Bab 7 Tuduhan membabi buta
Sementara itu Bening, waspada, matanya tak lepas dari kaca spion. Ia tahu, Ibra mengikutinya semenjak keluar Hotel Frangipani. Setelah merasa aman, barulah dia memutar motornya menuju Joli Flower.
Jam waktu itu menjelang magrib, Ismail dan Tanto sedang memasukkan bunga – bunga segar ke dalam toko. Hari ini, toko mereka tidak begitu sibuk. Ada 10 orderan rangkaian bunga dan sudah dikirim siang tadi.
“Malam…” sapa Bening, dia lalu masuk ke dalam kantornya yang tak begitu luas.
“Malam, Mba Bening. Kami mau pulang dulu, ya,” pamit Tanto, setelah selesai memasukkan semua bunga ke dalam. Lelaki kemayu itu memakai kuteks berwarna merah.
“Silahkan, saya mau di sini sebentar.” Bening melihat Tanto dan Ismail. “Awal bulan depan, Joli Flower menangani pernikahan anak Ibu Tieta Maheswara. Dia salah satu anak konglomerat dan pertanda baik bagi kita. Saya berjanji mau memberikan bonus dua kali lipat gaji pada kalian, tiap kita mendapatkan order besar, asal kalian giat bekerja membantu saya,” katanya semangat.
“Siap Bos.” Tanto dan Ismail kelihatan gembira sekali.
Selepas dua karyawannya pulang. Bening fokus di layar laptopnya membuat invoice untuk Ibu Tieta. Saat dia konsentrasi, lamat – lamat ia mendengar ada yang mendorong pintu kaca toko. Perempuan itu mendongak dan melihat Ibra berjalan ke arahnya.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bening bengis. Ia heran kenapa sepanjang hari ia bertemu dengan suaminya itu.
Ibra tidak menjawab, tangannya memutar layar laptop yang masih menyala. Matanya terbelalak saat melihat nominal invoice untuk Tieta Maheswara. “Wow! 300 juta! Hebat sekali kamu.! Aku tidak menyangka, istriku yang tuli bisa menghasilkan uang sebesar ini!” Ia lalu duduk di kursi kerja Bening.
Dengan muka kesal, Bening menutup laptopnya. “Pergilah! Sebelum aku berteriak maling!” ancamnya.
Ibra meringis. “Kita masih suami istri dan aku punya hak mengunjungi istriku.”
Bening mencoba menahan kemarahannya. “Aku tidak menyangka, ternyata kamu masih punya nyali menyebutku seorang istri, huh. Apa kamu tidak malu mengatakannya setelah semua yang kamu lakukan padaku, Mas?” jawabnya dengan suara yang terdengar ironis.
Bening menatap langit – langit. Kemudian melanjutkan kalimatnya lagi. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?”
Ibra melihat pakaian Bening. Wanita itu memakai baju blouse berwarna biru dongker dan tampak sangat pas di tubuhnya. Hasratnya meningkat tajam membayangkan bagian dalam tubuh istrinya.
“Start upku belum menghasilkan uang. Aku butuh membayar gaji karyawan dan vendor, juga untuk menafkahi Mama serta membiayai kuliah Ajeng. Aku butuh kamu! Kamu menghasilkan uang,” jawab Ibra terdengar bodoh. “Sekarang, aku butuh uang 30 juta untuk liburan Mama dan membayar UKT Ajeng. Kepalaku pusing mendengar rengekan Mama.”
Bening tertawa kecil. Semua sudah jelas sekarang kenapa lelaki itu mau mempertahankannya sebagai istri. “Maaf! Aku bukan sapi perah kalian! Selama ini, aku saja yang bodoh. Aku mau saja memberikan apa yang kalian mau. Tapi apa balasan yang kuterima?!!” Ia meluapkan amarahnya.
“Kenapa kamu pelit sekali sama suamimu. Aku lihat kamu tadi mendapat client besar, dan aku duga uangnya pasti besar. Uang 30 juta itu kecil bagimu.” Ibra tetap ngotot meminta uang.
Mulut Bening terasa kering. Urat – urat wajahnya menegang mendengar kata – kata Ibra. “Apa? 30 juta kecil! Bagimu mungkin kecil, tapi besar sekali bagiku. Aku bekerja berdarah – darah, supaya bisa ternotice oleh client. Enak sekali kamu datang dan meminta uang. Kenapa kamu tidak jual mobilmu saja, untuk membiayai gaya hidup hedon kalian. Daripada kamu datang meminta uang ke sini?!!”
Sakit hati yang dipendam Bening terlontar seperti bola api dan menghanguskan semua di sekelilingnya.
