“Bukannya Tuan menganggapku sebagai pembunuh istrimu? Dan bagaimana dengan bayi mungil ini? Bukankah aku bisa lebih mudah lagi menghabisinya jika aku mau? Bahkan, dia tidak bisa melawan saat aku—aakhh!”
Dalam hitungan detik, Tama bergerak maju dan mendorong tubuh mungil Syera ke dinding. Kobaran amarah terpampang jelas dari manik matanya yang tampak datar. “Berani kamu melakukan itu, aku pastikan hidupmu akan jauh lebih menderita dari sekarang!”Mengabaikan nyeri yang menyerang punggungnya, Syera tetap mempertahankan senyum angkuh yang terpatri di wajahnya. “Silakan saja jika Anda ingin melakukan itu, Tuan. Tapi, bukankah itu tidak akan berguna lagi jika aku benar-benar melenyapkan putri kesayanganmu?”Segila apa pun dirinya, sudah jelas Syera tidak akan pernah melakukan itu. Mengorbankan bayi yang tak berdosa dan belum mengerti apa-apa demi dendam semata. Ia hanya sedikit menggertak, namun bisa dipastikan tepat sasaran melihat bagaimana ekspresi murka di wajah Tama saat ini.Orang yang paling tepat untuk bertanggungjawab atas kesengsaraan hidupnya adalah lelaki di hadapannya. Lelaki yang tega memaksanya menebus kesalahan yang tak pernah dirinya lakukan. Kemudian, mengikatnya dalam pernikahan yang sudah pasti akan membunuhnya perlahan-lahan.Syera mengerutkan kening, menahan nyeri ketika Tama mencengkram kedua bahunya. Akan tetapi, wanita itu berusaha tetap mempertahankan ekspresi menantangnya. Ia tidak mau terlihat lemah lagi di hadapan lelaki ini, apalagi sampai memohon.“Apa sekarang kamu sudah mulai mengakui kesalahanmu?” desis Tama penuh penekanan.“Sudah aku katakan berkali-kali jika aku tidak bersalah,” jawab Syera dengan dengus samar. “Aku hanya bertanya, ‘kan? Tuan sendiri yang bersikukuh menganggap aku pembunuh, meski tanpa bukti yang jelas. Tapi, sekarang malah ingin aku merawat bayimu?”Tama mencondongkan wajahnya seraya berbisik di samping telinga Syera. “Aku pastikan kamu tidak akan memiliki kesempatan untuk melakukannya.” Lelaki itu segera menarik diri setelahnya dan kembali menegakkan tubuhnya.“Lakukan tugasmu dengan baik jika kamu ingin bernapas dengan tenang di sini. Bersihkan tubuhmu dulu sebelum menyentuh anakku. Begitu juga selanjutnya, kamu harus selalu bersih saat menyentuh anakku. Tapi, kamu tetap harus membereskan tugas lainnya tepat waktu. Terlambat semenit saja, aku akan menambah tugasmu,” tutur Tama dengan tatapan tajamnya.Syera membulatkan manik matanya mendengar serentetan aturan dari mulut lelaki di hadapannya. Aturan yang Tama buat untuknya benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, di tempatnya bekerja saja tidak ada aturan seketat itu.Tanpa memedulikan Syera yang sudah menyiapkan segala macam sumpah serapah, Tama langsung beranjak pergi dari kamar. Membuka sebuah pintu yang berada di salah satu sudut ruangan dan menghilang dari balik pintu tersebut.Syera menebak jika ruangan yang Tama masuki itu adalah sebuah kamar juga. Sebelum ruangan itu tertutup, ia sempat melihat interior khas kamar mewah di sana. Sudah pasti kamar lelaki itu yang terhubung dengan kamar ini.Setelah menenangkan emosinya yang bergejolak, Syera pun melangkah menuju toilet untuk membersihkan diri. Bukan karena mengikuti keinginan Tama, tetapi karena tubuh dan pakaiannya memang penuh debu dari gudang tadi. Sebenarnya ia ingin mengganti pakaiannya terlebih dahulu, namun anak lelaki kejam itu sudah menangis.“Hei,” sapa Syera yang berusaha menarik sudut bibirnya di hadapan bayi mungil itu. Ajaibnya, bayi cantik yang sedang meraung itu langsung terdiam. “Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku belum pernah menyentuh apa lagi merawat bayi sebelumnya. Apakah kita bisa bekerja sama, Cantik?”Pertanyaan Syera langsung disambut dengan seulas senyum di bibir mungil bayi yang entah siapa namanya itu. Seolah-olah bayi itu tengah menyetujui negosiasi yang Syera lakukan. Dan itu berhasil membuat senyum di wajah Syera semakin lebar.Masih terpatri jelas di ingatan Syera bagaimana keadaan ibu dari bayi ini ketika dirinya datang. Ia sempat berpikir jika kemungkinan bayi ini tidak akan selamat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya dan sekarang dirinya dapat melihat sendiri betapa kuatnya anak wanita itu.Kalau bukan karena permintaan terakhir ibu dari bayi ini, sudah pasti Syera akan melakukan segala cara agar tidak perlu merawatnya secara langsung. Sebab, ia tidak tahu bagaimana caranya merawat bayi dengan baik.