Windraya menatap Ranum, yang tertunduk. “Pulanglah. Kita bicarakan ini di rumah saja,” suruhnya pelan. Windraya belum bisa berpikir jernih untuk saat ini.
“Aku sudah menyuruh Wawan menjemputmu kemari,” ucap Windraya lagi, kemudian duduk di kursi tunggu. Dengan setengah membungkukkan badan, pengusaha yang makin terlihat matang di usia menuju kepala empat tersebut menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
“Maafkan saya, Pak,” ucap Ranum penuh sesal, seraya duduk di sebelah Windraya yang tampak galau.
“Kenapa harus meminta maaf?” Windraya menoleh sekilas.
“Saya ….” Ranum tak melanjutkan kata-katanya. Dia memilih diam, dengan wajah tertunduk. Ranum tak bisa berbuat banyak untuk kehamilannya.&
Ranum terpaku mendengar ancaman yang dilayangkan Mayla. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian, wanita yang tengah mengandung tujuh bulan tersebut menyunggingkan senyum tipis. “Lakukan apa pun yang ingin Anda mau, Bu Mayla. Saya tidak peduli. Namun, jangan berharap saya mengakui kejahatan yang tidak pernah dilakukan. Apalagi terhadap Bu Nindira. Ini konyol.”Mendengar ucapan Ranum yang tak terpengaruh dengan ancaman tadi, membuat Mayla cukup terkejut. Wanita cantik itu menatap tajam, sambil terus memutar otak. Dia harus mencari cara lain, untuk menggertak istri kedua sang suami. Mayla tersenyum kecut. Namun, raut wajahnya telah kembali tenang dan menyiratkan sesuatu. “Baiklah, Ranum,” ucap Mayla kemudian. “Kamu tidak peduli pada adik yang berandalan itu? Tak masalah. Namun, coba kita lihat seberapa besar perhatianmu pada wanita ini.” Mayla memperlihatkan rekaman lain pada Ranum, yang membuat wanita muda itu kembali terpaku. “Ibu …,” ucap Ranum teramat lirih.“Wanita
“Apa maksud anda, Pak?” Ranum tak mengerti, atas apa yang Windraya katakan tadi.“Jangan berpura-pura tidak paham, Ranum,” balas Windraya penuh penekanan.“Saya memang tidak mengerti maksud anda —”“Kamu tidak perlu memahami apa pun. Cukup diriku yang begitu!” sergah Windraya, dengan nada bicara tak bersahabat.Ranum terdiam. Dia merasakan kemarahan luar biasa dalam setiap penekanan kata yang dilontarkan sang suami. Wanita itu mencoba memahami, dengan tetap bersikap setenang mungkin. Padahal, dalam dada ada gemuruh kencang yang sulit sekali dikendalikan.“Pak …,” ucap Ranum lirih, mencoba menenangkan Windraya dengan ke
“Bu ….” Ranum menatap sayu Ainur, yang tak terenyuh oleh kondisi putrinya. “Aku tidak akan meminta apa-apa. Aku hanya membutuhkan tempat untuk bernaung, sampai melahirkan bayi ini.”“Tidak bisa! Ibu tidak mau mendengar ocehan tetangga, yang pasti akan menggunjingkanmu. Ibu ingin hidup tenang!” tolak Ainur tegas. “Ibu bisa menerima segala hal yang Ridwan lakukan, meskipun salah. Namun, kenapa tak bersedia melakukan itu padaku?” protes Ranum tak mengerti. “Kalian berbeda!” tegas Ainur. “Apanya yang beda ….” Ranum tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Ridwan muncul lebih dulu di sana. Remaja yang tengah mengalami masa transisi itu berdiri sesaat, mendapati Ranum ada di rumahnya. “Mbak? Kenapa ada di sini?” Pertanyaan yang kurang pantas, dilontarkan Ridwan terhadap Ranum. “Mbak juga sedang hamil. Memangnya, Mbak Ranum sudah menikah?” Ranum yang sejak dulu ingin bicara langsung dengan sang adik, beranjak dari duduk. Dia menghampiri Ridwan yang masih berdiri dekat pintu. “Mbak jadi
Ranum bagai tersambar petir, saat mendengar pernyataan Ainur tadi. Wanita muda itu memegangi perut besarnya, lalu bergerak mundur perlahan. Dia menggeleng tak percaya. "Tidak mungkin," ucapnya lirih."Itulah kenyataannya, Ranum. Kamu adalah putri yang tak diinginkan oleh Miranti.""Miranti?" ulang Ranum pelan.Ainur mengangguk.Sementara Ranum menunduk. Menyembunyikan wajah cantik menyedihkan dari Ainur, wanita yang ternyata bukanlah ibu kandungnya. "Siapa Miranti?" gumam istri kedua Windraya tersebut.Ainur menyeka sisa air mata di pipi. Sekeras apa pun sikapnya terhadap Ranum, tetapi dia telah menjalani sebagian waktu bersama wanita muda itu. "Miranti adalah adik tiri Mas Yanto. Namun, dia memilih jalan yang salah. Miranti menjajakan tubuhnya kepada para pria hidung belang.""Ya, Tuhan," ucap Ranum teramat lirih."Beberapa tetangga di sini ada yang mengetahui siapa dia. Oleh karena itu, aku tidak mengizinkanmu tinggal di rumah ini. Terlebih dengan perut besar yang tak jelas siapa ay
