Kabar gembira sudah tersampaikan ke telinga Hana, juga keluarga Adnan. Bagaimana keluarga Wijaya bisa menyetujui pernikahan ini? di balik itu semua, ada perbincangan yang hanya diketahui pihak mertua dan menantu. Entah sejak kapan, pastinya Adnan tidak tahu.
Satu bulan lamanya, kondisi istri Adnan belum menunjukkan perubahan yang benar-benar menyatakan bahwa tubuh itu pulih. Namun, ia memaksa untuk ikut hadir dan melihat langsung pernikahan Arum dan sang suami.
Polesan lipstick bisa menutupi bibir pucatnya.
“Han. Kamu tidak masalah?” istri Wirahardi menatap lembut Hana, dirinya tampak tidak tega melihat perempuan baik sebagai menantunya ini.
“Aku baik-baik saja, Ma.” Sahut Hana menenangkan, kentara senyum palsu yang tercetak pada wajah putih itu.
Hana sangat tahu keluarga dari Adnan begitu menghargai dan menyayanginya, terlebih Wirahardi yang lembut ketika berbicara, menganggap layaknya Hana memang putri kandung keluarga mereka. Meski ada beberapa kerabat mereka menyesalkan keputusannya.
Merelakan suami demi kepentingan sendiri, kata yang terus menganggu istri Adnan.
‘Bodoh? Biarkan kata itu dilemparkan padaku. Bahkan kerabat sendiripun menjelekkanku. Mungkin aku kurang baik dimata mereka’ pikir Hana ketika melangkah menuju kamarnya. Bermaksud menemui sang suami.
Disaat pintu kamar terbuka - menampilkan sosok laki-laki gagah di depan cermin. Hana mengulas senyum. Namun, fokusnya teralih pada dua gadis mungil yang mengenakan baju serupa. Ayanna dan Anthea cantik sekali.
Adnan dan Hana belum memulai percakapan, mereka memilih mengobrol dengan pikiran masing-masing. Satu hari lalu putri mereka genap tiga tahun, dan pernikahan sesuai rencana. Hana berkeringat, sedikit nyeri dibagian tertentu tubuhnya.
Lalu Adnan duduk pada tepian tempat tidur. Terlihat kesedihan bercampur rasa marah pada wajah yang terus menatap Hana. Hana pun enggan memandang Adnan di sana, ia takut tidak bisa menahan air mata. Seolah disibukkan dengan kedua anaknya yang mengoceh, bercerita ketika dijaga sang nenek dan kakek.
“Han. Apa kamu sudah memikirkannya lagi?” Adnan membuka suara. Ia masih tak habis pikir. Ide gila macam apa ini! dirinya tahu bagaimana sakitnya di madu.
Hana menoleh sesaat, kemudian mendekat. Duduk disamping Adnan yang sudah mengenakan pakaian pernikahan. Memegang tangan suaminya.
“Mas. Aku baik-baik saja. Pernikahan ini sudah aku pikirkan sejak lama. sebelum anak kita genap tiga tahun. Dan sesuai janjiku yang akan mencarikan perempuan terbaik untukmu.” Hana berusaha menahan air mata, sejak tadi mendorong ingin keluar.
“Arum perempuan baik, Mas. Terimalah dia sebagai istrimu juga.”
Adnan menghela napas. “Baiklah aku akan lakukan sesuai permintaanmu. Tapi satu hal. Aku tak bisa mencintainya sebagaimana aku mencintaimu.”
Obrolan mereka terhenti ketika suara pintu diketuk beberapa kali. Hana merasa lega, sedari tadi ia ingin istirahat barang sebentar. Tubuhnya mulai menunjukkan kelelahan. Sedikit berkeringat.
Seseorang memanggil pengantin pria untuk segera bersiap dan acara akan segera di mulai. lalu Hana menyuruh Adnan keluar lebih dulu, kemudian mengajak ke-dua putrinya keluar dari kamar.
Ikatan sakral berupa ijab qabul terdengar jelas di ucapkan pengantin laki-laki. Setelah itu barulah pengantin wanita menuruni tangga dalam balutan baju yang senada dengan Adnan. Arum adalah gadis cantik berumur 25 tahun. Seorang pemilik toko kue terbaik di desanya. Ia juga memiliki satu cabang lagi di kota.
.
Satu per satu para tamu berpamitan sesudah bersalaman dengan sepasang suami istri yang baru menikah. Raut tak bahagia Adnan jelas terlihat, ia benar-benar ingin lekas selesai dan istirahat.
Sesekali Arum mencuri lirikan pada laki-laki disampingnya, sedang menatap sedih perempuan dan dua gadis kembar di sana. Selain Reyhan, Adnan merupakan laki-laki lain yang pernah sedekat ini dengannya. Ia pun mengikuti arah pandang Adnan, ternyata mengamati gerak-gerik Hana dan Wirahardi meladeni Ayanna dan Anthea. Tak jarang rasa bersalah menghampiri putri Pramono.
Perhelatan telah selesai, Arum mendatangi kamar yang disiapkan untuknya. Sementara itu, tuan rumah ini kembali ke kamar utama, di mana tempat Hana dan dirinya berbincang. Ketika Adnan melangkah, Hana menyusul. Ia juga ingin berpamitan.
Di kamar itu, perempuan cantik yang menyandang status istri pertama tengah membantu sang suami berganti pakaian.
“Mas. Aku dan anak-anak malam ini menginap di rumah ibu saja ya” Hana berkata pada suaminya, sembari membantu melipat dan merapikan pakaian pernikahan Adnan tadi.
