Share

Istri Pelit Bin Medit
Istri Pelit Bin Medit
Author: Wella Andriana

Part 1

Part 1

"Baaang ... Sarapan dulu, keburu siang!" Teriak istriku dari ruang makan.

Aku yang sudah selesai berpakaian pun segera mendatanginya.

"Telor ceplok lagi, Dek?" Tanyaku dengan lemas begitu duduk di meja makan.

"Iya, udah makan aja, apa yang ada! Itu bekal Abang juga udah aku bungkus."

"Bekalnya lauk apa?"

"Tumis kangkung sama ikan asin goreng," jawabnya.

"Sekali-sekali masak ikan atau ayam gitu Dek. Kasihan anak-anak."

"Kasihan kenapa? Gak bergizi gitu?" Tanyanya mulai sewot.

"Ya, bukan. Kasihan jarang makan enak."

"Alaah, bilang aja Abang yang kepengen makan enak!"

"Ya siapa sih Dek, yang gak kepengen makan enak. Semua orang juga mau."

"Gak ada! Udah pokoknya urusan dapur aku yang atur ya Bang, Abang tinggal fokus cari duit aja," ucapnya sambil berlalu.

Aku tak habis pikir dengan Tami, istriku. Padahal uang belanja yang kuberikan termasuk lumayan banyak. Aku bekerja sebagai tukang bangunan, yang di daerah kami digaji 150 ribu perhari. Termasuk lumayan banyak, apalagi kami hidup di desa, yang sayur banyak tinggal petik saja di kebun.

Aku tak menuntut Tami setiap hari masak enak. Setidaknya seminggu sekali pun tak apa. Tapi ia betul-betul tetap dengan pendiriannya. Alasannya ingin berhemat. Tapi sampai detik ini aku belum pernah merasakan hasil dari hematnya Tami.

Kami merasakan makan enak hanya saat hari raya Idul Adha, Idul Fitri, dan saat ada ayam kami yang sekarat.

"Abang pergi dulu Dek," pamitku.

"Iya Bang hati-hati ya suamiku sayang. Kalo ada besi-besi nganggur bawa pulang lagi ya bang. Lumayan buat tambah-tambahan."

"Astaga Dek. Mana bisa sering-sering kayak gitu. Bisa ketauan bos aku."

"Alaah, segitu banyak bahan bangunan gak mungkin diperhatikan kali Bang."

"Udahlah ah, pergi dulu Abang," kataku menutup obrolan, malas memperpanjang.

Memang aku pernah beberapa kali mengambil besi atau bahan-bahan bangunan lain yang kira-kira bisa dijual. Awalnya aku takut ketahuan. Tapi karena sekali aman, aku jadi ketagihan. Apalagi ditambah dengan banyaknya tuntutan istriku yang terus-terusan minta duit.

***

"Assalamu'alaikum ... Dek, Abang pulang," ucapku sambil masuk ke dalam rumah mencari Tami.

"Wa'alaykumus salam, eh suamiku sayang udah pulang," sambutnya dari dalam kamar.

"Anak-anak mana Dek? Kok sepi?" Tanyaku.

"Lagi pada main Bang."

"Adek belum mandi?"

"Udahlah. Masa suaminya pulang belum mandi."

"Tapi kok mukanya kusem gitu? Terus gak ada aroma wangi-wanginya lagi," kataku sambil mengendus-endus persis kucing.

"Abang ngejek aku?" Tanya Tami mulai cemberut.

"Ya enggak Dek. Abang kan cuma berkata apa adanya aja," kataku sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.

"Abis mandi pake bedak dan parfum gitu, Dek. Kan jadi keliatan perbedaannya udah mandi atau belum," sambungku.

"Sayang dong bang, kalo bedak dipake buat sehari-hari. Bisa cepat abis nanti!" Ucapnya.

"Ya ampun, Dek ... Dek. Buat badan sendiri aja pun perhitungan," kataku berlalu sambil geleng-geleng kepala meninggalkan Tami.

Lagi-lagi bagiku sifat hematnya keterlaluan. Apa dia tak ingin merawat dirinya sendiri? Masa iya uang yang kuberikan selama ini kurang?

Aku tak menuntut Tami untuk cantik bak Sosialita, tak perlu perawatan mahal juga. Cukup wangi, segar, dan wajah berbedak sedikit jika ada aku, atau ditambah polesan lipstik supaya enak di pandang.

Aku masuk kamar setelah selesai mandi. Kupandang meja rias Tami yang kacanya buram karena penuh debu yang jarang dilap. Hanya ada bedak padat yang isinya pun sudah pecah-pecah, dan lipstik yang kalau mau dipakai harus dikorek dulu.

Kenapa sampai sebegininya keadaan Tami? Apa aku yang kurang perhatian selama ini? Atau nafkah yang kuberi kepadanya kurang? Sebaiknya aku tanyakan langsung.

"Dek ...." Kusapa Tami yang sedang duduk di teras sambil bermain handphoneku.

Sebenarnya bukan handphoneku, tapi handphone bersama. Satu untuk semua. Karena Tami tak mau punya handphone lebih dari satu. Boros katanya.

"Kenapa Bang? Sini duduk!" Katanya sambil menepuk bangku di sebelahnya.

"Dek Abang mau bicara," kataku serius setelah duduk di sampingnya.

"Tumben serius banget, mau bicara apa emangnya?"

"Dek, apa selama ini uang yang Abang kasih kurang ya?" Tanyaku dengan rasa ingin tahu yang menggebu.

Tami mengernyit.

"Kenapa Bang? Mau Abang tambahin ya? Asyiiik!" Ucapnya malah kegirangan.

"Dek, Abang serius ini!"

"Kenapa sih Bang, tiba-tiba nanya gitu? Kalo gak mau nambahi ngapain nanya-nanya?"

"Aku heran aja sama kamu Dek. Hemat kamu, aku rasa udah berlebihan."

Akhirnya kuungkapkan semua isi hatiku. Daripada ngenes.

"Berlebihan gimana? Yang penting masih hidup kan? Masih bisa makan kan?"

"Iya Dek. Tapi tujuan kamu berhemat itu untuk apa? Toh aku gak pernah liat hasil dari hematnya kamu." Aku mulai terbawa emosi.

"Abang mau liat hasilnya? Oke, tunggu ya aku ambil!" Katanya sambil berlalu meninggalkanku yang melongo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status