Share

2. Suamiku Yang Pemalas

"Astaga! Sudah jam setengah dua." Aku pun buru-buru bangun dan mandi, kemudian tidak lupa melakukan ibadah salat malam sebelum berangkat kerja.

Untungnya saja sebelum tidur, semalam semua sayuran sudah aku masukkan ke dalam karung, jadi aku tinggal mengangkatnya saja ke sepeda motor.

"Emh, akhh ...." Aku menghela napas panjang setelah mengangkat karung paling besar untuk diletakkan di atas obrok yang berisi sayuran juga. Lalu setelah itu aku membangunkan suamiku untuk meminta tolong mendorong motor, karena motor dalam keadaan standar tengah.

"Sudah semuanya?" tanya Mas Rohman dengan kondisi yang masih mengantuk.

"Belum, Mas. Itu, karung yang ada di sana, tolong angkat dan taruh di depanku."

Mas Rohman menurut, ia mengambil satu karung sayuran yang masih bersandar di tembok.

"Hati-hati," ujarnya.

Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku mulai melajukan motorku.

Terdengar suara gerbang garasi di tutup dan dikunci kembali, dan aku berangkat di saat jalanan masih sangat sepi, dan mungkin hanya ada satu atau dua kendaraan lain yang lewat.

Banyak orang yang bertanya, apakah aku tidak takut berangkat ke pasar di pagi buta seperti ini?

Jawabannya tentu saja takut, namun kalau aku tidak melawan rasa takutku, aku tidak akan pernah menjadi pedagang sayuran di pasar pagi seperti ini.

Aku hanya bisa mengakali orang yang berniat jahat dengan menggunakan pakaian yang aku kenakan, contohnya seperti memakai hoodie, sarung tangan, dan sepatu. Nah, yang paling penting adalah masker ninja, jadi kebanyakan orang mengira kalau aku adalah laki-laki.

Dan, yang lebih penting lagi, aku pergi ke pasar juga harus memakai motor butut, jadi otomatis para begal pun nggak doyan sama aku, apalagi melirik.

Namun, aku tetap harus waspada, makanya aku melajukan motorku dengan cukup cepat, sebab selain memburu waktu, alasan lainnya agar penyamaran ku sebagai laki-laki semakin sempurna.

Lalu kemudian untuk jaga-jaga, aku juga selalu membawa pisau lipat untuk melindungi diri. Ya, walaupun sebenarnya gunanya pisau itu untuk membelah sayuran sejenis nangka muda, hehe ...

"Ketiduran ya, Mbak?" sapa tukang parkir seraya membantuku menurunkan dagangan ku.

"Iya, Mas," sahutku jujur, karena aku memang biasanya bangun jam satu pagi, dan jam dua lebih baru berangkat dari rumah, itu termasuk kesiangan bagiku.

Setelah semua dagangan sudah ditaruh di atas jalan raya, lebih tepatnya tepat di lapak tempat aku berjualan, lalu kemudian Mas Anton segera pergi memarkir sepeda motorku bersanding dengan sepeda para pedagang lainnya.

Aku pun kemudian langsung menggelar tikar plastik, menata semua danganganku dengan serapi mungkin, agar pembeli lebih mudah memilihnya.

"Kamu baru datang, Ndok?" tanya seorang nenek-nenek yang berjualan di sampingku, sepertinya Beliau baru pergi meninggalkan lapaknya.

"Hehe ... iya, Mbah. Tadi saya ketiduran."

"Owalah ... Eh, tadi ada orang baru yang mau nempatin tempat kamu, tapi Mbah sudah bilang kalau di sini ada orangnya."

"Oow, kalau begitu makasih, Mbah," ucapku tulus.

Ya, kita semua memang berjualan di jalan raya, yang berada di bagian samping pasar. Jadi, ini bukan jalan utama, dan tidak menggangu lalu lintas. Yang lebih tepatnya ini memang tempat khusus para penjual seperti kami, jadi kami tidak memiliki hak milik di sini, namun para pedagang di sini saling menghormati satu sama lain, untuk tidak merebut tempat berjualan, yang sudah ada orangnya lebih dulu.

Pasar pagi ini sudah berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu, dan aku baru berjualan dua tahun yang lalu. Aku mendapatkan tempat ini dari almarhum Budhe ku, yang dulunya pedagang seperti aku, jadi aku belajar berjualan seperti ini dari Beliau.

"Mbak, aku mau beli sayur sop sepuluh, kacang panjangnya dua puluh ikat. Oh, ini sekalian nangka mudanya, ada yang masih utuh nggak? Emm ... Mbak buang durinya aja, nanti dibagi menjadi empat. Sama ... Aku minta yang udah dipotong-potong, sepuluh bungkus ya?"

"Siap, Bu." Dengan cekatan aku melayani semua permintaan pelanggan ku satu ini, cara Beliau berbicara juga memang seperti ini, sebab beliau juga mengejar waktu karena takut kesiangan. Jadi, aku hanya bisa menyahutinya setelah Beliau selesai bicara.

Di sini memang tempatnya orang terburu-buru dan jarang berbasa-basi, jadi jangan heran kalau pembelinya suka menuntut kami melayani dengan cepat. Tapi, masih ada kok pembeli yang suka bergosip, jadi terkadang mereka bergosip dulu sebelum membeli, hehe ....

