"Astaga! Sudah jam setengah dua." Aku pun buru-buru bangun dan mandi, kemudian tidak lupa melakukan ibadah salat malam sebelum berangkat kerja.
Untungnya saja sebelum tidur, semalam semua sayuran sudah aku masukkan ke dalam karung, jadi aku tinggal mengangkatnya saja ke sepeda motor."Emh, akhh ...." Aku menghela napas panjang setelah mengangkat karung paling besar untuk diletakkan di atas obrok yang berisi sayuran juga. Lalu setelah itu aku membangunkan suamiku untuk meminta tolong mendorong motor, karena motor dalam keadaan standar tengah."Sudah semuanya?" tanya Mas Rohman dengan kondisi yang masih mengantuk."Belum, Mas. Itu, karung yang ada di sana, tolong angkat dan taruh di depanku."Mas Rohman menurut, ia mengambil satu karung sayuran yang masih bersandar di tembok."Hati-hati," ujarnya.Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku mulai melajukan motorku.Terdengar suara gerbang garasi di tutup dan dikunci kembali, dan aku berangkat di saat jalanan masih sangat sepi, dan mungkin hanya ada satu atau dua kendaraan lain yang lewat.Banyak orang yang bertanya, apakah aku tidak takut berangkat ke pasar di pagi buta seperti ini?Jawabannya tentu saja takut, namun kalau aku tidak melawan rasa takutku, aku tidak akan pernah menjadi pedagang sayuran di pasar pagi seperti ini.Aku hanya bisa mengakali orang yang berniat jahat dengan menggunakan pakaian yang aku kenakan, contohnya seperti memakai hoodie, sarung tangan, dan sepatu. Nah, yang paling penting adalah masker ninja, jadi kebanyakan orang mengira kalau aku adalah laki-laki.Dan, yang lebih penting lagi, aku pergi ke pasar juga harus memakai motor butut, jadi otomatis para begal pun nggak doyan sama aku, apalagi melirik.Namun, aku tetap harus waspada, makanya aku melajukan motorku dengan cukup cepat, sebab selain memburu waktu, alasan lainnya agar penyamaran ku sebagai laki-laki semakin sempurna.Lalu kemudian untuk jaga-jaga, aku juga selalu membawa pisau lipat untuk melindungi diri. Ya, walaupun sebenarnya gunanya pisau itu untuk membelah sayuran sejenis nangka muda, hehe ..."Ketiduran ya, Mbak?" sapa tukang parkir seraya membantuku menurunkan dagangan ku."Iya, Mas," sahutku jujur, karena aku memang biasanya bangun jam satu pagi, dan jam dua lebih baru berangkat dari rumah, itu termasuk kesiangan bagiku.Setelah semua dagangan sudah ditaruh di atas jalan raya, lebih tepatnya tepat di lapak tempat aku berjualan, lalu kemudian Mas Anton segera pergi memarkir sepeda motorku bersanding dengan sepeda para pedagang lainnya.Aku pun kemudian langsung menggelar tikar plastik, menata semua danganganku dengan serapi mungkin, agar pembeli lebih mudah memilihnya."Kamu baru datang, Ndok?" tanya seorang nenek-nenek yang berjualan di sampingku, sepertinya Beliau baru pergi meninggalkan lapaknya."Hehe ... iya, Mbah. Tadi saya ketiduran.""Owalah ... Eh, tadi ada orang baru yang mau nempatin tempat kamu, tapi Mbah sudah bilang kalau di sini ada orangnya.""Oow, kalau begitu makasih, Mbah," ucapku tulus.Ya, kita semua memang berjualan di jalan raya, yang berada di bagian samping pasar. Jadi, ini bukan jalan utama, dan tidak menggangu lalu lintas. Yang lebih tepatnya ini memang tempat khusus para penjual seperti kami, jadi kami tidak memiliki hak milik di sini, namun para pedagang di sini saling menghormati satu sama lain, untuk tidak merebut tempat berjualan, yang sudah ada orangnya lebih dulu.Pasar pagi ini sudah berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu, dan aku baru berjualan dua tahun yang lalu. Aku mendapatkan tempat ini dari almarhum Budhe ku, yang dulunya pedagang seperti aku, jadi aku belajar berjualan seperti ini dari Beliau."Mbak, aku mau beli sayur sop sepuluh, kacang panjangnya dua puluh ikat. Oh, ini sekalian nangka mudanya, ada yang masih utuh nggak? Emm ... Mbak buang durinya aja, nanti dibagi menjadi empat. Sama ... Aku minta yang udah dipotong-potong, sepuluh bungkus ya?""Siap, Bu." Dengan cekatan aku melayani semua permintaan pelanggan ku satu ini, cara Beliau berbicara juga memang seperti ini, sebab beliau juga mengejar waktu karena takut kesiangan. Jadi, aku hanya bisa menyahutinya setelah Beliau selesai bicara.Di sini memang tempatnya orang terburu-buru dan jarang berbasa-basi, jadi jangan heran kalau pembelinya suka menuntut kami melayani dengan cepat. Tapi, masih ada kok pembeli yang suka bergosip, jadi terkadang mereka bergosip dulu sebelum membeli, hehe ....Dan, maka dari itu, setelah para petani mengantarkan sayuran ke tempatku, sejak sore itu juga aku langsung menyiapkan dagangan ku, yaitu mulai dari menimbang, mengikatnya dari yang besar hingga kecil, dan juga ada yang harus dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil, contohnya seperti sayuran sop ini. Jadi, kalau dituntut cepat oleh pembeli, aku pun sudah siap.Jadi, tidak ada lagi desakan dari pembeli yang mengatakan, "Cepat, Mbak ... cepat, Mbak. Keburu subuh ini!"Hingga kemudian tidak terasa adzan subuh