“Tolong jaga anakku.”Kalimat lirih itu kembali terngiang di telinga Syera. Kalimat yang dikatakan oleh mendiang istri Tama beberapa detik sebelum benar-benar tidak sadarkan diri. Syera tidak menyangka pesan tersebut malah menjadi pesan terakhir dari wanita yang ditolongnya itu.Syera tidak ingin menyesali keputusannya yang memilih menolong wanita itu tanpa berpikir panjang. Namun, melihat bagaimana nasibnya saat ini membuatnya merasa miris. Dirinya malah terjebak di tempat yang tidak seharusnya dan entah kapan dapat terbebas.Syera segera menepis kesedihan yang tiba-tiba menyergap dadanya. Sekarang bukan waktunya bersedih lagi. Ia harus mencari cara untuk membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Hanya meratapi nasib saja tidak berguna untuk saat ini.“Cantik, apa kamu haus? Tunggu sebentar ya, aku membuatkan susu untukmu,” tutur Syera seraya melangkah menjauh dari ranjang kecil bayi itu dan mengambil wadah yang berisi susu formula beserta perlengkapannya.“Akhirnya selesai juga,” gumam Syera sembari menarik selimut dan membungkus tubuhnya sebatas dada.Helaan napas lega lolos dari bibir Syera, akhirnya tugasnya hari ini selesai juga. Ia baru saja membersihkan diri setelah selesai merapikan gudang. Elvina—putri Tama juga sudah tidur sebelum dirinya pergi tadi. Seharusnya tugasnya sudah selesai dan semoga saja tidak ada lagi gangguan setelah ini.Dalam hitungan detik, Syera yang sudah kelelahan langsung terlelap. Namun, tidurnya harus terganggu karena merasa haus. Terpaksa ia beranjak dari ranjang dengan mata setengah terpejam. Wanita itu berjingkat kaget ketika tak sengaja melihat seseorang yang berdiri di samping ranjang.“Apa yang kamu lakukan di sini?!”Syera nyaris melempar bantalnya jika sosok itu tidak lebih dulu merangsek maju dan menahan pergerakannya. Namun, akibat serangan mendadak tersebut, Syera kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atas ranjang.Syera ingin kembali bangkit, namun tubuhnya malah membeku di tempat. Apalagi ketika Tama bergerak semakin dekat dan menahan kedua tangannya. Ia meremang karena tatapan lelaki itu yang menelusuri tubuhnya.Wanita itu mengumpat dalam hati. Pakaian tidur yang Utari pinjamkan entah dari siapa ini sangat tipis dan terbuka. Ditambah lagi saat ini posisinya sedang kurang menguntungkan. Gaun tidur yang hanya menutupi setengah pahanya itu tersingkap ke atas. Menampilkan area pribadinya yang seharusnya tidak dilihat sembarangan orang.“Apa kamu sengaja memakai pakaian seperti ini untuk menggodaku?” bisik Tama dengan suara yang lebih berat dari biasanya.Dalam pencahayaan yang temaram, manik mata Syera dan Tama terkunci satu sama lain. Syera ingin melepaskan diri, namun lelaki di hadapannya ini berhasil mengunci ruang geraknya hingga dirinya tak dapat bergerak sama sekali.“Aku baru ingat kalau malam ini adalah malam pertama kita.” Lelaki itu menjeda kalimatnya seraya mengelus sebelah pipi Syera. Menelusuri kulit mulus dan menyibak rambut yang menutupi leher wanita itu. “Kamu pasti mengerti apa yang seharusnya kita lakukan, ‘kan?”“Tu-tuan—” Manik mata Syera membulat sempurna ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Tama.Tama kembali menarik diri tak lama kemudian. Seulas senyum sinis tersungging di bibirnya melihat wanita di bawahnya yang tampak ketakutan. Tak terlihat rasa bersalah sedikitpun dari wajahnya, bahkan lelaki itu sengaja menatap Syera dari atas sampai bawah dengan sorot menilai. “Apa kamu pikir tubuhmu menarik di mataku?” Pertanyaan sinis itu berhasil menggores harga diri Syera sebagai wanita. Ditambah lagi dengan tatapan kurang ajar lelaki itu yang seakan sedang menelanjanginya. Setelah Tama tidak lagi mengunci tubuhnya, ia bergegas bangkit dari posisinya. Kemudian, merapikan pakaian yang melekat di tubuhnya. Syera bersumpah tidak akan menggunakan pakaian ini lagi maupun pakaian sejenisnya. Syera menatap Tama yang berdiri angkuh di hadapannya dengan sorot penuh kebencian. Wanita itu langsung mengelap bibirnya yang basah karena ulah Tama. Ia benar-benar tidak rela ciuman pertamanya diambil oleh seseorang yang sangat dibencinya. Tama yang sedari tadi memperhatikan Syera berdecih sinis.
