Share

Part 2

Part 2

Tami keluar dari kamar sambil membawa kotak kayu yang bentuknya seperti peti, tapi tidak terlalu besar. Jantungku berdegup kencang melihatnya. Kira-kira apa yang ada di dalam kotak itu?

"Nih, kalo mau liat hasil simpananku!" Ucap Tami sambil menyerahkan kotak itu padaku.

Dengan perlahan kubuka kotak kayu itu. Betapa terkejutnya aku saat di dalamnya kulihat begitu banyak perhiasan emas.

"Dek, ini semua punya kamu?" Tanyaku seakan tak percaya.

Tami hanya manggut-manggut saja, dengan tangan dilipat ke dada. Persis seperti nyonya besar.

"Jual satu ya Dek, biar makan enak kita seminggu ini," pintaku padanya sambil tanganku mengambil sebuah cincin.

"Oh ... Nehi, nehi!" Katanya sambil merebut kembali semua perhiasannya.

"Dek, itu ada banyak. Aku cuma minta satu aja, sekalian buat beli skincare kamu."

Seketika Tami mendelik mendengar ucapanku. Aku langsung menciut melihat wajah sangarnya.

"Untuk apa skincare? Buang-buang duit aja!" Ucap Tami dengan ketus.

"Biar kamu makin cantiklah, Sayang," bujukku lagi dengan merayunya.

"Gak boleh ya, Bang! Pokoknya perhiasan ini semua, gak boleh dikotak-katik dan diganggu gugat."

"Sama kamu juga untuk apa, Dek, perhiasan segitu banyak? Toh, gak mungkin juga dipake semua."

"Buat gonta-gantilah kalo pergi kondangan!" Ucapnya berlalu meninggalkanku.

"Oalah, Dek, Dek. Percuma emasmu jerentek, tapi badan kering kerontang!" Ucapku dengan lantang yang dibalas lemparan bantal dari kamar.

***

Rasanya ingin kucuri saja perhiasan Tami. Ternyata selama ini dia berhemat demi mengumpulkan perhiasan. Tapi sama saja tak berguna perhiasannya bagiku. Karena bagi Tami perhiasannya pantang dijual.

"Bik ... Mau kemana?" Samar-samar kudengar suara Tami menegur seseorang di luar.

Kuintip dari jendela. Ternyata Bik Nur, Bibiku. Kulihat Bik Nur membawa plastik hitam besar di sepedanya. Aku pun semangat, karena biasanya Bik Nur gudang makanan yang sering kujarah. Hahaha.

"Bawa apa itu Bik? Tanya Tami mendekati Bik Nur yang sedang memarkirkan sepedanya.

"Ikan," jawab Bik Nur.

"Mau diecer Bik?" Tanya Tami lagi yang sudah persis wartawan.

Suami Bik Nur memang seorang penjual ikan di pasar. Jadi jika ikannya tak habis, biasanya Bik Nur yang berjualan keliling.

"Bukan, ini ikan jelek. Mau Bibi kasih Mang Udin buat pakan bebek."

"Bik, aku mintalah dikit."

Seketika aku melotot mendengar perkataan Tami. Untuk apa ikan yang sudah jelek itu?

"Buat apa, Mi? Ini udah gak bagus lagi, lho."

"Buat makan kucing, Bik," jawab Tami cepat.

"Bentar ya, Bik, aku ambil baskom dulu." Sambungnya sambil lari ke dapur, tanpa menunggu persetujuan dari Bik Nur.

"Nih, Bik ...," ucapnya menyodorkan baskom.

"Jangan dimakan ya, Mi. Nanti Bibik yang disalahin kalo kalian kenapa-napa," ucap Bik Nur berusaha mengingatkan.

"Aman itu, Bik, tenang aja," sahut Tami sambil menyambar baskom yang sudah berisi ikan.

Tami pun masuk ke dapur setelah Bik Nur pergi. Segera kudatangi dia untuk kuinterogasi.

"Dek, untuk apa itu ikan?"

"Untuk dimasaklah. Katanya pengen makan ikan." Dengan santainya dia menjawab.

"Ya ampun, Dek, kamu gak dengar apa kata Bik Nur tadi?"

"Ya, dengar," jawabnya masa bodoh.

"Gak kasihan kamu ngasih anak-anak ikan kayak gitu?"

"Kayak gitu gimana sih, Bang? Ini tuh masih bagus, cuma badannya aja yang udah termutilasi," jawabnya sambil menunjukkan ikan yang sudah tak utuh lagi.

"Dek, Dek ... Segitunya banget kamu, Dek. Ikan yang bagus juga banyak, murah-murah juga!" Kataku menahan dongkol.

"Kalo ada yang gratis, ngapain beli?" Ucapnya lagi dengan santai menggoreng ikan-ikan korban mutilasi.

"Ya ampun, Dek, Dek. Mending aku makan telor ceplok aja!" ketusku.

Dengan sebal kutinggalkan Tami yang sibuk dengan ikan mutilasinya.

***

Makan siang pun tersaji. Hanya ada sambal ikan mutilasi yang tadi Tami masak. Kulihat anak-anakku datang dan duduk di meja makan, bersiap-siap makan siang.

"Wulan, Rafa ... Bapak gorengkan telor ya?" Ucapku berusaha membujuk agar anak-anak tak memakan ikan yang dimasak Tami tadi.

"Kenapa, Pak? Itu kan ada ikan sambal," tanya Wulan.

"Itu ikannya udah gak bagus lagi, Kak, nanti sakit perut," ucapku berbisik agar tak didengar Tami.

"Enggak ah, Pak, aku mau makan pake ikan aja! Udah lama gak makan ikan," sahut Rafa yang langsung mengambil nasi bercentong-centong.

"Gak makan Bang?" Tanya Tami yang datang entah dari mana.

"Gak!" Jawabku dengan ketus.

Biar tau aja dia, kalau aku juga bisa marah. Selama ini aku memang amat sangat jarang marah ke Tami. Aku selalu terima apapun kelakuan Tami. Bahkan banyak yang menjuluki aku suami takut istrilah, atau kayak kebo dicucuk hidungnya. Tapi setelah tahu Tami berhemat cuma karena ngumpulin emas, ya aku gak terima. Nabung boleh, tapi sewajarnya. Jangan sampai menyiksa diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status