Windraya menutup panggilan terakhir yang tak juga dijawab Ranum. Dia berpikir sejenak. Pria itu merasa heran karena tak biasanya Ranum mengabaikan pesan singkat, apalagi panggilan telepon darinya. “Ke mana dia?” gumam Windraya teramat pelan, seakan tak ingin terdengar Nindira. Akan tetapi, Nindira memperhatikannya sejak tadi. “Kenapa, Win?” tanya wanita paruh baya itu, lemah.. Windraya yang berdiri agak menjauh dari ranjang, menoleh. “Entahlah, Ma. Ranum tidak biasanya mengabaikan panggilan telepon dariku … aku akan menghubungi yang lain.” Pria itu berinisiatif menghubungi ke nomor lain di rumah. “Panggilkan Bu Ranum. Saya ingin bicara,” suruh Windraya, setelah seorang ART menjawab panggilan teleponnya.“Bukankah Bu Ranum ke rumah sakit, Pak?” ART itu justru memberikan jawaban yang di luar dugaan. “Apa? Sejak kapan?” tanya Windraya.
Celia berjanji akan mengantar Ranum nanti sore, setelah menutup toko. Selagi menunggu, Ranum membantu wanita itu di sana. Mengerjakan hal-hal ringan sebagai tanda terima kasih.Sementara Windraya memilih kembali rumah sakit. Dia merasa tak nyaman ada di rumah tanpa kehadiran Ranum. Pengusaha tiga puluh delapan tahun tersebut juga tak sabar menunggu kabar dari Marcell, yang tengah memastikan ke rumah Ainur.Sedan mewah ditambah penampilan rapi khas eksekutif muda, membuat Marcell yang memiliki paras oriental dan perawakan bak para model pria, jadi pusat perhatian. Ajudan kepercayaan Windraya tersebut harus mengabaikan rasa risi yang muncul, akibat tatapan para tetangga sekitar rumah ibunda Ranum.“Nama saya Marcelino Lie. Saya kemari untuk menanyakan keberadaan Bu Ranum —”
Sesuai rencana, Celia menutup toko lebih cepat. Dia mengajak Ranum ke apartemen tempat tinggal keponakannya. Wanita paruh baya itu mengendarai mobil pick up. Tak ada rasa risi atau minder, saat memarkirkan kendaraan tersebut di antara mobil-mobil mewah yang berderet rapi di tempat parkir khusus pengunjung.“Ini sangat kebetulan. Keponakan saya sedang ada di sini,” ucap Celia, seraya mengajak Ranum masuk. Sikapnya teramat luwes, saat menyapa para petugas lobi. Sepertinya, dia sudah dikenal oleh mereka. “Bu Celia sering kemari?” tanya Ranum, setelah berada dalam lift. “Tidak juga. Saya lebih senang menghabiskan waktu di toko. Biasanya jam tujuh atau jam delapan malam baru tutup,” jelas Celia, seraya menekan tombol dengan angka yang merupakan lantai teratas.“Tapi, Anda juga membuka toko pagi-pagi. Apa tidak lelah?” tanya Ranum sopan. Celia tersenyum kecil. “Mau apa lagi? Anak-anak saya sudah besar. Mereka memiliki kesibukan masing-masing."“Lalu, suami Anda?” tanya Ranum lagi.Celia
“Ba-Bandung?” ulang Ranum terbata.Bastian mengangguk tenang. “Saya membutuhkan juru masak baru untuk dipekerjakan di rumah. Bukan di sini,” jelasnya penuh wibawa. “Oh.” Ranum manggut-manggut. “Artinya saya akan ikut Anda ke Bandung?”“Jika kamu bersedia.”Ranum mengangguk setuju. “Saya membutuhkan pekerjaan. Jadi, tidak masalah akan ditempatkan di mana pun.” “Baiklah.” Bastian mengeluarkan telepon genggam dari saku celana cargo pendek yang dikenakannya. “Silakan lanjutkan.” Pria itu berlalu dari dapur, sambil menjawab panggilan telepon. Sepeninggal Bastian, Ranum mulai mengolah beberapa bahan yang sudah tersedia. Meskipun sedikit kesulitan karena kondisinya yang tengah hamil besar, tetapi dia tetap melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Namun, tiba-tiba ingatan Ranum tertuju pada beberapa waktu yang lalu, saat memasak berdua di apartemen milik Windraya. “Ah ….” Keluhan pendek meluncur dari bibir Ranum. Melakukan aktivitas sedikit saja, tubuhnya langsung merasa lelah. Namun,