“Apa? Kalung yang sama? Apa yang Tuan maksud sebenarnya?” sahut Syera seraya memutar tubuhnya menghadap Tama. Kemudian, melirik kalung di yang ada tangannya. “Tidak mungkin aku memiliki kalung yang sama dengan istrimu, Tuan.” Meskipun kalung miliknya memang memiliki desain yang unik, namun tidak mungkin sama dengan milik mendiang istri Tama. Kalaupun memang mirip, sudah pasti harganya berbeda sangat jauh. Bukannya ia meragukan pemberian orang tuanya, tetapi barang milik orang kaya pasti memiliki harga yang fantastis. “Kalung seperti ini mungkin dimiliki banyak orang, Tuan. Desainnya memang mirip, tapi bukan berarti hanya satu orang yang memilikinya. Kalung ini pemberian ibuku, hanya kalung biasa. Tidak mungkin sama dengan kalung yang istri Tuan miliki!” sambung wanita itu tanpa ragu. Tama melangkah maju dan menarik tangan Syera yang sedang menggenggam kalung itu. “Biasa? Apa kamu tidak bisa membedakan mana berlian langka dan berlian biasa? Lihat sendiri! Dan perlu kamu jika kalung
Ringisan pelan lolos dari bibir Syera yang spontan menyentuh keningnya. Manik matanya menatap lurus-lurus ke arah wanita paruh baya yang tampak ingin menelannya hidup-hidup itu. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu tiba-tiba menyerangnya. Namun, sepertinya mereka pernah bertemu sebelumnya. Pelan-pelan Syera berusaha bangkit dari posisinya dengan tatapan waspada. Khawatir wanita paruh baya di hadapannya ini kembali menyerangnya. “Kenapa Anda tiba-tiba menyerangku? Apa salahku, Nyonya?” tanya wanita itu bingung. Di detik berikutnya, Syera langsung mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan wanita paruh baya ini. Di rumah sakit tempo hari. Dan barusan wanita paruh baya ini juga menyebut ‘anakku' dan ‘menantuku'. Sepertinya wanita ini adalah ibu kandung Tama. “Kamu masih bertanya apa salahmu? Kamu benar-benar tidak tahu diri! Setelah membunuh menantuku, kamu berani menginjakkan kaki di rumah ini, hah?! Harusnya kamu sudah membusuk di penjara!” bentak wanita paruh baya bernama Rebe
Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar itu membuat Syera terlonjak. Buru-buru ia menyimpan kembali figura foto mendiang istri Tama itu. Namun … PYAR! Syera yang panik hanya menyimpan asal figura tersebut dan akhirnya benda itu malah jatuh di samping nakas dan pecah. Syera semakin panik dan langsung berjongkok untuk mengambil benda tersebut. Tama pasti mengamuk karena dirinya telah menghancurkan benda yang sangat berharga. “Aw!” Ujung telunjuknya tak sengaja tergores serpihan kaca figura yang telah hancur itu. “Apa yang kamu lakukan?! Minggir!” sentak Tama yang langsung mendorong Syera menjauh dari sana. Ia langsung mengambil foto Kirana—mendiang istrinya dari serpihan figura tersebut dan memastikan foto itu tidak rusak. Dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, Syera bangkit dari posisinya. Mengabaikan jemarinya yang terluka dan masih mengeluarkan darah, ia lebih takut mendapat hukuman tidak masuk akal lagi dari lelaki di hadapannya yang tampak sangat murka itu. “Siap
Langkah Utari spontan terhenti setelah mendengar pertanyaannya. Syera pun sontak menghentikan langkahnya dan memperhatikan gelagat aneh yang ditunjukkan oleh wanita di hadapannya. Sudah sejak lama ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Utari. Syera tak ingin berpikiran negatif, apalagi pada Utari, satu-satunya orang yang berpihak padanya saat ini. Namun, gelagat aneh yang wanita paruh baya itu tunjukkan membuatnya semakin penasaran. Siapa tahu saja Utari mengetahui sesuatu yang dirinya perlukan untuk mencari bukti. “Kenapa kamu malah menanyakan hal seperti itu? Mana mungkin aku tahu siapa yang melakukannya. Sudahlah, jangan berpikir macam-macam. Fokus saja mencari bukti jika kamu tidak bersalah,” sahut Utari setelah lama terdiam. Kemudian, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan langkah dengan terburu-buru, seolah sengaja menghindar. Syera yang merasa belum puas atas jawaban Utari bergegas mengejar wanita paruh baya itu. Ia ingin mendapatakan kejelasan sekarang juga. “Justru
