Share

Istri Rahasia Tuan Presdir
Istri Rahasia Tuan Presdir
Penulis: naftalenee

BAB 1. Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

"Maaf, Sayang.”

Suri menatap pria yang beberapa tahun terakhir ini menjadi suami sirinya. Pria yang biasanya begitu gagah nan memesona itu kini terlihat tak berkutik karena kemarahan Suri akibat permintaannya yang tidak masuk akal. 

“Maaf? Untuk apa?” Suri berdecih sengit. Matanya menyorotkan kobaran api kemarahan yang menggelegak.

“Suri, tolong mengerti.” Pram gentar. Suaranya gemetar. “Mas juga terpaksa melakukan ini." 

Suri tertawa sinis mendengar alasan Pram yang tidak masuk akal baginya. “Kamu terpaksa menerima perjodohan itu, lalu dengan sadar ingin menelantarkanku, begitu?" 

Pram mendongak dengan cepat dan memandangnya dengan pandangan tak percaya. Wajah Suri yang memiliki kulit cerah itu terlihat memerah. Ia terlalu marah dengan kabar yang diterimanya barusan.

Niatnya, setelah menyelesaikan sidang tesis dan dinyatakan lulus oleh para dosen siang tadi, Suri yang berdomisili di Yogyakarta itu langsung memesan tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta. Setahun terakhir, mereka memang hidup berjauhan. Pram dengan pekerjaannya, sementara Suri menyelesaikan pendidikan S2-nya. Sebuah berita bahagia pun sudah Suri siapkan untuk Pram. Namun, semua hal yang telah ia siapkan nyatanya gagal, karena justru Pram-lah yang lebih dulu mengejutkannya. Pria itu meminta izin untuk menikahi wanita pilihan orangtuanya.

"Hanya itu satu-satunya cara supaya Mas dapat jatah warisan, Ri.” Pram menggenggam kedua tangan Suri erat-erat. Pria itu memberikan tatapan memelas yang nyaris membuat sang istri luluh. “Mas janji, Mas akan tetap jadi milikmu. Mas nggak akan menyentuh Melisa—" 

"B*jingan kamu, Mas!” 

Suri menyentak tangannya kuat-kuat dan bangkit dari sofa, membuat tubuh Pram hampir terjengkang. Sebagai seorang istri, Suri tidak terima. Ia telah sabar menanti janji sang suami untuk meresmikan pernikahan mereka yang selama ini disembunyikan dari siapa pun, termasuk bersedia untuk dinikahi siri oleh pria itu. Namun, nyatanya janji tersebut hanyalah janji. 

Pram kembali mendekati Suri.  "Suri, tolong—" 

"Sudahlah, Mas," sergah Suri yang mulai lelah. Wanita itu tahu, kalau inilah akhir dari penantian dan kesabarannya. Suri tahu, dirinya tidak akan pernah menang jika melawan orang tua Pram. Ditambah lagi, jika sang suami yang juga tak berani memperjuangkan pernikahan mereka. "Pembicaraan ini sama sekali nggak ada gunanya. Jadi, lebih baik kita berpisah saja." 

Suri bisa melihat wajah Pram memucat. Begitu kagetnya pria itu, sampai tubuhnya sedikit goyah karena tak menyangka permintaan yang barusan Suri layangkan. 

“Suri, ka-kamu??” tanya pria itu dengan wajah tak percayanya.

Suri dengan berani menatap nyalang pada Pram. "Kenapa kaget? Bukannya kamu memang bermaksud ingin cer—" 

"DIAM!" Pram bergerak ke arah Suri seperti kesetanan. Pria yang matanya mulai memerah itu bahkan mengguncang-guncang tubuh sang istri dengan rahangnya yang mengetat. "JANGAN PERNAH SEKALI-KALI KAMU BERANI MENYEBUT KATA ITU!" 

