Di dalam ruangan, Jani seolah mendengar suara berbisik di telinganya. Dia memandang sekitar dan tidak ada yang berbicara. Jani kembali mengerutkan keningnya, mengabaikan suara itu.
"Tolong katakan yang sebenarnya, Pengacara! Apa maksud ucapanmu?" Ken mendekati meja pengacara dengan menatap serius. Pengacara membuka map di depannya dan mulai membacakan warisan.
"King Kennard Lucio dan Queen Jani Donovan. Sesuai dengan isi surat wasiat dari kedua orang tua kalian, mulai hari ini kalian harus tinggal satu atap di rumah utama." Saat kedua nama mereka diucapkan dengan lantang, tiba-tiba lampu ruangan menjadi berkedip dan mati. Masih terlihat dengan jelas seluruh ruangan karena hari itu masih siang. Jani dan Ken saling menatap heran. Semua orang di dalam ruangan itu mematung kecuali mereka berdua.
"Simpan buku itu." Jani mendengar suara samar. Dia menoleh ke segala arah mencari sumber suara itu.
"Ken, apa yang terjadi? Kenapa semua orang mematung dan hanya kita berdua yang tidak?"
"Aku tidak tahu," jawab Ken yang sama terkejutnya dengan Jani.
Tiba-tiba angin keluar dari air conditioner di ruangan itu. Angin berputar-putar mengelilingi Jani lalu membakar lalat yang terbang tak jauh dari Jani.
Saat lalat itu terbakar, pria berjaket hitam panjang yang berdiri di seberang kantor pengacara, menjerit kesakitan sambil memegang kedua matanya yang mengeluarkan asap.
Angin dengan cepat masuk ke saluran udara dan berhembus keluar dari gedung kantor menuju kedua lelaki misterius itu. Salah satunya membantu temannya yang matanya mengeluarkan asap dan berlari menuju mobil van hitam yang diparkir di lorong jalan.
"Ayo, kita cepat lari!" Kedua lelaki itu hendak membuka pintu mobil, namun angin misterius mendapatkan mereka duluan. Keduanya seolah tercekik dengan sedikit melayang diudara.
"Hentikan!" Jani berteriak sambil menutupi telinganya yang terus mendengar suara aneh. Tiba-tiba lampu menyala dan keadaan kembali seperti semula. Pengacara dan Bi Inah kembali bergerak seolah tak terjadi apapun. Kedua lelaki yang tercekik dengan melayang langsung terjatuh ke tanah dengan terbatuk-batuk.
Pengacara menatap Jani dan Ken yang berwajah pucat dan terdiam.
"Kenapa kalian diam saja? Duduk dan dengarkan pembacaan selanjutnya!" ucap pengacara itu dengan tegas. Jani dan Ken saling pandang dan langsung duduk tanpa berkata.
"Apa yang barusan terjadi itu nyata?" tanya Jani dengan membatin.
"Pasti yang barusan terjadi hanya halusinasiku," batin Ken.
"Baiklah, kita lanjutkan lagi. Rumah yang akan kalian tinggali adalah milik nyonya Queen, ibu dari Nona Jani," sang Pengacara melanjutkan bacaannya.
"Aku baru tahu jika rumahku yang tak terlalu besar itu adalah rumah utama. Lagian dari mana ibuku mengenal orang tua Ken?" gerutu Jani.
"Yang saya maksud rumah utama adalah rumah ini," pengacara menunjukkan foto sebuah rumah mewah dan megah.
"Hah, jadi ibuku sangat kaya?" Jani berdiri dan mengambil foto dari tangan pengacara.
"Ibu anda adalah bangsawan kaya raya sekaligus pemilik kantor ini, dan ayah Ken adalah pengawal kepercayaannya."
"Apa? Kantor ini juga milikku?" Jani kembali terkejut karena selama hidupnya, dia memang serba kecukupan. Namun, tidak sekaya yang ditunjukkan pengacara.
"Yah, kuharap anda bisa menjadi pengacara hebat kelak." Pengacara itu tersenyum penuh harap.
"Jangan terlalu berharap! Aku bahkan tidak suka ilmu hukum. Sangat membosankan," ucap Jani yang membuat pengacara menghilangkan senyuman di wajahnya.
"Hahaha, tidak mengherankan jika nilaimu sangat buruk," ejek Ken dengan tertawa sinis.
