Share

Episode 6

Palidase hitam berhenti tepat di halaman rumah keluarga Pramono. Mereka terkejut, mobil siapa sebagus itu? kalau di pikir-pikir, Arum tidak pernah mengajak seorang teman yang memiliki mobil mewah – terlihat berkilau secara keseluruhan.

Laki-laki dengan pakaian rapi menghampiri pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, raut pria paruh baya tadi terlihat heran.

Di saat pemilik mobil palidase tepat berdiri di hadapan tuan rumah, barulan ayah Arum mengenali siapa lelaki rapi tersebut. Adnan. Entah gerangan apa yang membuatnya mengunjungi keluarga Pramono, setelah lima hari kedatangan Hana.

“Assalamualaikum, Pak.” Sapa Adnan tersenyum tipis.  

Lalu disambut oleh pemilik rumah, “Walaikumsalam.” Mereka saling bersalaman.

“Kamu sendirian, Nan?” pak Pramono memastikan, Ia juga tak mendapati Hana datang bersama Adnan. Dan dijawab anggukan saja oleh pria itu.

Kemudian mempersilahkan tamunya duduk.

“Ada apa ya?” imbuh pria paruh baya lagi, pertanyaan yang mengganggu pikiran sejak kedatangan Adnan.

“Pak. Saya ingin bertemu gadis yang akan menjadi calon istri saya.” Adnan merasa tidak enak menyebut nama perempuan di depan ayahnya, apalagi perempuan itu nanti bergelar sebagai istri ke-dua.

“Maksud kamu Arum? dia lagi sibuk di toko. Sebentar bapak telepon dulu” hendak beranjak.

“Tidak usah, pak. Biarkan saja. saya tidak mau menganggunya. Saya kesini cuma ingin memberitahu bahwa saya bersedia menikahi Arum, jika dia siap. Bapak juga tahu dibalik pernikahan ini bagaimana. Yang jelas, saya telah menyetujui. Kembali pada Arum, pak. Apa dia yakin?” sebenarnya pria ini merasa bersalah, sama saja ia menyakiti dua perempuan sekaligus.

Pak Pramono terdiam sesaat, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, lelaki di hadapannya ini adalah pria baik. Bahkan sangat baik. Akan tetapi, Arum telah memilih Reyhan sebagai pasangannya kelak.

“Begini, Nan. Bapak tanya Arum dulu, ya.”

Adnan mengerti apa yang dibicarakan pak Pramono, bagaimanapun gadis itu adalah anaknya. Pasti sangat bimbang untuk menerima pernikahan konyol ini. meski negara dan agama memperbolehkan, tetap saja yang namanya manusia tidak bisa adil.

***

Waktu yang dijanjikan Hana di hari pertama kunjungannya, tiba pada hari ini. Sengaja ia mengajak dua gadis kecil yang sedari tadi mengoceh dan bertanya mau kemana. Tepat di halaman rumah keluarga Pramono, Hana yang tampak pucat menggandeng Ayanna dan Anthea di sebelah kanan dan kiri.

Dari rumah, Arum melihat istri Adnan sedang melangkah kearahnya. Terlintas di pikiran, kalau ia merasa dipermainkan. Bagaimana tidak! kemarin Adnan sendirian datang, beralasan siap menikahinya. Selang dua hari, sang istri yang berkunjung, membawa anak pula.

Sedangkan hari di mana Reyhan akan melamarnya juga semakin dekat, sungguh membuat Arum ingin lari saja dari rumah ini. kehadiran Hana dan keluarganya, seperti pengecoh perasaan dan pilihan putri Pramono.

Gadis mungil kembar begitu lucu, mulai menanyakan sesuatu pada Arum. dengan senang hati Arum meladeninya, meski ada pertanyaan membuat ia terdiam-tak bisa menjawab.

“Bagaimana, Rum?” Hana menyela disaat Arum sibuk dengan Ayanna dan Anthea.

Perempuan pemilik gingsul pun mengangkat pandangan, menatap mata sayu Hana. Terlihat cahaya wajah istri Adnan tak seterang minggu kemarin.

‘Apa kondisi mbak Hana semakin menurun?’ benak Arum.

“Apanya, Mbak?” spontan Arum menjawab, mungkin terlupa masalah pernikahan itu.

“Menikah dengan mas Adnan.” Hana memperjelas.

Sepasang mata putri Pramono bergantian menatap si kembar dan ibunya. Dirinya kembali berbicara dengan diri sendiri, berkutat dalam pikiran.