Suri memberontak dari cengkeraman tangan Pram yang kuat di kedua bahunya. Wajah terluka dan tidak percayanya ia tunjukkan pada Pram. Pria yang selama ini begitu lembut memperlakukannya, ternyata bisa berubah seperti serigala karena amarah. Saat tangan Pram akhirnya terlepas, tubuh Suri langsung meluruh ke lantai.

Napas Suri menjadi sesak. Ketakutan hinggap di wajahnya melihat Pram bertindak membabi buta.

Seolah sadar dengan reaksi di luar kontrolnya, Pram kemudian menetralkan wajahnya dan bergerak mendekati Suri yang meringkuk menatapnya. “Suri. Aku … aku nggak bermaksud … aku hanya kaget karena—"

"Jangan menyentuhku!” Suri menampik tangan Pram yang mencoba untuk meraihnya. “Apa yang aku katakan tadi juga bukan sekadar lelucon." Napas Suri tersengal usai mengatakan kalimat barusan. Seumur hidupnya, tidak pernah sekalipun ia bermimpi meminta cerai dari pria yang begitu dicintainya ini.

"Dua tahun, Suri. Bersabarlah dua tahun. Tunggu aku, setelahnya kita bisa kembali berjuang bersama-sama.” Pram memelas suara dan mimik frustrasinya. 

Suri menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Kesabarannya sudah tidak bisa diperpanjang lagi. Meski dua tahun bukan waktu lama, tetapi Suri sadar jika posisinya nanti akan serba salah dan lemah. Bagaimanapun, ia hanyalah istri siri yang bahkan tidak diketahui oleh orang tua Pram. Suri tidak sanggup berbagi suami, juga membohongi hati.

"Aku muak dengan janji-janji palsumu, Mas. Sekarang, pilihanmu hanya dua.” Suri menarik napasnya dalam-dalam dengan tatapan terfokus pada Pram. “Batalkan pernikahan itu dengan mengenalkanku pada orang tuamu, atau silakan nikahi dia dan ceraikan aku.” 

“Suri, aku mohon padamu. Aku tidak bisa memilih. Bagiku, kamu dan perintah orang tuaku sama pentingnya.”

Suri kembali berdecih mendengar jawaban Pram atas dua pilihan yang ia ajukan. "Aku atau warisanmu yang penting, Mas?" Dalam kepalanya, wanita itu yakin jika Pram memang lebih berat pada warisan yang dijanjikan akan turun pada pria itu jika ia mau menikahi Melisa. Namun, Suri tak menyangka … Pram ternyata begitu egois dan rakus. Pria itu ingin memiliki semuanya; harta warisan, juga dirinya. 

Keegoisan Pram yang enggan melepas Suri itu masih berlanjut, bahkan sampai kepada Pram yang mengungkit segala hal yang pernah ia berikan pada Suri.

"Jangan munafik, Ri!" Pram menatap Suri dengan aura sinis yang mulai memancar. "Selama ini, kamu juga ikut menikmati semua uang orang tuaku. Kamu pikir, biaya kuliahmu, nafkah yang kuberi ... Dari mana semua itu berasal kalau bukan dari orang tuaku?!"

Segala biaya yang pernah pria itu keluarkan sebagai nafkah pada istri kembali pria itu ungkit. Hal tersebut kembali memantik amarah Suri. Di saat hubungan meraka tengah di ujung tanduk, Pram justru mengungkit soal harta, bukan berjuang untuk perasaan yang ada di antara mereka berdua.

“Mas Pram tenang aja, aku bisa balikin uang yang Mas sebutkan barusan sekarang!” tegasnya.

Suri sudah bersiap akan hal ini. Ia tahu suaminya terbiasa hidup di bawah ketiak orang tua. Selama menjadi istri Pram, meski dimudahkan dalam soal keuangan, nyatanya Suri tidak sekali pun menyentuh uang itu. Wanita itu kemudian membuka tasnya guna mencari sebuah kartu yang menjadi tujuan Pram mentransfer segala kebutuhan.