"Talk to my hand!" balas Jani sambil mengarahkan telapak tangannya ke wajah Ken.
"Sudahlah jangan ribut! Kita bacakan lagi warisan kalian yang lain," ucap pengacara yang membalik kertas di depannya.
"Ini adalah dua buah kunci yang akan kalian gunakan untuk membuka kotak yang berisi warisan kalian yang paling berharga. Kalian akan membukanya saat datang di rumah utama."
Pengacara memberikan dua buah kalung dengan kunci emas berbentuk klasik sebagai bandulnya. Jani dan Ken menerimanya. Mereka mengalungkan ke leher secara bersamaan. Setelah sadar gerakan mereka sama, mereka saling melirik dan membuang muka.
"Lalu warisan dia apa hanya kunci? Dan jika itu rumahku, untuk apa dia ikut tinggal disana? Ayahnya juga cuman pengawal ibuku." Jani melirik Ken dengan remeh.
"Kali ini kau benar. Untuk apa aku tinggal dirumahmu?" Ken membalas lirikan Jani dengan memicingkan matanya.
"Karena itu yang tertulis di surat wasiat dan jika kalian tidak setuju, maka kami akan mengirimkan kalian ke Alaska. Kalian tidak bisa menolaknya karena kalian belum berusia 18 tahun. Sekarang tandatangani surat persetujuan ini atau berkemas dan ikut penerbangan hari ini ke Alaska!" Pengacara menyerahkan surat persetujuan. Ken mengambil dan membacanya dengan teliti.
"Rupanya kalian benar-benar akan mengirim kami ke Alaska jika menolak. Sungguh menyebalkan." Ken menandatangani surat persetujuan itu dan menyerahkan surat yang dipegangnya ke Jani dengan kasar. Jani bergantian membacanya dan terkejut saat membaca kompensasi yang harus diterima jika dia tidak menyetujuinya.
"Apa yang dipikirkan ibuku saat membuat surat wasiat ini?" Jani mengambil pulpen dan menandatanganinya.
"Jika sudah selesai, aku mau pulang dan berkemas," ucap Jani sambil menarik Bi Inah.
"Tunggu, Bi Inah juga harus menandatangani sesuatu. Sesuai wasiat orang tua kalian, Bi Inah akan menjadi pengawas sekaligus ketua asisten rumah tangga kalian. Jika kalian berani melanggar aturan yang dibuat oleh orang tua kalian, Bi Inah berhak untuk melaporkan kepada kami dan kami akan mengirimkan kalian ke asrama yang ada di A-las-ka," kata pengacara dengan tegas.
"Non Jani, semua barang sudah dikemas dan rumah sudah ditutup. Maaf, saya hanya mengikuti perintah nyonya besar." Bi Inah tersenyum saat melihat mata Jani melotot ke arahnya.
"Jadi Bibi sudah tahu?"
"Hehe, iya. Punya Tuan Ken juga sudah dikemas. Ayo, sekarang kita menuju rumah!" Bi Inah dan sang Pengacara saling mengangguk. Setelah Bi Inah menandatangani surat perjanjian, pengacara mempersilakan Jani dan Ken keluar ruangan diikuti salah satu anak buahnya.
Mereka menuju mobil dan segera melaju ke rumah utama. Jani dan Ken lebih banyak diam sambil sama-sama memegang kalung berbandul kunci yang merupakan warisan mereka.
Jani memandang ke arah luar. Terlihat gedung-gedung menjulang dengan aktifitas warga kota yang padat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Jani melihat para penyeberang jalan melewat mobil mereka.
Namun, anehnya salah satu diantaranya terdiam sambil menatap Jani dengan tajam. Mulutnya bergerak membacakan sebuah mantra. Jani terus menatapnya dan kaget saat mulut dan mata orang itu mengeluarkan asap hitam yang mengarah kepadanya.
"Apa itu? Tidak!" Jani berteriak sambil menutup wajahnya.
"Ada apa, Non?" tanya Bi Inah. Jani membuka tangannya dan melihat sekelilingnya menjadi normal.
"Tidak ... aku baik-baik saja."
Ken hanya melirik Jani dari kaca spion dan nampak tidak perduli. Mereka melewati pepohonan di kanan dan kiri jalan karena telah jauh dari perkotaan.Tak lama mobil telah sampai ke tempat tujuan. Pagar besi kokoh dengan design klasik terbuka. Mobil memasuki halaman rumah yang mewah namun terlihat tua. Jani membuka pintu jendela dan memandang dengan takjub.
