Share

Pesan Terakhir

Sebelum terjadi ledakan yang cukup keras tadi, ternyata kedua korban itu telah berhasil diselamatkan. Lalu mereka langsung membawa ketiga korban tersebut ke rumah sakit terdekat.

Dan untung saja salah satu dari orang-orang yang ikut membantu para korban itu ada yang mengenali Rafael. Sehingga dengan cepat pihak rumah sakit segera menghubungi keluarganya.

Setelah mendapat telepon dari rumah sakit, dengan segera orang tua dari Rafael mendatangi rumah sakit tersebut. Begitu sampai di sana, dengan penuh kecemasan, dua orang paruh baya itu berlari mendekati ke ruang resepsionis dan bertanya di mana tempat korban kecelakaan yang baru saja terjadi tadi.

"Sus, di mana anak saya?" tanya Amanda dengan sangat panik ia menatap seorang perawat yang sedang berjaga di sana.

"Maaf, Ibu. Anak Anda yang mana, ya?" jawab si suster.

"Itu, Sus. Yang korban kecelakaan mobil," sambar Aditama.

"Oh, yang itu. Karena keadaan mereka yang sangat darurat. Mereka kini sedang berada di ruang operasi yang ada di sebelah sana, Pak, Bu," kata si suster menunjuk lurus ke sebelah kanan.

"Oh, baiklah. Terimakasih, Sus." Keduanya langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh si perawat wanita tadi.

Setelah sampai di depan suatu ruangan, kini keduanya berjalan mondar-mandir merasa sangat cemas dan khawatir dengan keadaan anaknya.

Hingga beberapa jam kemudian, lampu tanda di ruang operasi Rafael dan lainnya telah dimatikan. Lalu ada beberapa dokter yang tampak keluar dari sana. Dengan serempak kedua orang itu langsung mendekati dokter tersebut.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Amanda panik.

"Anda--"

"Kami orang tua korban, Dok," jawab Aditama.

"Oh, mari ikut ke ruangan Saya!"

Aditama dan Amanda masuk ke ruangan salah satu dokter yang menangani operasi tadi. Kemudian kedua paruh baya itu kini duduk di kursi yang ada di hadapan dokter tersebut.

"Jadi Bapak dan Ibu adalah orang tua pasien?" tanya dokter itu.

"Ya, kami orang tua dari pasien laki-laki. Bagaimana kondisi anak kami?" sahut Aditama.

Dokter yang bernama Heru itu menghembus nafasnya berat. Lalu berkata, "Yang pertama, pasien wanita mengalami benturan keras di kepala. Sehingga terjadi cidera yang cukup parah di otaknya yang menyebabkan pendarahan. Namun, kami baru saja menyelesaikan operasinya."

"Di samping itu juga terdapat begitu banyak luka di sekujur tubuhnya. Dan kami pun sudah menjahit beberapa luka sobek itu."

" Namun ...." Dokter itu menjeda ucapannya. Sehingga membuat wajah kedua orang yang ada di hadapannya itu semakin menegang.

"Namun apa, Dok?" tanya Amanda panik.

"Karena pendarahan di otaknya itu, sehingga kemungkinan bisa mengakibatkan pasien itu koma."

"Apa?! Ja-jadi Lucyana koma?" Sontak keduanya tampak sangat syok.

Pria berjas putih itu mengangguk pelan.

"Lalu bagaimana keadaan pasien yang lainnya, Dok?" tanya Aditama lagi.

"Em ... hampir sama dengan pasien wanita tadi. Anak Anda sudah berhasil kami oprasi. Tetapi ...." Dokter itu kembali menggatung ucapannya.

Semakin membuat keduanya bertambah cemas.

"Tapi apa, Dok?" tanya Amanda merasa sangat penasaran.

"Ada kemungkinan besar, Anak Anda akan mengalami kelumpuhan di kedua kakinya."

"Apaa! Lumpuh?"

Jedder!

Bagai tersambar petir di siang bolong. Seketika tubuh kedua orang tua itu terasa kaku dan menegang. Sungguh keduanya meràsa sangat syok mendengarnya.

Bahkan, karena terlalu syoknya tubuh Amanda hampir pingsan mendengar pernyataan dokter. Dengan sigap Aditama menahan tubuh Amanda agar tidak jatuh.

"Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin lumpuh, apa dokter sudah memeriksa keadaan anak saya dengan benar?" tanya Amanda meragukan dokter. Dia masih belum terima pernyataan dokter tentang anaknya.

"Mah, dokter gak mungkin salah mendiagnosis anak kita!"

"Terus, bagaimana nasib anak kita, Pah? Apa Papah terima anak kita lumpuh?" sergah Amanda, lambat laun ada setitik embun bening menyelinap di sela pelupuk matanya.

"Kita harus yakin sama anak kita, Mah. Papah yakin, anak kita pasti bisa berjalan lagi. Dia pasti akan sembuh ... ya kan, Dok?" Aditama menanyakan hal itu walau dia meragukannya juga.

Dokter itu mendesah. Lalu tersenyum getir. "Saya belum bisa memastikannya. Saya selaku dokter yang menangani anak Anda akan mengeceknya setelah anak Anda sudah tersadar nanti," terang dokter.