“Tidak, Han. Ini rumah kita. Kenapa kamu menginap disana?” Perempuan berjilbab itu tak menjawab. Ia langsung meninggalkan Adnan di kamar. Menyisakan senyuman yang terus terlukis dalam bayangan putra Wijaya.
Semakin malam rumah tampak sepi. Keluarga Arum sudah berpamitan untuk pulang. Hana meminta pernikahan dilaksanakan di rumahnya, tidak ada yang tahu maksud keinginan putri Hasan. Biarlah… mungkin ini salah satu kebahagiaan untuknya.
Sementara Arum tengah sendirian di kamar sebelah, menunggu pria berstatus suaminya. Harapan besar putri Pramono adalah Adnan tak akan pernah muncul, apalagi malam ini… Arum enggan membayangkan.
Jika boleh bersuara dan berpendapat, Arum tidak ingin menerima perjodohan - bisa di katakan perjodohan sesat. Terlebih ia tak pernah mengenal bahkan melihat wajah Adnan.
Pukul telah menunjukkan angka sebelas, artinya malam semakin larut. Adnan tak kunjung menghampirinya. Arum sangat-sangat bersyukur, ia pikir tak perlu melakukan kewajiban sebagai istri. Ia juga berharap Adnan tak akan pernah meminta hak-nya.
‘Apa itu mungkin?’ sisi lain dalam dirinya seolah menepis. Mengacau bahwa Adnan tetaplah laki-laki pada umumnya.
.
.
Tinggallah pasangan pengantin baru - Adnan sedang memikirkan cara mereka berinteraksi kelak. Walaupun pernikahan ini agak terpaksa, setidaknya ia bisa menghargai gadis malang di kamar sebelah. Jujur saja, Adnan merasa bersalah. Ia seperti laki-laki perenggut anak gadis tak berdaya.
“Tidak. Dia sudah dua puluh lima tahun. Sewajarnya dia menikah” pria itu membenarkan. Ia pun beranjak - menemui perempuan kamar sebelah.
Seketika Arum mendengar derap langkah yang mendekat.
‘Sepertinya dia akan kesini’ benak putri Pramono.
Bergegas ia menarik selimut hingga hampir menutupi seluruh tubuh, ia akan berpura-pura tidur untuk menyelamatkan diri malam ini saja.
Ketika Adnan membuka pintu, kamar Arum sudah gelap dan hanya ada lampu tidur. Terlihat perempuan di sana telah terlelap.
“Besok saja aku membicarakannya” kemudian Adnan menutup pintu itu kembali.
Lenguhan dari gadis dibalik selimut seolah bersyukur, ia mengira Adnan akan pergi begitu saja. Akan tetapi, lelaki tersebut masih berdiri di depan pintu. Masih meyakinkan hatinya untuk berbicara sebentar kepada Arum.
Seketika pintu terbuka kembali, tak ada kesempatan bagi putri Pramono untuk bersembunyi atau pura-pura tidur. Wajahnya terkaget, sama halnya dengan Adnan. Pria itu tak tahu apa penyebab keterkejutan Arum.
“Ma-maaf. Apa saya mengganggu?” tanya Adnan, masih berdiri di tempat.
“Ada apa ya?” Arum juga merasa hawa asing nan canggung di sini.
“Itu, mmm… ada yang ingin saya bicarakan padamu.” Adnan tampak bingung. “Boleh saya sedikit mendekat? Saya masih berdiri kok, tidak bermaksud apa-apa. Sekedar nyaman saat bicara denganmu.” Jelas lelaki yang telah menjadi suaminya.
“Baiklah.”
Gadis yang masih berpakaian lengkap duduk di atas tempat tidur, menunggu Adnan memulai pembicaraan. Melihat dari gerak-gerik Adnan, ia juga begitu canggung, sama seperti Arum.
“Mmm… saya ingin mengajak…”
“Arum. Panggil Arum saja” potong putri Pramono. Adnan terlihat kebingungan memanggilnya.
“Arum. Saya ingin meminta bantuan padamu.” Wajah si istri serius, setia mendengarkan. ‘Aduh, aku tidak enak jadinya’ lagi-lagi Adnan bingung, menggaruk kepala belakang.
“Begini. Bisakah kamu berlaku layaknya istri di depan Hana? Ku pikir dia ingin melihat kita akur, bukan berarti kita musuhan. Maksud saya…” Adnan benar-benar seperti orang bodoh. Di mana keberaniannya selama ini. Mengucapkan nama penyakit saja yang lancar.
“Iya, saya mengerti.” Pungkas perempuan di sana.
Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kec
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men
“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Apa yang dirasakan jika sesuatu yang asing pertama kali menyentuh? Campur aduk? Benar. Seperti gelenyar berbeda membuat jantung berdegup diluar batas wajarnya. Arumi masih terdiam di antara cahaya lampu dapur, sengaja paling redup dihidupkan. Tenggorokannya tiba-tiba kering, alhasil menghabiskan satu gelas air putih. Istri baru Adnan ini celingukan, memantau pria tanpa penjelasan memeluknya beberapa menit lalu. ‘Apa dia tidur di kamar anak-anak?’ Arumi menebak, bisa saja tebakannya meleset, bukan? Arum melewati pintu kamar, di mana Ayanna dan Anthea terlelap. Kalau digambarkan, pada lantai dua rumah Adnan ada tiga kamar, ujung paling kanan adalah kamar khusus pria itu dan istri terdahulu, Hana. Sisi paling kiri sengaja di rapikan sebelum Arum menempatinya. Dan di tengah merupakan kamar tidur si kembar, Hana berpikir mereka tak perlu jauh-jauh kalau-kalau mendengar si kembar merengek. Jadi, untuk menuju kamarnya, Arum harus melewati kamar tengah. Sesaa