Ketika merogoh isi tas tersebut, mata Suri tertuju pada satu benda pipih yang dibungkus pita merah muda yang sempat ia lupakan. Benda yang seharusnya jadi kejutan manis untuk Pram-nya. Namun, Suri mengurungkan diri menunjukkan benda pipih itu pada Pram dan segera meraih kartu ATM yang dicarinya. 

“Ini uangmu!” Suri melemparkan kartu ATM tersebut ke wajah Pram.

"Suri—" 

Ekspresi wajah Suri dingin, tak gentar menghadapi Pram yang terus menampilkan ekspresi memelas. Seolah kartu ATM itu belum cukup, Suri pun meraih ponselnya dan menggulirkan jarinya di atas layar. 

“Semua uang yang kamu berikan, ada di situ.” Dengan gemetar, kemudian ia tunjukkan layar ponsel Suri yang tengah berada di laman mobile banking, menunjukkan bukti transfer telah berhasil. “Termasuk uang nafkah yang kamu berikan padaku setahun terakhir ini.”

Setelahnya, tanpa peduli Pram yang masih membatu di hadapan, Suri pun memutar tubuhnya. Tak lupa, ia raih lagi koper yang tadi ia bawa. Saat langkah Suri makin mendekat ke arah pintu, Pram kembali berseru.

"Suri, tunggu!" 

Suri tidak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan menggeret serta koper menuju pintu keluar, saat kemudian terdengar suara dering panggilan masuk yang berasal dari ponsel pria itu. 

Suri menolehkan kepalanya, dan menemukan Pram tengah memaki si penelepon itu. Meski begitu, pria itu akhirnya tetap menjawab panggilan tersebut dengan suara lembut.

"Halo, Mel. Ada apa?" 

Suri tertawa miris dalam hati. Lihatlah bagaimana raut wajah Pram begitu cepat berubah. Wanita yang disebut Pram sebagai ‘Mel’ adalah calon istri barunya. Melihat senyuman yang pria itu berikan ketika menerima telepon dari wanita barunya, entah itu palsu atau bukan ... Kentara sekali pria itu tidak seenggan ucapannya dalam menolak pernikahan ia dan wanita barunya itu.

Dengan rasa kecewa dan marah yang begitu besar, Suri menutup pintu apartemen Pram. Keputusan yang diambil Suri kali ini sungguhlah tepat. Ia tidak ingin berjuang sendiri dan memilih meninggalkan Pram yang enggan berjuang. Dalam pikiran Suri, ia pun bertekad untuk mengasingkan dirinya sejauh mungkin dari pusaran masa lalu. Gedung apartemen ini, kota ini, juga hal-hal yang erat kaitannya dengan pria itu ... Sudah ia putuskan untuk ia lupakan.

Lift yang membawa Suri turun dari lantai kamar Pram telah sampai di lobi. Saat pintu terbuka, Suri dengan pandangannya yang hanya melihat ke bawah, berjalan tanpa tenaga. Namun, langkah lemahnya tiba-tiba berhenti saat sepasang sepatu pantofel pria yang mengilat dan berhenti di hadapannya dan menghalangi jalan keluar.

"Butuh bantuanku, Nona?" tanya pria itu dengan suara baritone-nya.

Suri sontak mendongak mendengar suara yang tidak asing di telinganya dan terpaku melihat sosok di hadapannya. Dengan air mata yang tergenang di pelupuk mata, ingatannya kembali ke masa lalu. Pria ini... yang pernah begitu kukuh melarangnya untuk menerima pinangan Pram setahun lalu.

"Adnan?"

naftalenee

Halooo... aku datang bawa cerita baru nih!!🤩🤩🤩

| Sukai
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
mantaapp sekali ceritanya
goodnovel comment avatar
Hanik Suyanti
baru nyimak...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status