"Wow, jadi ini rumahku sekarang." Jani segera membuka pintu saat mobil berhenti diikuti Ken. Jani dan Ken segera mendekati pintu masuk dan bertemu dengan seorang pria berjas pinguin dengan dasi kupu-kupu.
"Selamat datang Tuan Ken dan Nona Jani. Saya Fred, penanggung jawab para pekerja disini. Tentu saja masih dibawah Madam Minah." Fred sedikit membungkuk lalu menunjuk ke arah Bi Inah dengan tersenyum.
"Nanti akan saya jelaskan, Non," ucap Bi Inah yang mendapatkan lirikan tajam dari Jani.
"Semua sudah kami siapkan untuk kenyamanan kalian selama tinggal di rumah ini. Silahkan masuk ke dalam!" Fred membuka pintu besar yang berukiran emas. Jani dan Ken terpana melihat dalam rumah yang megah dan besar. Di depan mereka terdapat anak tangga mewah di sebelah kiri dan kanan yang saling terhubung saat berada di lantai atas.
"Rumah yang menarik," ucap Ken yang hendak berjalan melihat ruangan lain.
"Stop!" Jani berjalan mendekati Ken.
"Kau tidak boleh sembarangan di rumah ini! Ini adalah rumahku dan kau hanya menumpang disini." Jani berkacak pinggang dan menatap sinis ke arah Ken.
"Talk to my hand!" ucap Ken tegas sambil mengarahkan tangannya ke Jani.
"Jika kau tidak suka aku disini, kau bisa pindah ke Alaska," Ken berkata dengan santai dan kembali berjalan.
"Aku bilang berhenti!" teriak Jani. Dia mendekati Bi Inah dan menarik tas yang dibawanya. Jani mengambil benang wol yang ada di dalam tas . Bi Inah memang hobi merajut dan selalu membawa benang wol di dalam tasnya.
Jani mengikatkan benang wol itu ke meja antik yang berada diantara tangga kanan dan kiri, lalu menariknya dan mengikatkan ujung satunya ke pilar di samping pintu masuk.
"Aku sudah membuat dua bagian rumah ini. Kau tidak boleh masuk ke bagianku tanpa seijinku." Ken dan Jani saling berhadapan dengan benang terbentang di antara mereka.
"Siapa takut? Jika salah satu melanggar, maka dia dinyatakan kalah dan harus melakukan apapun yang diinginkan pemenang," tantang Ken.
"Deal," jawab Jani.
"Ehem, maaf saya menyela. Sepertinya posisi anda berdua terbalik karena kamar Nona Jani ada di sebelah kanan, dan Tuan Ken di sebelah kiri," ucap Fred sambil menunjukkan arah dengan jarinya.
Jani dan Ken saling memandang, lalu bertukar posisi dengan membungkukkan badan melewati benang pembatas. Setelah itu mereka membuang muka dan naik ke tangga masing-masing menuju kamar yang bersebelahan. Jika dilihat dari pintu masuk, benang pembatas tepat diantara dinding kamar mereka yang bersebelahan.
Keduanya masuk ke dalam kamar dan melihat sebuah kotak kayu di atas ranjang.
"Apa ini? Kotak inikah yang dimaksud pengacara?" Jani mengambil kalungnya dan mencoba membuka kotak dengan bandul kuncinya.
"Kenapa kuncinya tidak cocok?" Jani melihat lubang kunci yang terlalu besar untuk kunci yang dipegangnya.
"Haha, ternyata kotaknya tidak dikunci. Hah, sungguh aneh. Kenapa memberiku kunci jika kotaknya ternyata tidak terkunci." Jani membuka kotak dan terkejut melihat sebuah buku antik didalamnya.
"Sebuah buku? warisan yang aneh." Jani mengambilnya dan sesuatu yang aneh terjadi.
"Dimana aku? Kenapa semua menjadi gelap?"
