Share

Bab 6

BAB 6

"Masuk, Mas!" Mas Firman mempersilahkan kakaknya masuk. Ya, aku melihat wajah Mas Andra memerah.

"Hemm," balas Mas Andra. Suaranya terdengar tak bersahabat. Seolah lagi kesal.

Aku mengajak Dika masuk ke kamar barunya. Biar tak mendengarkan obrolan Ayah dan pakdenya. Nggak bagus untuk pertumbuhannya, kalau pakdenya kesini ngajak adu mulut. Tapi, semoga saja nggak ngajak adu mulut.

"Dika bobo, ya! Mama mau buatin kopi Pakde dulu!" ucapku pada Dika.

"Iya, Ma!" balas Dika.

"Nggak takutkan?" tanyaku memastikan. 

"Nggak dong, Ma!" balas Dika, dengan gaya jagoannya.

"Anak Mama memang pinter," ucapku, seraya mengelus kepala anak lanang.

Senyumnya terlihat, kemudian aku kecup kening anak semata wayangku itu.

Setelah itu, baru aku berlalu, segera menuju ke dapur. Membuatkan Mas Andra kopi dulu. Ntar di sangka pelit lagi. Bertamu tak ada air yang keluar. 

Mereka terdengar sedang ngobrol. Tapi, nggak jelas mereka ngobrol apa. Aku fokus membuatkan kopi dulu, untuk kakak ipar.

Kalaupun mau ngomong masalah tadi sore, tentang adu mulutku dengan Mbak Niken, tapi aku yakin, Mas Firman tahu bagaimana aku. Dia tak akan serta merta percaya begitu saja. Karena Mas Firman, bukan tipikal yang menelan mentah-mentah, ucapan orang yang dia terima.

********

"Man, kamu bisa ngajari istrimu nggak? Kalau nggak bisa, biar aku yang ngajari!" sungut Mas Andra. 

Aku mengerutkan kening mendengarnya, seraya membawa kopi yang hendak aku suguhkan kepada lelaki yang bergelar ipar itu.

"Apa maksudnya? Emang Eka kenapa?" tanya balik Mas Firman.

"Diminum dulu!" pintaku, seraya menatap Mas Andra. Tatapan mata tak bersahabat juga yang aku pancarkan.

Mata Mas Andra terlihat memerah. Aku semakin menatapnya tajam.

"Kenapa? Mas mau ngajari saya? Ngajari saya apa? Biar sama seperti istrimu?" tanyaku, nada suara ini ingin sekali berkata lebih lantang. Geram. Seolah aku melenceng dari alur saja.

"Dek!" ucap Mas Firman. Seolah tak suka aku bicara seperti itu.

"Kamu dengar sendiri kan, Man? Tak ada sopan santunnya sama kakak ipar!" sungut Mas Andra.

Astaga! Apa sih maunya ini orang. Sungguh ingin sekali aku berkata kasar sekasar-kasarnya. Rasanya hati ingin meledak.

"Mas, ada apa? Aku tahu bagaimana istriku. Dia begitu pasti ada sebab. Ada alasan!" ucap Mas Firman.

"Kamu itu, Ka! Jadi orang ngember banget, sih! Ngapa juga ngomong ke Niken kalau aku minjam duit! Bikin kami bertengkar saja!" sungut Mas Andra.

"Loh, kok, nyalahin aku! Lagian, minjem duit segitu banyak, nggak ngomong sama istri? Hah?" balasku.

"Aku nggak mau buat dia kepikiran!" sungut Mas Andra.

"Owh, ingin buat istrimu nggak kepikiran, tapi mengorbankan istri adiknya, seperti itu?" balasku. Sungguh aku semakin kesal dibuatnya.

"Dek, diam!" pinta Mas Firman.

"Kalau istriku, seperti Eka, udah aku balikan ke orang tuanya!" ucap Mas Andra.

"Mas, stop! Nggak usah ngompori!" sungut Mas Firman.

