“Terima kasih, Pak, sudah menjaga tas saya,” sahut Prita pada Ray dengan nada formal. Kecanggungan nampak pada raut Ray saat menyerahkan tas itu pada Prita. Lantas, Prita menjulurkan tangannya di hadapan Kiara. “Saya Prita, asisten pribadi Pak Raymond.”
Kening Kiara mengerut. “Asisten pribadi? Sejak kapan Ray punya asisten pribadi? Dia nggak pernah memberitahuku tentang hal itu.” batin Kiara sambil menatap Prita dengan seksama.
“Ah, Kiara,” Kiara berusaha tersenyum sopan seraya membalas jabatan tangan Prita.
“Oh, Bu Kiara,” Prita manggut-manggut.
Ray berdeham sebentar sebelum akhirnya buka suara. “Oh iya, Ki, aku lupa cerita soal asisten pribadi baruku.”
Kedua mata Prita yang dibubuhi bulu mata lebat itu menyapu penampilan Kiara kali ini.
“Hm, cantik juga,” komentar Prita dalam hati. “Gayanya simpel namun elegan. Lihat saja bagaimana dia bisa memadukan blus satin berwana krem itu dengan kulot lebar. Dan tasnya, aku tahu itu tas mahal. Tanpa riasan tebal saja, dia bisa tampil cantik begitu. Pantas Ray menikahinya.”
“Bu Kiara, saya sudah sering mendengar tentang Anda dari Pak Ray,” Prita mengulum senyum sambil mengatupkan kedua tangannya. “Senang akhirnya kita bisa bertemu.”
Kiara hanya tersenyum tipis membalas ucapan Prita. Entahlah, dia kurang suka dengan pembawaan Prita yang terlihat dibuat-dibuat di depannya.
“Ray, kenapa kamu bisa ada di sini?” Kiara mengalihkan pandangannya pada Ray.
“Biasa Ki, ada pertemuan sama klien. Kebetulan kami habis selesai makan siang. Iya kan, Prita?” Ray melirik Prita penuh makna.
“Oh iya, betul itu,” ucap Prita cepat.
“Kamu kok bisa ada di sini, Ki?” tanya Ray heran.
“Aku ketemuan sama Nabila, Ray. Aku udah kirim pesan ke kamu kok. Tapi kurasa kamu terlalu sibuk jadi nggak baca pesanku.”
Ray segera mengecek ponselnya. “Astaga, sorry, Ki. Aku bener-bener nggak ngecek HP sedari tadi. Ya udah, salam ya buat Nabila. Aku harus segera kembali ke kantor. Kamu hati-hati ya. Malam ini aku bakal pulang cepat.”
Prita ikutan pamit dan mengekor di belakang Ray. Kiara hanya bisa memandangi mereka berdua menjauh sampai menghilang di eskalator. Tiba-tiba saja hati kecilnya mengatakan ada yang tidak beres.
Ya, wangi parfum itu. Dia mencium wangi parfum menyengat yang melekat di kemeja Ray semalam.
***
“Jadi, kita mau makan di mana?” Tanya Prita setelah mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa.
“Entahlah. Yang pasti kita harus keluar dari mal ini secepatnya.”
Ray memasukan perseneling mobilnya dan meluncur keluar dari parkiran mal itu.
Prita mendesah pelan. “Aku udah laper banget lho.”
“Habis mau gimana lagi. Kita nggak bebas kalo ada istriku di sana.” Ray melirik sekilas ke arah Prita yang cemberut. “Oke, oke, gimana kalau kita makan di Shaburi aja. Restoran Jepang favorit kamu.”
“Ya udah.” Balas Prita cepat. “Ray, aku mau classic Chanel dari lamb skin itu.”
“Hah? Jadi kamu maunya makan daging domba?”
Prita berdecak kesal. “Bukan Ray. Tas. Aku mau tas yang sama kayak yang dipakai istrimu tadi. flap bag classic Chanel dari kulit domba.”
“Oh, tas itu bukan dari pemberianku, Ta. Aku nggak pernah beliin dia tas. Kalo nggak salah tas itu pemberian dari mendiang ibunya. Kalo kamu mau, gampanglah nanti aku beliin. Tas begitu doang paling berapa sih harganya.”
Prita hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kamu memang nggak tahu apa-apa soal dunia wanita, Ray. Itu bukan sekadar tas biasa. Harga tas itu hampir delapan puluh juta.”
“Delapan puluh juta?!” Ulang Ray tidak percaya. Ray baru ingat kalau kakak iparnya, Bianca, punya tas yang sama seperti milik Kiara. Itu artinya Alex mampu membelikan istrinya tas semahal itu.
“Memangnya si Kiara itu anak orang kaya juga?” Tanya Prita penasaran.