Jani merasa kaget melihat sekitarnya menjadi gelap, seolah dia berada di tempat lain. Buku bersampul kulit berwarna coklat yang dipegangnya bersinar hingga terlihat jelas gambar ratu di tengahnya."Buka buku itu, Jani," ucap suara lirih di telinga Jani.Jani membolak-balik bukunya dan melihat gembok indah berbentuk bulat yang dikelilingi permata berwarna-warni, yang mengunci buku itu. Tanpa berpikir panjang, Jani mengambil kalungnya. Gembok mewah yang menutup rapat di buku itu dibuka dengan bandul kalungnya. Betapa terkejutnya Jani saat membuka buku itu. Dia hanya mendapati lembaran kertas kosong berwarna coklat."Kenapa bukunya kosong? Buku apa ini sebenarnya?" Jani semakin tidak mengerti dengan hal aneh yang dialaminya."Usap buku itu, Jani." Suara lirih itu kembali terdengar di telinganya.Jani mengusap pelan halaman pertama dengan jarinya. Tanpa diduga, muncul tulisan kuno bersinar hingga terlihat jelas di ruangan yang gelap.Jani membel
Ken keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju kamar Jani segera mengetuk pintu kamarnya. Tanpa dia duga, pintu itu terbuka dengan sendiri. Dia masuk ke dalam dan melihat Jani yang masih tidak sadar di atas ranjang.Saat Ken hendak membangunkannya, dia teringat akan perjanjian mereka. Ken mengurungkan niatnya dengan keluar dari kamar. Namun dia berbalik untuk menatap wajah Jani dan membelainya."Ternyata kau cantik juga saat diam. Apa yang kulihat barusan itu kenyataan? Jika memang benar, sesuai janjiku kepada ayahku, aku akan menjagamu selamanya."Ken teringat pembicaraan dengan ayahnya saat baru masuk ke sekolah menengah atas."Apa sebenarnya pekerjaan Ayah? Kenapa Ayah selalu membawa pedang dan penuh luka tiap kali pulang?" tanya Ken saat menemukan ayahnya yang terluka di kamarnya.Ibu Ken telah tiada ketika Ken masih kecil karena penyakit. Ayahnya tidak pernah menikah lagi sejak kepergian istrinya."Ayah bekerja sebagai pengawal. Seseoran
Jani masih lemas setelah mendengar jawaban Bi Inah tentang siapa dia sebenarnya. Wajah yang selalu ada di sampingnya selama hidupnya, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia."Apa ibuku tahu siapa dirimu, Bi?” tanya Jani."Tentu saja tahu. Setelah ayahmu meninggal, ibumu pindah ke rumah dimana selama ini Nona tinggal. Di rumah itu saya menembus dimensi waktu. Saat itu nyonya Julia sedang bersamamu di kamar. Dia langsung mengenaliku lewat lukisan ini. Sejak itu saya tinggal bersama kalian.”"Siapa nama Bibi yang asli?” tanya Ken."Nama saya Mina Hasanof, biasa dipanggil Minah. Saya kepala asisten rumah tangga keluarga Lucio. Mereka adalah orang tua angkat Jenifer. Tuan Lucio keturunan dari Tuan Benjamin, saudara kembarnya. Atau biasa di panggil Ben. Karena itu mereka bisa menemukan Jen yang ada di hutan. Keturunan Tuan Benjamin selama puluhan tahun menunggu kedatangan Jen di hutan di hari yang sama saat dia memasuki dimensi waktu.”