Emosi Ibra terseulut. Entah setan apa yang merasuki kepala Ibra. Lelaki itu langsung menampar Bening. PLAK! Kemudian badannya menindih wanita itu di lantai dan mau memperkosa istrinya. “Transfer aku uang sekarang atau kamu kuperkosa di sini!!”
“Tidak! Aku tidak akan mengirimkan uang sepersepun kepadamu!” Mata Bening menatap lantang Ibra. Dan mencari cara supaya terlepas dari cengkeramannya. Saat lelaki lengah. Cepat – cepat Bening menendang daerah vital Ibra.
Lelaki itu meringis kesakitan. Darahnya mendidih, giginya gemeretak menahan amarah. Beberapa detik kemudian, tangannya menyambar kursi lalu melemparkannya ke vas yang berisi bunga bunga – bunga kering. Vas – vas itu jatuh ke lantai menimbulkan suara keras. Pecahan kacanya berserakan di lantai.
PRANK
Rupanya, Ibra belum puas, secepat kilat tangan lelaki itu meraih laptop di atas meja dan membantingnya ke lantai. Setelah itu dia merusak semua property di Joli Flower dengan gagang sapu.
BRAK!!
Mata lelaki itu merah menyala dan menghancurkan semua yang dilihatnya. “Brengsek! Dasar istri durhaka. Apa ini yang kamu inginkan, hah!” Kakinya menendang ember – ember yang berisi air dan bunga segar yang baru datang tadi sore, kemudian kakinya enteng menginjak – injak bunga – bunga itu.
“Hentikan, Mas! Tolong hentikan!!” Bening berteriak sambil memegangi kaki Bening. Ia panik antara menyelamatkan diri dan menyelamatkan Joli Flower dari kerusakan lebih besar.
“Jika kamu tidak menuruti kemauanku, aku bisa lebih kejam dari ini! Beri aku uang sekarang!” Ibra semakin agresive merusak. Isi kepalanya hanya uang dan uang.
“Tidak aku, tidak tidak punya uang!” Bening ingat dengan tasnya. Secepat kilat ia mengambil ta situ dan memeluknya erat.
Ibra tidak percaya. Lelaki itu menyeringai dan dengan beringas, dia meraih tangan Bening dan memelintirnya dengan kasar.
“Aduh!” Bening mengaduh kesakitan. Tas dipelukannya terlepas dan menjatuhkan semua isinya ke luar berikut dompet yang berisi uang 5 juta Rupiah di dekat Ibra.
Buru – buru tangan Bening meraih dompetnya. Tapi kaki Ibra lebih cepat. Ia menginjak tangan Bening keras. Lelaki itu kemudian memungut semua uang yang ada di dalam dompet Bening.
“Kamu bohong kepadaku, Hah! Di sini ada uang 5 juta dan kamu bilang tidak punya uang!”
“Mas, tolong jangan diambil, uang itu untuk membayar vendor besok,” pinta Bening nyaris putus asa.
Lelaki itu tak menggubris dan menendang tubuh Bening ke samping. Tangannya mencengkeram tubuh Bening dan menatap istrinya dengan sorot mata kebencian.
Kemudian, Ibra meludahi wajah perempuan itu. Cuh! “Berani – beraninya kamu melawanku. Uang ini milikku sekarang!!”
Hati Bening teriris. Dia memejamkan mata dan mengusap ludah Ibra di mukanya. Dia lalu menatap nanar suaminya dan membalas sakit hatinya dengan menampar wajah lelaki itu.
PLAK!
“Kembalikan uangku!” teriak Bening kencang dan berusaha merebut kembali uang miliknya yang ada di saku Ibra.
Ibra gemas dan mau mengakhiri percekcokan itu segera. Ia lalu menangkap Bening dan mencekik leher wanita itu, hingga kesulitan bernapas.
Sekonyong – konyong seorang lelaki datang meninju rahang Ibra hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. “Anda tidak pantas disebut seorang suami, Pak Ibra, melainkan iblis!”