Mas Andra mengusap wajahnya kasar. Terlihat dia sangat kesal. Bukan dia saja yang kesal, aku juga lebih kesal.

"Balikan saja istrimu sendiri itu ke orang tuanya! Nuntut belikan motor, suaminya nggak mampu maksa!" ucapku. Bodo amat, tak terlalu aku pikirkan juga perasaannya.

Bodo amat! Terserah apa kata mereka. Hati ini terlalu sakit.

"Bisa ngomong sopan nggak kamu, sama orang yang lebih tua?!" sungut Mas Andra.

"Mas, kamu sendiri jadi orang tua, sopan nggak ngomongnya? Kalau mau adik iparmu ini sopan, kamu juga harusnya bisa lebih sopan!" tanyaku balik. Aku lihat Mas Firman mengusap wajahnya kasar.

"Mas, maaf bukannya aku mau bela Eka atau apa. Tapi yang di ucapkan Eka memang benar. Kalau kiranya nggak sanggup menuruti keinginan Mbak Niken untuk beli motor, jangan di paksakan!" ucap Mas Firman.

"Itu artinya kamu menilaiku, nggak sanggup menuruti keinginan istri!" ucap Mas Andra.

Ya Allah ... astagfirullah! Orang ini hatinya keras banget. Kaku sekali. Nggak bisa mendengar ucapan dan penilaian orang lain.

"Terserah kamulah, Mas. Kamu bilang, aku nggak bisa ngajari istri. Tapi menurutku, kamu yang nggak bisa ngajari istrimu, Mas. Eka nggak pernah nuntut macam-macam. Bahkan dia bisa beli ini itu, karena dia pintar mengatur keuangan," ucap Mas Firman.

Ahh ... hati ini sedikit lega. Setidaknya Mas Firman membelaku. Sebodo dengan Mas Andra. Wajahnya teelihat semakin memerah.

"Kamu ngomong seperti itu, sama artinya menilai istriku boros?!" sungut Mas Andra.

"Iya, faktanya memang seperti itu bukan? Kamu terlalu menutupi keburukan istrimu. Tapi, suka menguliti istri adikmu!" sungut Mas Firman.

Huuuhhh ... semakin lega aku mendengar jawaban Mas Firman.

"Kamu semenjak menikah berubah, Man. Pelit banget masalah uang! Perhitungan! Aku itu minjam, bukan minta! Tapi nggak kamu pinjami. Bilang nggak punya uang, tapi malah beli springbed! Bikin tangis Zaki saja!" ucap Mas Andra. Nada suaranya terdengar membara.

"Kamu bilang aku berubah, kamu sendiri nyadar nggak sih, Mas. Kalau kamu juga jauh lebih berubah!" sungut Mas Firman. Mas Andra terlihat mencebikan mulutnya.

"Susah ngomong sama kamu!" sungut Mas Andra. Terlihat dia beranjak. 

Braaakkkk ....

Lagi, dia membanting pintu. 

"Astagfirullah!" ucapku kemudian mengelus dada.

"Yang ada, kamu yang susah diajak ngomong!" balas Mas Firman lantang.

"Ma! Gempa, ya?!" teriak Dika. Seketika aku bergegas menuju ke kamar Dika. Aku takut dia ketakutan.

Ya, setelah tiba di kamar anak lanang, dia terlihat ketakutan. Untuk pertama kalinya dia tidur dikamar sendiri.

"Nggak, Sayang! Kamu hanya mimpi!" balasku. Aku usap rambut anak lelakiku. Hingga dia terpejam lagi.

Ya Allah, pintu rumahku, lama-lama akan hancur ditangan Mas Andra. Bukan hancur karena ulah pemiliknya.

Coba kalau pintu dia yang di banting kasar seperti itu, pasti nggak terima. Pasti akan marah. Tapi, kalau buat rusak barang orang, seolah dia tak peduli. 

Segitunya memaksa ingin diakui kaya. Ingin dilihat berada. Ck ck ck ck.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status