Fred telah membawa mobil sampai ke depan rumah. Ken segera keluar sambil menggendong Jani. Bi Inah berlari menghampiri dengan rasa khawatir. Ken membawa tubuh Jani ke kamarnya dan membaringkannya dengan pelan."Non Jani, bangunlah,” bisik Bi Inah dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Jani.Ken melangkah mundur agar Jani tak melihatnya memasuki kamarnya saat sadar. Terlihat Fred dengan cepat membawakan minuman hangat dan meletakkannya di nakas.Perlahan Jani membuka matanya. Ken yang melihatnya langsung bernafas lega. Dengan cepat dia pergi dari kamar Jani menuju kamarnya.“Bibi, apa yang terjadi? Kenapa aku sudah berada di kamarku?” tanya Jani dengan lemah.“Tenanglah. Yang penting Nona Jani baik-baik saja.” Bi Inah membelai kepala Jani.“Tadi ada makhluk yang menyerangku. Sangat menyeramkan. Tapi tiba-tiba ada yang membantuku menghadangnya.”“Tuan Ken menyelamatkan anda, Nona,” j
Di belahan negara lain, terdapat tempat rahasia yang berada dibawah tanah. Tempat itu dibangun ratusan tahun yang lalu. Terlihat dari hiasan yang berupa baju besi prajurit jaman dulu di tata hampir disetiap pojok ruangan. Namun tempat itu mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan jaman.Alat-alat canggih seperti layar lebar di sebuah ruangan yang menjadi pusat tempat itu, menandakan bahwa mereka bukan orang biasa. Terdapat berbagai komputer dan juga tombol-tombol canggih yang menayangkan radar di seluruh dunia. Orang-orang yang mengoperasikannya terlihat sangat ahli.Seseorang mengatakan sesuatu kepada lelaki yang terlihat sebagai pemimpin di tempat itu.“Tuan, saya melihat kekuatan yang besar di kota ini,” ucap salah satu pekerjanya yang menunjukkan suatu wilayah dengan lampu berkerdip di layar komputernya.“Kenapa tanda itu berwarna merah?” tanya sang Pemimpin.“Itu karena bukan kekuatan gelap. Sangat kua
Ken, Jani dan Bi Inah segera masuk mobil untuk kembali ke rumah. Kali ini Fred mengendarainya lebih cepat dari sebelumnya karena tidak mau terlihat para polisi yang berdatangan ke perpustakaan yang separo hancur. Ketiga pembasmi penyihir mengikuti mereka menggunakan motornya.Jani duduk di sebelah Ken dengan sesekali curi pandang kearahnya.“Kenapa tadi dia sangat berbeda? Dia menjagaku seolah aku sangat berarti untuknya.” Tanpa sadar, Jani memandang Ken tanpa berkedip.“Jangan memandangku. Nanti kau bisa terikat kepadaku,” ucap Ken yang membuyarkan lamunan Jani.“Dalam mimpimu, Ken,” jawab Jani yang sedikit gugup.“Lalu biarlah mimpi itu menjadi kenyataan,” jawab Ken yang tersenyum dengan sedikit membisik di telinga Jani.Jani menjauhkan tubuhnya dengan bersandar di jendela mobil.“Kenapa aku jadi gugup didekatnya? Bahkan tadi saat memeluk punggungnya, aku merasakan kenyaman dalam
Setelah kejadian dengan Jani, Ken mengurung diri di kamarnya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menghadapi makhluk itu sehingga Jani harus kembali pingsan. Bi Inah dengan setia mendampingi Jani yang masih tidak sadar di kamarnya.Ketiga pembasmi penyihir dengan panik memasuki rumah. Mereka telah mendengar cerita makhluk yang menyerang Ken dan Jani dari Fred.“Sial, kita ditipu oleh mereka. Penyihir yang ada di sekolah hanyalah pengalihan agar mereka bisa menyerang Jani dan Ken. Ini tidak boleh terjadi lagi.” Gil terlihat geram dengan menggenggam tangannya. Dia bersama Dom berada di luar kamar Jani.Mel masuk ke dalam untuk melihat kondisi Jani yang masih terbaring.“Apa yang terjadi padanya, Bi Inah? Fred bilang dia mengeluarkan kekuatan yang luar biasa,” tanya Mel.“Aku tidak menyangka kekuatan itu akan muncul dengan cepat. Dia harus bisa mengendalikan kekuatan itu sebelum mencelakai dirinya dan orang lain,”
Dalam matanya yang tertutup, Ken melihat kastil tua tersembunyi di suatu tempat yang dikelilingi lautan. Suara jeritan memekikkan yang dia dengar terasa begitu nyata. Ken memandang Jani dengan penuh kekawatiran.“Apa yang akan kita berdua hadapi kelak? Melihat dalam pikiranku saja sudah terlihat menyeramkan. Aku harap bisa menjagamu selamanya.” Ken memberanikan diri mengelus rambut Jani yang menutupi wajahnya.Di tempat lain terdapat sebuah pulau kecil yang terlihat gelap dengan suara lolongan serigala yang menyeramkan. Tempat itu dikelilingi awan hitam hingga tidak bisa dilihat oleh siapapun. Sebuah kastil tua berdiri ditengah dengan tembok tebal yang menjadi pagarnya.Terlihat berjajar sosok tubuh manusia memakai jubah panjang bertudung mengelilingi tempat itu. Mereka berpostur tinggi dan juga berbadan besar melebihi ukuran manusia biasa.Didalam kastil terdapat beberapa orang yang juga bertudung hingga menutupi seluruh wajah dan juga badann