Bab 8 BangkrutIbra bangun dan melihat Kama Maheswara sedang membantu Bening.“Pak Kama? Ini masalah saya, Anda jangan turut campur!” bentak Ibra gusar. Ia tak habis pikir, kenapa laki – laki itu selalu ada dan membela Bening.Alih – alih menjawab pertanyaan Ibra, Kama justru bertanya pada Bening. “Apakah kamu baik – baik saja!”Bening mengangguk.Merasa diabaikan Ibra semakin galak. “Pak Kama, saya bertanya pada Anda, kenapa Anda di sini!! Apakah Anda menguntit istri saya!”Sejurus kemudian Kama mengangkat alisnya ke atas. “Saya mau melindungi wanita yang disakiti suaminya. Anda sudah memukulinya berkali – kali, kan. Termasuk di gang dekat kantor Anda. Saya melihatnya dan itu salah satu penyebab, kenapa saya tidak mau bekerja sama dengan Anda!”Kama memandang Ibra dengan tatapan sinis. “Saya melihat partner itu dari bagaimana mereka memperlakukan orang sekitarnya, terutama keluarganya.”Ibra tercengang. Mukanya merah menahan malu. Ia berbalik dan melangkah pergi.“Hei, kembalikan dul
Bab 9 Kejutan di pagi hariBening menggigit bibir bawahnya, getir. Diakuinya asumsi Elang beralasan.Iswati bergeming, ia lalu duduk di samping suaminya. “Pa, apa benar begitu?” Ia tak dapat menyembunyikan garis – garis ketegangan di wajahnya kentara sekali.Gatot yang mulai tadi mendengarkan percakapan anak dan istrinya menjawab dengan suara gamang. “Ngomong – ngomong, di mana sertifikat rumahmu?”JRENGBening terkesiap! Lidahnya mendadak kelu. Tangannya mulai berkeringat, membayangkan hal buruk yang akan terjadi. Ia sama sekali tidak kepikiran untuk membawa atau mengambilnya. “Ada di brangkas rumah.”Tubuh Iswati semakin menegang. Ketakutan mulai merayap di dadanya, mengingat, ia tahu, bagaimana pengorbanan Bening untuk membeli rumah tersebut. “Apa Ibra tahu password brankasnya?” Pertanyaan konyol yang ia tanyakan. Ibra dan Bening pernah serumah dan status mereka suami istri. Tapi tetap saja ia menginginkan jawaban yang berbeda dari anaknya.Bening mengangguk lemah. “Di sana juga ad
Bab 10 Tanda tangan palsu“Jangan asal ngomong kamu ya, ini rumah saya, enak sekali kamu mengaku – ngaku rumah orang!” protes si ibu berdaster itu.Pak Alwi menautkan kedua alisnya. “Tolong jangan ribut. Jika kalian terus ribut, kita tak bisa mengetahui duduk perkaranya. Sebaiknya kita duduk dan membicarakan masalah ini baik – baik,” pintanya bijakKe lima orang itu lalu duduk di ruang tamu.“Coba jelaskan Pak Rahman, bagaimana Anda bisa menuduh Ibu Bening dan adiknya pencuri di sini?”Pak Rahman – pria bersarung itu menceritakan kronologisnya. “Jadi begitu ceritanya, Pak.”Pak Alwi manggut – manggut. Dia melihat ke Bening yang tampak cemas. “Sekarang, tolong gantian Ibu Bening yang bercerita, biar saya tidak salah paham.”Bening menarik napas dalam – dalam sebelum bicara. “Rumah ini adalah rumah saya, Pak RT. Saya membelinya saat masih lajang, sebelum menikah dengan Mas Ibra. Beberapa bulan lalu, perkawinan kami diterpa badai. Mas Ibra dan selingkuhannya, Intan mengusir saya bersama
Bab 11 Melabrak Besan“Lho, kok nanya saya, memangnya situ tidak punya anak, tanya dong sama Bening, kok jauh – jauh datang ke sini menanyakan di mana anak lanang saya?” Tangan Herni merapikan rambutnya. “Ibu Besan, jangan asal menuduh anak saya, menjual rumah Bening dengan tanda tangan palsu. Buktinya mana? Apa Ibu Besan tidak takut saya melaporkan Ibu Besan karena mencemarkan nama baik keluarga terpandang saya.”Iswati gemas sekali dengan jawaban besannya. “Untuk apa saya jauh – jauh datang ke sini, kalau Bening tahu di mana Ibra? Apa Ibu tahu apa yang dilakukan Ibra? Apa Ibu pernah kepikiran untuk menengok Evan? Ini sudah 6 bulan lho, saya belum pernah lihat Ibu datang menengoknya.”Iswati menarik napas panjang, sebelum melanjutkan kalimatnya. “Oh ya, saya lupa, Ibu Besan sibuk sekali shopping dan jalan – jalan ke Luar Negeri bersama teman – teman sosialita, menghabiskan uang anak dan menantunya. Hingga tidak tahu Ibra selingkuh dengan Intan asistennya! Asal Ibu tahu, Ibra telah me