mulai berkumandang, lalu aku pun gantian salat dengan pedagang di sampingku, karena Mbah Marni ingin salat berjamaah, maka Beliau dulu yang salat, dan aku menunggu dagangan ku, seraya dagangan milik Mbah Marni, yaitu berbagai aneka macam pepes."Mbak, barangmu selalu bagus-bagus dari yang lain, tapi sayangnya terlalu sedikit, jadi aku nggak bisa borong banyak," ujar salah satu pelanggan ku.Beliau memiliki warung yang cukup besar, jadi sering membeli beberapa kilo sekaligus, sedangkan danganganku hanya menyiapkan beberapa kilo saja di setiap jenisnya."Hehe ... iya, Bu. Ya ... Ibu doakan saja agar saya bisa beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak deh.""Amiinn ... iya, Mbak. Aku doain biar Mbak cepat beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak. Ini Mbak, coba lihat. Wortel punyamu lebih mulus dan lebih segar, tapi sayangnya hanya ada dua kilo ini."Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum, aku memang hanya bisa membawa lima kilo wortel, jadi sekali orang-orang membeli kiloan jadi cepat habis.Berbeda dengan para pedang lain yang bisa membawa aneka dagangan mereka hingga satu keranjang penuh.Namun, aku selalu mensyukuri berapa pun yang aku dapatkan.***Waktu terus berjalan, hingga tidak terasa danganganku tinggal sedikit, dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi."Mbah, saya mau pulang dulu. Ini sayuran buat Mbah untuk dimasak nanti di rumah," ujarku seraya menyodorkan dua bungkus sayur sop, lalu diterima oleh Mbah Marni dengan senang hati."Terima kasih ya, Ndok. Semoga rezekimu semakin lancar.""Iya, Mbah. Amiinn ...."Setelah membereskan sisa danganganku, aku pun mengambil motorku, sekaligus membayar uang parkir. Lalu kemudian aku pulang ke rumah dengan membawa lauk pauk untuk dimasak besok. Seperti inilah rutinitasku di pasar, dan itu sangat menyenangkan.Namun, sesampainya di rumah, selalu ada saja yang membuat kepalaku pusing."Nella! Sampai kapan kamu membiarkan suamimu jadi pengangguran seperti itu! Lihat itu suamimu, kamu sudah pulang kerja, dia masih tidur! Jadi perempuan jangan mau dibodohi laki-laki dong! Suruh suamimu itu kerja yang bener!""Iya, Bu. Nanti Nella akan bicara dengan Mas Rohman.""Jangan iya-iya aja, kan Ibu sudah berapa kali bilang, suruh suamimu itu coba tanya ke Lek Hamdan, siapa tahu dia butuh tambahan kuli bangunan, jadi jangan cuma bergantung sebagai buruh tani saja!""Baik, Bu. Nanti Nella akan bicara," sahutku yang hanya bisa mengiyakan saja, sebab kalau aku menjawab banyak, maka Ibuku akan semakin berbicara banyak."Ya sudah, kalau begitu Ibu mau keluar dulu, ada orang yang mau menyuruh Ibu menjualkan tanahnya." Aku mengangguk. Setelah melihat ibu pergi, aku baru masuk kamar.Di dalam kamar, ternyata Mas Rohman sudah bangun, dan dia pasti sudah mendengar semua perkataan Ibu."Mas --""Sudah, kamu nggak perlu bicara, aku juga sudah mendengar semuanya!"Aku mengangguk. "Jadi, bagaimana? Mas mau kan tanya pekerjaan ke Lek Hamdan. Ya ... siapa tahu saja memang ada pekerjaan yang cocok buat Mas.""Nggak, ah. Aku nggak suka jadi kuli, lebih enak kerja di sawah."Aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Mas Rohman, sebab watak Mas Rohman memang seperti itu, ia adalah tipe orang yang semaunya sendiri dan susah diajak berpikir maju ke depan."Emm ... atau kalau enggak, Mas Rohman bisa belajar dari Ibu untuk jadi makelar, kan hasilnya juga lumayan itu.""Aakhh ... Kamu apa-apaan sih, aku kan nggak pandai merayu, bagaimana bisa aku jadi makelar. Udah deh, jangan bingung nyuruh aku kerja, nanti kalau aku ketemu kerjaan yang cocok, aku juga pasti akan kerja!" ketusnya, lalu kemudian dia meninggalkanku yang hanya bisa menghela napas panjang.Huft!!! Susah sekali mengajak suamiku berjuang agar ekonomi kita lebih baik lagi. Hmm ... atau mungkin, emang dasarnya saja suamiku yang malas bekerja?"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku."Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku."Iya, ini berapa bayamnya seikat?""Seribu lima ratus, Bu.""Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya.""Iya, Bu. Lalu apalagi?""Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?""Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur.""Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?""Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih
Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya."Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung."Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan.""Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja.""Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?""Oh, Ibu lagi di kamar mandi."Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga.""Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohm
"Lho, itu bukannya Mas Rohman?" Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo." "Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Ak
"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke