Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
POV RaditMobil melaju dengan kecepatan sedang, sesuai permintaan Akbar, hari ini kami akan mengunjungi Waterboom Mulia Kudus. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak semata wayangku. Tapi semua tak khusuk kutanggapi. Pikiran ini masih saja dipenuhi bayang-bayang Alya. Sentuhan kembali tangannya pada pipi, sungguh aku menanti hal ini semenjak enam tahun yang lalu. Aku merindumu Al. Tendang aku sepuasnya, tapi berjanjilah bahwa kau akan kembali.Pandangan ini sedikit kabur, serasa ada yang memenuhi pelupuk mata."Yah ....""Iya, Nak?"Suara Akbar membuatku terhenyak. Kembali dia menceritakan kisah sekolahnya, teman-temannya. Bagaimana ia mendapat pujian setiap hari dari guru-gurunya. Akbar memang anak hebat, tentu sebab diasuh oleh wanita sehebat Alya.Perlahan suara Akbar menghilang. Pikiranku kembali terlempar pada Alya. Berbagai pertanyaan seperti diurutkan dalam benak. Apakah Alya sudah membaca surat dari Mama? Tapi kenapa sikapnya seolah masih begitu memendam am
Kami sampai di rumah saat senja mulai melukis langit. Indah, aku jadi terkenang masa-masa dimana kerap melukis cinta bersama Mas Radit di senja hari. Ah, andai kami masih bersama, tentu kini aku ada dalam pelukannya. Melukis cinta yang tiap hari kian memupuk. Astaghfirullah! Kugeleng-gelengkan kepala mengusir bayang Mas Radit dalam benak."Ini rumahmu, Al?"Pertanyaan Dokter Adam sedikit membuatku terhenyak. Ternyata kami sudah sampai di depan pagar rumah."Iya, Dok."Tatapan kami kembali bertemu sejenak. Sepertinya dia gugup, cepat dia kembali menoleh ke depan."Terima kasih ya Dok, atas semua bantuannya hari ini," ucapku sebelum menuruni mobilnya. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang tampak pada cermin depan. Tapi apa yang dilakukannya hari ini, mampu mengganti semua kelakuan buruknya padaku kemarin hari. Setidaknya aku tahu, ada sisi lain dalam hati lelaki itu selain galak.Kututup pintu perlahan, tidak ingin membangunkan Aisyah yang sudah tertidur di kursi depan. Pelan pula b
"Jaga kesehatanmu, Dit. Jangan terlalu lelah."Andre, dokter sekaligus sahabatku berpesan entah untuk keberapa kalinya dalam sebulan ini. Aku hanya mengangguk, tanpa banyak membantah. Kenyataannya memang bulan ini kondisi kesehatanku begitu drop. Bolak balik Jakarta-Kudus demi menemui Alya, membuat waktu yang seharusnya kugunakan untuk beristirahat berganti menjadi waktu untuk mengemudi.Kuusap wajah pelan. Bimbang, sebenarnya ada yang lebih penting dari sekadar menjaga kesehatan. Yaitu Alya. Haruskah kuceritakan pada Andre bagaimana kegigihanku selama ini telah berbuah hasil. Bukankah selama ini Andrew pula yang paling tahu bagaimana usaha yang kulakukan untuk bertemu Alya, dimana tak pernah satu kali pun usaha itu ditanggapi.Baik, aku akan jujur, Andre berhak tahu perkembangan ini. Kulirik dia sekejap."Dre ...."Dia menoleh."Aku memintanya kembali."Sejenak suasana hening, kuperhatikan kembali dua bola mata milik Andre. Dia sering berbohong, terlebih untuk menyemangatiku perihal
POV AlyaHujan turun begitu deras, bulir-bulir sebesar biji jagung kini menghujam tubuh. Seharusnya tadi aku bisa lebih cepat sampai jika saja tidak ada pergantian ruangan tempat berdinas. Sedikit tak menyangka jika sekarang durasi bertemu dokter Adam akan semakin bertambah, dengan ditempatkannya aku di ruang ICU. Jika diibaratkan rumah, ICU adakah kamarnya.Fuih!Hari ini pun sudah beberapa kali aku bertemu dengannya. Sedikit jengkel jika Dokter Tania ada juga di ruangan itu. Sepertinya perempuan tersebut menyengaja menampakkan kedekatannya dengan dokter Adam. Bahkan tadi aku melihat dengan mata kepala sendiri, Dokter Tania menyelipkan tangan pada lengan dokter Adam. Apa lelaki itu nggak sadar jika sedang didekati? Oh, pasti sadar donk, namanya sama-sama suka.Ck! Biarlah! Apa peduliku.Sudah sepuluh menit lamanya menerobos hujan, mata sudah terasa perih. Bulir-bulir hujan kian membesar, semakin menyiksa ketika menghantam tubuh. Tak seperti biasa, jarak Jati-Demak, terasa sangat pan
POV RaditSatu jam lebih kami berada dalam satu mobil tanpa saling menyapa, rasanya lebih menyakitkan dari menerima kenyataan akan dipenjara selama puluhan tahun. Jika bukan karena sudah mempersiapkan segalanya, aku tidak mungkin memilih puncak Selam Semliro sebagai tempat yang akan kukunjungi bersama Alya. Sebab diamnya wanita itu seperti panah yang menembus kuat melalui jantung."Kenapa harus sejauh ini sih Mas jika cuma mau bicara? Kasihan Akbar, dia sedang membutuhkan saya?"Perkataan pertama setelah sejaman membungkam mulut. Kutanggapi dengan senyuman, sambil mengeluarkan ponsel. Nomor handphone Bik Ina menjadi tujuan. Semua sudah kusiapkan, termasuk Akbar yang sudah berjanji padaku untuk membuat sedikit drama.[Assalamualaikum Sayang.][Waalaikum salam. Ayah ...]Mendengar suara Akbar yang sengaja aku loadspeaker 'kan, Alya bergidik.[Ayah dimana?]Kuarahkan ponsel yang sedang tersambung video call pada Alya.[Mama ...]Panggilan Akbar berhasil membuat Alya tersenyum, tampak ca