“Bukannya aku pernah cerita ke kamu ya kalau orangtua Kiara itu punya resor di Batam dan beberapa jaringan mini market di sana.” Jelas Ray, pandangannya tertuju ke jalanan yang padat. “Yah bisa dibilang dia memang terlahir dari keluarga berada. Tapi ibunya sudah lama meninggal. Dan waktu SMA, ayahnya sudah menikah lagi.”
“Kamu belum cerita soal itu, Ray.”
“Tapi untuk apa sih kamu tahu hal itu? Lagi pula, kekayaan keluargaku masih jauh di atas keluarganya Kiara. Pokoknya kalau aku bisa menang proyek dari Papa, aku bakal membelikan tas itu untukmu.”
Prita langsung bersemangat. “Beneran, Ray? Janji ya.”
“Iya, Sayangku. Pokoknya kamu harus bantu aku.”
“Pasti.”
Seketika ponsel Ray berdering. Ray menoleh ke arah layar. “Tolong angkat dulu, Ta. Dari kantor soalnya.”
Prita mengangat telepon itu. Sesekali dia mengangguk mengerti sebelum akhirnya percakapan telepon itu berakhir.
“Ray, ada orang dari LSM yang ingin meliput proses pembuangan limbah.” Terang Prita. “Para staf butuh kamu di kantor.”
“Duh, aku nggak ngerti soal begituan, Ta. Kenapa mereka nggak minta bantuan Pak Johan aja sih?”
“Kamu lupa ya? Pak Johan kan lagi cuti.”
Ray menggaruk-garuk kepalanya kesal. “Hah, kalau begitu kita harus kembali ke kantor secepatnya.”
Ray langsung memutar mobilnya ke arah kantor.
“Lho, terus makan siang kita gimana, Ray?”
“Terpaksa kita take away MCD aja.”
Prita pun mendengus kecewa mendengarnya.
***
TING!
Bibir gelas wine mereka saling beradu. “Cheers! Untuk kehebatan wanitaku yang satu ini atas kepintarannya menjelaskan soal pembuangan limbah ke para pegawai LSM yang menyusahkan itu.” terang Ray sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Prita menepiskan tangannya sambil tersipu malu. “Itu bukan hal yang sulit kok. Saat kamu mengulur waktu dengan menjamu mereka, aku mempelajari sekilas sistem pembuangan limbah perusahaan melalui dokumennya Pak Johan.”
Ray bersandar di sofa lounge yang empuk. Tangan kirinya merangkul bahu Prita. Mereka berada di sebuah sky bar dengan atap terbuka di sebuah gedung pencakar langit di Jakarta. Bar ini menyuguhkan pemandangan Jakarta di malam hari dari ketinggian.
“Thanks, Ray. Akhirnya kamu membawaku makan malam di tempat keren seperti ini.”
Angin malam berembus pelan, menyapu wajah mereka. Ray menepis helaian rambut di dahi Prita.
“Nggak masalah, Ta. Tanpamu, tadi aku pasti bakalan kelimpungan. Lagian, ini sebagai penebusan makan siang kita yang gagal.”
Prita memiringkan posisi duduknya. “Eh Ray, tadi pagi aku nelepon kamu dua kali lho. Dan yang angkat teleponnya istrimu. Aku diam aja sih,” ucap Prita sambil terkekeh. “Dia curiga nggak?”
“Curiga sih. Soalnya aku nyimpen nomor kamu dengan nama Petugas PAM.”
“Hah? Kok petugas PAM sih?” Prita merajuk.
“Kalo aku simpen nomormu dengan nama Sayang atau Honey nanti ketahuan dong. Lagian, PAM itu ada singkatannya.” Lalu Ray menyesap minumannya.
Prita melirik Ray dengan penasaran. “Singkatannya apa?”
“P-A-M. Prita Aku Mencintaimu.”
Prita tertawa mendengarnya. Lantas, Ray merangkul lehernya dan mulai mendaratkan ciuman lembut di bibir Prita.
“Ray,” ujar Prita, “jangan pulang malam ini ya. Habiskan malam bersamaku.”
“Tentu Sayang.”
Mereka pun kembali bercumbu dengan mesra, tanpa peduli dengan keadaan sekitar.
***
Sementara itu, Kiara sedang menata meja makan. Dia sudah menyiapkan makanan kesukaan suaminya, nasi goreng petai serta ayam dengan bumbu rujak.
Kiara juga sudah mempercantik diri dengan mampir ke salon bersama Nabila siang tadi. Dia sudah luluran segala demi malam ini. Rencananya Kiara akan menggoda suaminya itu untuk melakukan hubungan suami istri yang sudah lama tidak mereka lakukan. Bahkan Kiara sudah menyiapkan lingerie baru.