Sontak saja, Syera langsung mengubah posisinya menjadi duduk sembari mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Ia menatap lelaki yang sedang sibuk membereskan sesuatu di lantai, tepat di samping ranjang yang ditempatinya. Jika dilihat dari penampilan lelaki itu, sepertinya dia adalah seorang dokter. Dan alat-alat yang lelaki itu bereskan juga merupakan peralatan medis. Menyadari itu, Syera segera bangkit dari ranjang dan membantu dokter itu. “Maaf, aku tidak sengaja menjatuhkannya dan membuat gaduh. Kamu jadi terbangun. Tapi, aku malah senang karena aku bisa melihat mata indahmu. Ternyata istri baru Tama secantik ini, pantas saja dia menyembunyikanmu,” tutur dokter tampan itu serampangan. “Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Dareen. Kamu Syera, ‘kan?” Syera yang masih terkaget-kaget melihat sikap mengejutkan dokter bernama Dareen itu tetap membalas uluran tangan lelaki itu. Nyawanya masih belum terkumpul dan dirinya malah disuguhi dengan sikap aneh dokter yang menangan
Kalimat terakhir yang Tama bisikkan tepat di samping telinganya membuat jantung Syera berdebar keras. Belum lagi dengan pelukan erat lelaki itu di perutnya. Syera mengerjapkan matanya berulang kali, meyakinkan diri jika yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Syera tidak berani menoleh ke belakang sama sekali. Untuk menggerakkan tubuhnya pun, dirinya tidak berani. Apalagi ia juga merasakan embusan napas panas Tama menerpa tengkuknya. Bisa diperkirakan seberapa dekatnya jarak di antara mereka saat ini. Syera berdeham pelan, berusaha kembali mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. “An-anda harus makan dan minum obat, Tuan. Aku juga harus mengecek Elvina, siapa tahu dia terbangun dan aku tidak ada di sana.” Bukannya menurut, Tama malah semakin mengeratkan rangkulannya pada perut ramping Syera. “Diamlah, aku tidak lapar. Aku hanya ingin tidur, temani aku sebentar saja di sini.” Syera yang biasanya selalu memberontak tak bisa berkutik lagi karena permintaan tersebut. Entah kenapa rasa ibany
Syera yang baru saja terjaga kembali dibuat terlonjak ketika tubuhnya ditarik paksa oleh Rebecca—ibu mertuanya. Wanita itu meringis pelan ketika lututnya bergesekan dengan lantai dan sepertinya sedikit terluka. Rebecca menghempas lengan Syera yang diseretnya, kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sedang membersihkan kotoran dari sana. “Semakin hari, tingkahmu semakin berani saja! Kamu pikir setelah putraku menikahimu, kamu bisa menjadi nyonya di rumah ini?” Syera yang tak terima atas perlakuan buruk Rebecca langsung berusaha bangkit dari posisinya. Dihiraukannya nyeri yang bersarang di lututnya. Sebelumnya ia tidak sempat melakukan perlawanan, tetapi sekarang tidak lagi. “Apa Anda tidak bisa bertanya baik-baik dulu sebelum melakukan sesuatu, Nyonya? Perlu Anda tahu kalau aku tidak seperti yang Anda tuduhkan. Aku tidak pernah memggoda siapa pun! Putra Anda sendiri yang memintaku menemaninya di kamar ini semalam.” Syera tak menyangka paginya kali ini akan menjadi suram karen