Bab 12 ManipulatifAndini tidak mau mengalah. Dia menggedor – gedor pintu. “Pak, tolonglah, ini darurat! Istri Pak Zulfikar berselingkuh dengan suami sahabat saya. Saya mau meminta penjelasan.” Akan tetapi sipir penjara tersebut mengabaikan teriakan Andini.“Sudahlah! Kita pulang saja,” ajak Bening dengan nada kecewa.“Tidak bisa begitu dong, Be. Kita sudah jauh – jauh datang ke sini mau mencari tahu tentang Intan, masak kita mau mengalah.”“Jika Zulfikar tidak mau menemui kita, terus kita bisa apa?” ucap Bening. Matanya terkulai layu. Ia bersedih dan merasa semua jalan yang ditempuhnya buntu. Kemudian ekor matanya menangkap sosok wanita yang dicarinya, keluar mengendap - ngendap dari arah pintu pengunjung.“Intan!” sontak Bening mengejarnya.Intan terkejut saat melihat Bening berlari ke arahnya. “Sialan!” rutuknya kesal sembari berlari menjauh, sayangnya dia kerepotan dengan highheel yang dipakainya. Cepat – cepat ia melepaskan high heelnya.Namun, Bening dan Andini keburu menangkapn
Bab 13 Telepon anehPagi itu, tidak seperti biasanya. Bening mengajak Evan ke Joli Flower bersama Mba Atun. Bayi lelaki berusia 7 bulan itu duduk anteng duduk di atas kursi bayi sambil menikmati biscuit oat pertamanya di kantor sang mama. Sedangkan Mba Atun membantu Ismail menerima kiriman bunga yang baru datang.Sambil merangkai bunga, sesekali Bening menggoda Evan, bayi itu tertawa senang. Suara tawanya renyah sekali, seperti candu yang membawa kegembiraan pada hati Bening. “Bu… ada Pak Kama,” kata Mba Atun.“Tolong suruh masuk saja, Mba,” jawab Bening, tangannya sedang sibuk merangkai bunga pesanan Ibu Tita Maheswara yang menjadi langganan tetapnya.“Apa kabar?” sapa Kama lembut. Dia melihat ke Evan. “Apa bayi ganteng itu anakmu?”Bening menoleh. “Baik… dan yah! Dia Evan anakku.” Dia lalu menggendong Evan. “Evan, ayo sapa Om Kama.”Tanpa diduga, Evan mengulurkan kedua tangannya di depan pada Kama, minta digendong.“Apa boleh aku menggendongnya?” tanya Kama hati – hati.“Silahkan s
Bab 14 Bebaskan diaJika engkau mencintai sesuatu, bebaskan. Jika ia kembali kepadamu, itu milikmu selamanya. Jika tidak, maka sejak awal, dia bukanlah milikmu – Maulana Rumi. “Kita ke Spa, yuk. Badanku pegal – pegal nih, butuh relaksasi,” ajak Andini semangat.“Tidak, aku masih punya banyak pekerjaan,” tolak Bening halus.“Hei… jangan bekerja terus dong, ayolah dua jam saja, sekalian kita ajak Evan. Bayimu juga perlu hiburan.” Andini tetap memaksa.Bening melihat Evan sebentar. Bayi itu tertidur tenang sambil memeluk boneka bearnya. Andini benar, anaknya perlu santai. “Oke, tapi setelah jam 5 sore, biar aku selesaikan pekerjaanku dulu, setelah itu kita pergi ke Spa.”“Sip… aku jemput kamu di sini jam 5 nanti, dan tolong tetap waspada. Aku tidak mau terjadi sesuatu denganmu,” ucap Andini sebelum melangkah pergi.Bening mengangguk. “Tenang, aku punya banyak malaikat pelindung,” jawabnya sambil menutupi kegusarannya.Siang itu berjalan dengan cepat. Setelah mengirim email dan memasukka
Bab 15 Terjerat Judi SlotBerulang kali Herni menarik napas berat melihat sikap anak sulungnya.Herni ngeri melihat tampang anaknya berubah sangar. “Ibu tahu, tapi kamu selalu sibuk dengan ponsel dan tidak ngapa – ngapain selama di sini.”“Oh, gitu ya? Ibra selama ini bekerja keras untuk kalian berdua. Semua yang Ibu mau, Ibra kasih, masak Ibra mau santai – santai di rumah sendiri tidak boleh?” keluhnya dengan nada tertekan.“Bukan gak boleh, Bra. Tapi Ibu perlu uang buat bayar UKT adikmu dan buat biaya hidup kita. Kalau kamu tidak bekerja, bagaimana Ibu bisa memperpanjang kontrak rumah ini? Terus Ibu dan adikmu tinggal di mana?”Mata Ibra berkilat. “Uang terus, uang terus? Pusing kepala Ibra memikirkannya.” Muka pria itu semakin kusut.“Bagaimana tidak pusing, Mas Ibra menghabiskan uang untuk bermain slot. Tuh lihat ponselnya, Bu!” sela Ajeng berani melawan kakaknya. “Daripada uangnya untuk main judi, mending dikasih Ajeng buat bayar UKT.”Mata Ibra makin menyala merah.“Kamu jangan