Dia tambah bersemangat begitu mengecek kalender, karena hari ini adalah masa suburnya. Kiara memang sudah lama menantikan kehadiran seorang bayi. Dia berharap malam ini akan membuahkan hasil.
Satu notifikasi pesan muncul di layar ponsel Kiara. Dari suaminya. Senyum Kiara pun langsung mengembang. Saat tidak sengaja bertemu di mal tadi, Ray sudah berjanji akan pulang cepat.
Namun, seketika senyuman di bibir Kiara lenyap saat membaca pesan dari Ray.
Aku nggak pulang. Kerjaan numpuk. Tulis Ray di pesan itu.
Buyar sudah impian Kiara untuk bermesraan dengan suaminya malam ini. Kiara terkulai lemas di kursi meja makan. Lagi-lagi dia harus makan malam sendirian.
Malam minggu kali ini, Kiara terpaksa menghabiskan waktu bersama keluarga suaminya, Keluarga Djaya.Acara makan malam itu bertujuan untuk merayakan keberhasilan Alex dalam memimpin perusahaannya yang telah berhasil melantai di BEJ serta kesuksesan istrinya yang baru saja membuka butik tas-tas mahal di bilangan elit Jakarta.Kehidupan Alex dan Bianca memang terlihat begitu sempurna. Apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sekarang berumur lima tahun. Hal itu membuat Ray dan Kiara merasa tertekan. Ray merasa terbebani dengan kesuksesan Alex sedangkan Kiara merasa tertinggal karena belum dikaruniai anak.“Kenzo, jangan lari-lari, Nak.” Ucap Bianca dari ruang makan saat Kenzo berlari riang ke halaman belakang diikuti oleh susternya. “Sus, jangan sampai Kenzo jatuh ya.”Arianto Djaya duduk di ujung meja, dikelilingi oleh istri, para anak serta menantunya yang duduk di kedua sisi meja makan yang berbentuk persegi panj
Prita berdecak kesal saat dia mengenakan pakaian dalamnya kembali. Di sampingnya, Ray terlihat kelelahan.“Belakangan ini kamu kenapa sih, Ray?” Prita membenarkan dress hitamnya. “Nggak menggairahkan seperti dulu. Kamu bosan denganku, hah?”Ray hanya bisa menghela napas panjang. Staminanya memang menurun karena hampir setiap hari harus berbagi dengan dua wanita. Belum lagi tekanan agar dia bisa memenangkan tender membuat kadar stresnya meningkat.“Jangan berprasangka buruk gitu dong, Ta. Kamu tahu sendiri kan tekanan pekerjaan kita akhir-akhir ini kayak gimana?” sahut Ray pada akhirnya.Prita beringsut ke arah Ray dan membenarkan posisi kerah kemejanya. “Aku ada ide. Gimana kalau kita melepas penat dengan liburan? Kita pergi ke Bali.”Dahi Ray mengernyit. “Liburan? Ke Bali?”Prita mengangguk yakin. “Bilang aja sama kantor kalau kamu mau ambil cuti. Nah, sedangkan aku
Kiara menutup kotak kado berwarna marun itu. Kemudian dia mengikatnya dengan pita keemasan. Sekali lagi, dia memandangi kotak itu sambil tersenyum. Di dalamnya tersusun rapi foto USG pertama serta test pack bekas itu.Lantas, Kiara kembali berbaring di atas ranjang. Dia baru saja mengalami morning sickness dan kepalanya masih terasa pusing.Ponselnya berbunyi. Akhirnya Ayahnya yang tinggal di Batam meneleponnya.“Kiara,” suara Ayahnya yang serak membuat emosi Kiara langsung meluap. Rasa rindu yang selama ini tertahan sedikit terbayarkan dengan mendengar suara sang Ayah tercinta. “Lho, Ki, kok kamu malah terisak sih?”Kiara menghapus air matanya yang seketika turun. “Maaf, Yah. Mungkin ini karena pengruh hormon jadi sering sedih begini.”“Ayah sudah baca pesan kamu. Ayah senang sekali akhirnya kamu hamil. Syukurlah, Ki. Jaga kondisimu baik-baik ya. Nanti Ayah akan menjengukmu di Jakarta.&rd
Pintu kamar tidur berderit pelan. Ray mengendap masuk supaya tidak membangunkan istrinya yang sedang terlelap itu. Dia baru sampai rumah pukul satu dini hari gara-gara penerbangannya delay dua jam.Ray melepaskan jaket denimnya dan menggantungkannya di hanger belakang pintu. Setelah itu dia bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.Saat air keran mulai mengalir, Kiara terjaga. Dia lekas menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur.Hanya dengan sedikit bantuan cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan, Kiara merogoh saku celana suaminya yang ada di keranjang pakaian kotor. Namun dia tidak mendapati apa-apa. Kemudian Kiara memeriksa saku jaket denim milik Ray.Dia mendapati dompet juga ponsel milik suaminya.Kiara menggeser layar ponsel Ray. “Pin? Berapa nomor Pin-nya?” pikir Kiara cepat. Mencoba keberuntungan, Kiara memasukkan bulan dan tahun lahir suaminya. Salah. Lalu dia mencoba kombinasi tanggal