"Tuh, kan, Pah. Dokter saja ragu dengan kesembuhan anak kita!" Amanda kian sedih mendengar tidak ada lagi harapan buat anaknya bisa berjalan kembali.

Aditama hanya bisa menepuk-nepuk punggung sang istri. Dia juga pasrah, terlihat putus asa.

"Lalu, untuk pasien yang satunya lagi--"

"Apa?! Ja-jadi masih ada korban yang lainnya lagi, Dok?" pekik Amanda kaget.

Dokter muda itu mengangguk. Dan baru saja dokter itu akan kembali membuka mulutnya, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu.

Tok-tok-tok!

Sehingga membuat ucapan dokter itu kembali terjeda.

"Ya, silahkan masuk!" seru si Dokter.

Cekllik!

Terlihat seorang perawat wanita membuka pintu, lalu berkata, "Dok, si pasien ibu-ibu itu telah sadar."

"Apaa?!" Kini si dokter-lah yang merasa terkejut. Sungguh ini di luar dugaan. Bagaimana bisa pasien yang baru saja selesai melakukan oprasi dengan begitu cepat bisa tersadar.

"Ya, mari kita liat pasien itu sekarang!"

Sontak ketiga orang itu bangkit dari duduknya dan langsung bergegas menuju ruang si pasien wanita itu.

Begitu masuk ke sana, lagi-lagi kedua paruh baya itu merasa sangat syok ketika tau siapa orang yang telah menjadi korban tabrakan mobil anaknya.

"Bi-bik Laela!" pekik Amanda segera mendekati wanita yang kini terbaring lemah di atas ranjang pasien.

Mereka benar-benar tak mengira kalau orang itu adalah salah seorang pelayan yang bekerja di rumahnya.

Keadaan wanita itu sungguh sangat memperhatinkan. Dengan kepala yang dibalut perban, terlihat ada banyak alat kesehatan yang menempel di tubuhnya. Mulai dari alat bantu pernafasan yang menutupi hidung dan mulutnya, jarum infus yang menancap di salah satu lengannnya dan masih banyak yang lainnya.

Dengan sangat lemah tangan wanita itu bergerak pelan berusaha meraih tangan majikannya. Amanda yang melihatnya pun segera meraih tangan pelayannya itu.

Lalu, dengan mulai menitikan air mata, Amanda menatap sedih wanita yang sudah bekerja di rumahnya selama hampir 5 tahunan tersebut. Perasaaan bersalah mulai muncul di bentaknya.

"Maafkan Rafael, Bik. Sungguh saya sangat meminta maaf padamu. Ka-karena dialah hingga membuatmu seperti ini." Wanita paruh baya itu mulai terisak merasa sangat bersalah atas semua kejadian ini.

Aditama yang berada di bekakang sang istri ikut merasa sedih melihatnya.

"Tapi, Bik Laela tenang saja. Kami pasti akan bertanggung jawab. Kami akan merawat dan membiayai Bik Laela hingga sembuh nanti," ujar Aditama.

Namun, wanita itu malah menggeleng lemah. Seolah ia menolak untuk dirawat. Sehingga membuat sepasang majikannya itu merasa kebingungan melihatnya.

"Loh, kenapa Bibik tidak mau?" tanya Amanda pelan.

"Nyo-nya, saya sudah memaafkan Tuan muda. Dan Nyonya tidak perlu merasa bersalah karena ini bukan kesalahan Nyonya."

"Da-dan to-tong na-nti jangan bilang ke putri saya, kalau penyebab kecelakaan ini adalah Tuan Rafael. Ka-rena sa-ya tidak ingin anak-anak saya nanti mempunyai dendam kepada anak Anda." Dengan sangat pelan dan terbata-bata, wanita berumur 45 tahunan itu mulai menyampaikan keinginannya.

Amanda kembali menangis. Di antara rasa sedih, haru dan juga kagum terhadap wanita itu. Karena di saat keadaannya yang dalam keadaan kritis seperti ini, dia masih mau memaafkan kesalahan putranya yang telah membuatnya kecelakaan seperti ini.

Di samping itu juga ternyata wanita itu tak ingin dua putrinya tau kalau penyebab kecelakaan ini adalah putranya.

"Baiklah kalau memang itu kemauan Bibik. Saya akan merahasiakan ini semua." kata Aditama menyanggupinya. "Dan saya sebagai wakil dari anak saya, sekali lagi memohon maaf dan berterimakasih karena Bibik sudah mau memaafkan Rafael."

Wanita itu mengangguk lemah. Lalu ia kembali berkata, "Da-dan satu lagi, Nyonya. Saya titip kedua putri saya dan tolong jaga mereka dengan baik!"

"Tidak-tidak, Bibik jangan berkata seperti ini." Dengan berlinang air mata Amanda menggelengkan kepala. "Bibik pasti nanti akan sembuh dan bisa berkumpul kembali dengan putri Bibik."

Kini Laela yang menggeleng dengan sangat lemah. Hingga, tiba-tiba saja ia terlihat seperti sesak nafas dan tubuhnya juga mulai kejang-kejang. Sehingga membuat dua majikannya itu langsung terlihat panik.

"Bibik!" pekik keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status