku.Jujur, aku cemburu. Tapi, Mas Dasep orangnya objektif. Enak dia bilang enak, gak enak dia bilang gak enak. Sesuai kenyataan aja.Hanya saja, sebagai seorang istri ada perasaan tertentu ketika suami lebih memuji masakan perempuan lain dibandingkan masakan istrinya sendiri, meskipun ini hanya masalah jualan jagung bakar.
"Astaghfirullohaladzim. Ada apa ini, Mila? Kok kamu ngatain aku seperti itu?"Untung saja kompor sudah kumatikan, karena ternyata Ibu Mertua langsung menarik tanganku, dia mengajakku masuk ke rumah. "Jangan di sini, malu dilihat tetangga," katanya, dengan nada yang ditahan."Murni, kenapa kamu perhitungan sama adik ipar sendiri? Tadi Mila minjam uang, tapi kamu bilang gak mau kasih pinjam karena utang Mila yang kemarin saja belum dibayar, begitu?" tanya Ibu Mertua begitu kami di dalam rumah."Bukan aku yang ngomong begitu, Bu. Tapi Mas Dasep," jawabku."Mila bilang, kamu yang ngomong begitu!" serang Ibu Mertua.Aku melihat ke Mila, dia melipat tangan di dada sambil melihatku dengan tatapan kebencian. "Mila, kenapa kamu berkata bohon
"Ajak-ajak dong, Mbak Mur. Siapa tahu dukunnya juga cocok di saya," lanjutnya.Aku hanya bisa 'melongo' melihat tingkah lakunya. Apalagi, dia mengatakan itu dengan ekspresi yang menyebalkan."Maaf ya, Mbak Ayu. Saya gak pakai yang begituan. Kalau jualan saya laris, itu karena pembelinya yang suka dengan jualan saya," jawabku mencoba tetap tenang.Ayu malah menertawakan. "Jaman sekarang, jualan gak pakai penglaris itu mustahil. Apalagi, kali ini ada aku sebagai saingan, pasti Mbak Mur nambah lagi tuh dukunnya. Buktinya, kemarin jagung bakar Mbak Mur sepi, malam ini malah laris manis sampai-sampai pelanggan saya berbelok ke sini.""Astaghfirulloh, kenapa Mbak Ayu ngomongnya seperti itu? Saya cari rejeki dengan cara halal, Mbak," jawabku.Ingin rasanya kuabaikan saja orang ini, tapi jika dibiarkan nanti dia mengira aku mengiyakan semua tuduhannya. Dan bisa saja dia menyebarkan gosip
"Kayaknya, saya harus bicarakan dulu dengan suami," jawabku."Baik. Mudah-mudahan saja suamimu setuju. Besok saya ke sini lagi untuk minta kepastiannya."Mang Supri pamit pulang.*Malam hari warung masih ramai meski sudah lewat jam sembilan. Anak-anak muda yang masih berkeliaran malam-malam, nongkrong di sini sambil jajan seblak dan pentol ceker mercon. Ini adalah malam Minggu, namun terpaksa warung kututup lebih awal meski yang beli masih mengantre.Aku kedatangan tamu, dan juga masih harus meluangkan waktu berdiskusi dengan Mas Dasep. Jika kupaksakan buka sampai jam sepuluh-sebelas seperti biasa, aku tak akan punya waktu lagi. Kesibukanku dengan usaha ini membuat waktuku terkuras."Bibi senang usahamu maju. Kalau orangtuamu masih ada, mereka pasti akan bangga."Bibiku berkunjung ke rumah, ini pertama kalin
"Selain itu ... saya juga khawatir dengan anak yang ada dalam kandungannya. Saat ibunya difitnah dan dicemooh, anak itu pasti mendengarnya," lanjut Mas Dasep.Baik aku maupun Bibi jadi terdiam. Antara bingung dan kagum, dengan respon Mas Dasep yang mengkhawatirkanku sampai sejauh itu.Aku pun terharu dan ikut meneteskan air mata. Seketika, teringat kembali bagaimana cemoohan dan fitnahan itu mengganggu pikiranku setiap malam, dan aku selalu menumpahkannya lewat tangisan dengan bersembunyi. Namun, rupanya suamiku tahu semua itu."Kalau sudah begini, Bibi bingung mau nasihatin apa. Kamu terlalu sayang sama istrimu, bahkan istrimu sendiri tak berpikir sejauh yang kamu pikirkan itu. Tapi, kalau soal gunjingan itu pasti lama-lama akan reda dengan sendirinya," kata Bibi."Terimakasih Mas sudah me