“Aaa!” Prita menjerit saat siraman alkohol itu membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Sementara Ray membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.Ray menoleh ke Kiara sambil mengerjap-ngerjapkan mata tidak percaya. “Ki..Ki..Kiara?”Beberapa orang menoleh dan bergumam dengan kejadian itu. Namun sebagian besar dari mereka tidak peduli.Napas Kiara naik turun. Dia sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya yang kian memuncak. Dia ingin sekali meneriaki mereka dengan kata-kata kasar tapi semua seakan tertahan. Kiara terlalu kecewa, terlalu marah hingga dia hanya bisa terisak keras sekarang.Sisa alkohol itu dia siramkan lagi ke wajah Ray.Mendadak Ray bangkit dan mencengkram lengan Kiara sehingga wanita itu meringis kesakitan. Ray menyeretnya keluar dari kelab, menariknya ke koridor yang dipenuhi beberapa pasangan yang sedang bercumbu.Sampai akhirnya Ray mendorong pintu tangga darurat di ujung koridor
Beberapa Minggu KemudianTutup botol sampanye itu meletup ke udara diiringi dengan tepukan yang meriah.“Untuk kesuksesan Djaya Tekstil!” Arianto Djaya mengangkat gelas itu tinggi-tinggi di udara diikuti dengan para bawahannya yang juga meneriakkan kalimat yang sama.Malam ini mereka mengadakan makan malam mewah perusahaan di sebuah ballroom hotel atas keberhasilan Djaya Tekstil yang akhirnya memenangkan tender cukup besar. Mereka akan mulai memasok bahan seragam untuk sebuah perusahaan multinasional ternama.“Semua ini berkat kerja kerasmu,” Arianto Djaya menepuk pelan bahu putra bungsunya itu. “Papa bangga padamu, Ray.”Ray tak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. Kata-kata itulah yang memang ingin dia dengar dari mulut Papanya. Selain itu, dia sudah tidak sabar untuk menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan Djaya Tekstil yaitu Sinar Tekstil, seperti yang dijanjikan Aria
Brak!“Kurang ajar tuh si Ray!” Nabila berujar geram setelah tangannya memukul pinggiran meja keras-keras. “Ternyata yang gue lihat di Bali itu beneran Ray. Tahu gitu gue labrak mereka.”“Sabar, Bil,” Kiara mencoba menenangkan sahabatnya itu. “Malu dilihat orang.”“Sabar? Masa lo masih mau sabar sih, Ki. Ini udah kelewat batas! Lagian, ngapain sih lo ngasih kesempatan kedua segala sama cowok yang selingkuh?”“Aku pikir Ray akan berubah.” Kiara menatap earl green tea di hadapannya yang mulai dingin.“Selingkuh tuh kayak penyakit yang nggak ada obatnya, Ki.” Nabila menarik kursinya. “Mending lo cerai aja deh.”Kiara mengembuskan napas panjang. Perceraian? Hal itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia begitu mencintai Ray, cinta pertamanya dan berharap menjadi cinta terakhir di hidupnya juga.“Nggak semudah itu, Bil.”
“Dasar wanita brengsek!” Jerit Prita di kamarnya sambil menatap dirinya di cermin. Rambutya mencuat serta pipinya merah padam. Riasan matanya luntur seperti habis tercebur got. Dan hal yang membuat dirinya semakin geram adalah tas barunya yang rusak.Bunyi pesan masuk terdengar dari ponselnya.“Kamu nggak apa-apa?” tulis Ray.Prita langsung membalasnya. “Dia menamparku dan merusak tasku! Kamu masih tanya apakah aku nggak apa-apa?!”“Kiara menolak bercerai.” Tulis Ray lagi. “Ini masalah besar. Jangan temui aku dulu. Kalau dia membeberkan hubungan kita, Papa akan membatalkan pengangkatanku sebagai CEO Sinar Tekstil.”“What?!” Prita membalas pesan Ray dengan emosi. “Dasar perempuan gila.”“Aku akan membujuknya lagi.”Prita melempar ponselnya dengan kesal ke kasur. “Kiara,&rdq