Dan, maka dari itu, setelah para petani mengantarkan sayuran ke tempatku, sejak sore itu juga aku langsung menyiapkan dagangan ku, yaitu mulai dari menimbang, mengikatnya dari yang besar hingga kecil, dan juga ada yang harus dimasukkan ke dalam kantong plastik kecil, contohnya seperti sayuran sop ini. Jadi, kalau dituntut cepat oleh pembeli, aku pun sudah siap.

Jadi, tidak ada lagi desakan dari pembeli yang mengatakan, "Cepat, Mbak ... cepat, Mbak. Keburu subuh ini!"

Hingga kemudian tidak terasa adzan subuh mulai berkumandang, lalu aku pun gantian salat dengan pedagang di sampingku, karena Mbah Marni ingin salat berjamaah, maka Beliau dulu yang salat, dan aku menunggu dagangan ku, seraya dagangan milik Mbah Marni, yaitu berbagai aneka macam pepes.

"Mbak, barangmu selalu bagus-bagus dari yang lain, tapi sayangnya terlalu sedikit, jadi aku nggak bisa borong banyak," ujar salah satu pelanggan ku.

Beliau memiliki warung yang cukup besar, jadi sering membeli beberapa kilo sekaligus, sedangkan danganganku hanya menyiapkan beberapa kilo saja di setiap jenisnya.

"Hehe ... iya, Bu. Ya ... Ibu doakan saja agar saya bisa beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak deh."

"Amiinn ... iya, Mbak. Aku doain biar Mbak cepat beli mobil, jadi bisa bawa dagangan banyak. Ini Mbak, coba lihat. Wortel punyamu lebih mulus dan lebih segar, tapi sayangnya hanya ada dua kilo ini."

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum, aku memang hanya bisa membawa lima kilo wortel, jadi sekali orang-orang membeli kiloan jadi cepat habis.

Berbeda dengan para pedang lain yang bisa membawa aneka dagangan mereka hingga satu keranjang penuh.

Namun, aku selalu mensyukuri berapa pun yang aku dapatkan.

***

Waktu terus berjalan, hingga tidak terasa danganganku tinggal sedikit, dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

"Mbah, saya mau pulang dulu. Ini sayuran buat Mbah untuk dimasak nanti di rumah," ujarku seraya menyodorkan dua bungkus sayur sop, lalu diterima oleh Mbah Marni dengan senang hati.

"Terima kasih ya, Ndok. Semoga rezekimu semakin lancar."

"Iya, Mbah. Amiinn ...."

Setelah membereskan sisa danganganku, aku pun mengambil motorku, sekaligus membayar uang parkir. Lalu kemudian aku pulang ke rumah dengan membawa lauk pauk untuk dimasak besok. Seperti inilah rutinitasku di pasar, dan itu sangat menyenangkan.

Namun, sesampainya di rumah, selalu ada saja yang membuat kepalaku pusing.

"Nella! Sampai kapan kamu membiarkan suamimu jadi pengangguran seperti itu! Lihat itu suamimu, kamu sudah pulang kerja, dia masih tidur! Jadi perempuan jangan mau dibodohi laki-laki dong! Suruh suamimu itu kerja yang bener!"

"Iya, Bu. Nanti Nella akan bicara dengan Mas Rohman."

"Jangan iya-iya aja, kan Ibu sudah berapa kali bilang, suruh suamimu itu coba tanya ke Lek Hamdan, siapa tahu dia butuh tambahan kuli bangunan, jadi jangan cuma bergantung sebagai buruh tani saja!"

"Baik, Bu. Nanti Nella akan bicara," sahutku yang hanya bisa mengiyakan saja, sebab kalau aku menjawab banyak, maka Ibuku akan semakin berbicara banyak.

"Ya sudah, kalau begitu Ibu mau keluar dulu, ada orang yang mau menyuruh Ibu menjualkan tanahnya." Aku mengangguk. Setelah melihat ibu pergi, aku baru masuk kamar.

Di dalam kamar, ternyata Mas Rohman sudah bangun, dan dia pasti sudah mendengar semua perkataan Ibu.

"Mas --"

"Sudah, kamu nggak perlu bicara, aku juga sudah mendengar semuanya!"

Aku mengangguk. "Jadi, bagaimana? Mas mau kan tanya pekerjaan ke Lek Hamdan. Ya ... siapa tahu saja memang ada pekerjaan yang cocok buat Mas."

"Nggak, ah. Aku nggak suka jadi kuli, lebih enak kerja di sawah."

Aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Mas Rohman, sebab watak Mas Rohman memang seperti itu, ia adalah tipe orang yang semaunya sendiri dan susah diajak berpikir maju ke depan.

"Emm ... atau kalau enggak, Mas Rohman bisa belajar dari Ibu untuk jadi makelar, kan hasilnya juga lumayan itu."

"Aakhh ... Kamu apa-apaan sih, aku kan nggak pandai merayu, bagaimana bisa aku jadi makelar. Udah deh, jangan bingung nyuruh aku kerja, nanti kalau aku ketemu kerjaan yang cocok, aku juga pasti akan kerja!" ketusnya, lalu kemudian dia meninggalkanku yang hanya bisa menghela napas panjang.

Huft!!! Susah sekali mengajak suamiku berjuang agar ekonomi kita lebih baik lagi. Hmm ... atau mungkin, emang dasarnya saja suamiku yang malas bekerja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status