‘Bukankah mbak Hana mendahului tuhan? Kenapa dia yakin sekali ingin menikahiku dengan suaminya, apa dia juga yakin tidak bisa sembuh? Tetapi, penyakit itu hanya kecil kemungkinan sembuh total. Atau memang aku membaca artikel yang salah.’ raut Arum tampak linglung. Pula dirinya merasa kasihan jika benar-benar Ayanna dan Anthea kehilangan kasih sayang seorang ibu.

Keraguan yang tampak, tak lepas dari sorot mata hitam Hana. Ia tahu kalau gadis cantik ini belum yakin. Setidaknya ia telah berusaha, mungkin tuhan memberikan jalan yang terbaik meski berbeda.

“Arum pikir dulu ya, mbak. Beri Arum waktu seminggu lagi.” Istri Adnan mengiyakan, mungkin waktu yang diberikan kemarin belum cukup. Tidak mudah mengambil keputusan sulit  dalam jangka waktu tujuh hari.

“Baiklah. Mbak minggu depan ke sini lagi. Mbak harap mendengar kabar baik.”

.

.

Selepas Hana dan anaknya berkunjung dari rumah keluarga Pramono, malamnya Arum menerima telepon dari perempuan yang meminta dipanggil ‘bibi’ saja. Arum tidak tahu pasti siapa dia. Bibi memberitahukan kalau majikannya kembali dirawat, tubuh sakit itu begitu lelah, meski sudah beristirahat.

Si bibi dibuat bingung, hubungan perempuan yang ia telepon dengan sang majikan. Ia hanya melakukannya sesuai pesan Hana sebelum ke rumah sakit.

Arum dan keluarganya berencana esok hari menjenguk Hana, sekarang sudah larut malam. Disana juga tidak mungkin Hana sendirian, pasti Adnan bersamanya. Apalagi mereka mendengar bahwa pihak rumah sakit menyegani keluarga Wijaya.

‘Semoga keputusanku sudah benar’ Arum berulang kali mengucapkan kalimat itu dalam hati.

Sebelum langit memperlihatkan kecerahannya, Arum sama sekali tidak bisa memejamkan mata. perasaan yang dipenuhi rasa bimbang, selalu mengusik. Apa ia harus menerima lamaran Hana? Bukannya Adnan juga menyetujui ini? mengingat kebahagiaan si kembar bersama sang ibu. Apa ia tega membiarkan anak kecil kehilangan kasih sayang? Hana memilihnya bukan tanpa alasan, pasti sudah memikirkannya dengan masak. Tetapi ia belum pernah mengenal sosok calon suaminya.

‘Karena ayah menerima lamaran mbak Hana, mungkin ini yang terbaik buatku. Ayah tidak akan membiarkan anaknya sakit, bukan? Apa aku terima saja pernikahan ini? aku tidak boleh egois juga. Bagaimana aku bisa bahagia bersama Reyhan, kalau ada anak kecil malang di depan mataku. Anak kecil belum memahami kehidupan yang sebenarnya.’

Arum telah memberi keputusan, ternyata tak perlu waktu satu minggu. Kambuhnya penyakit istri Adnan berhasil menyentuh nurani putri Pramono. Ia tidak ingin menjadi perempuan egois, mengutamakan kebahagiannya sendiri, lalu menelantarkan sosok gadis mungil yang masih sangat membutuhkan perhatian. Ditambah Hana sangat mempercayainya.

Ketika pagi menyambut, Arum mencari keberadaan sang ayah, ia teringat kalau hari ini orang tuanya akan menjenguk Hana di rumah sakit. Sedikit tergesa Arum melangkah. Dirinya harus memberitahukan - ia menerima lamaran tersebut.

Tampak laki-laki di teras rumah tengah menikmati teh hijau, ditemani koran pagi yang baru diantar seperti biasanya.

“Ayah belum berangkat menjenguk mbak Hana?” dari belakang Pramono Arum bertanya. Pria itu menoleh sesaat.

“Sebentar lagi, setelah teh ayah habis.” Ayah Arum belum tahu maksud basa-basi anaknya, lalu kembali membaca.

Kelihatan sekali gadis cantik berkerudung ini sedang ragu, bibirnya kelu. Hanya menyampaikan persetujuannya saja terasa sulit. Arum menghela napas, mengendalikan kegugupannya.

“Arum menyetujuinya” singkat si gadis, sontak Pramono memalingkan pandangan dari koran yang di pegang.

“Maksud kamu?” Pramono belum paham, pikirnya tidak mungkin kalau Arum memberikan jawaban dalam satu malam.

“Menerima lamaran mbak Hana.” Cicit Arum menunduk. Entah dari mana datangnya rasa malu putri Pramono.

‘Apa aku terlihat perempuan gampangan? Menerima pinangan dari istri calon suamiku kelak?’ pikir Arum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status