"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
Pagi ini Mas Radit kembali mengunjungiku. Sudah enam tahun semenjak dia menjatuhkan talak dan aku memilih kembali menempati rumah ibu, lelaki itu kerap datang menjenguk.Tak bisa kututupi, gelenyar aneh yang membarengi jiwa, tatkala mendapati ia menuruni mobil dan berbicara pada bibik di depan pintu. meski aku tidak pernah menemuinya, tapi jujur cintaku pada mantan suamiku itu masih sama seperti dulu. Dimana saat itu, hanya ada aku ratu di istananya.Aku terus menelisik langkahnya yang semakin mendekati rumah. Saat kaki jenjang lelaki itu sudah melewati pagar, istri muda yang harusnya menanti di dalam mobil terlihat membuka pintu bagian belakang.Wanita yang seharusnya menjadi adik maduku itu terlihat menuruni mobil, membusungkan dada seolah memberi kabar padaku bahwa perutnya sudah kembali terisi oleh benih yang ditanamkan Mas Radit. Hal yang tidak bisa aku berikan, di pernikahan kami yang bahkan sudah menginjak usia enam tahun, kala itu.*Sesuatu membuat anganku kembali terlempar k
"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."Aku tercenung sesaat mendengar kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya. Andai dulu ia tidak termakan fitnah yang dibuat oleh ibunya sendiri, tentu aku dan Akbar tak pernah tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Tak akan pernah merasa hina dengan tuduhan berzina, sedang jelas anak dalam kandunganku ini adalah darah dagingnya.Andai Mas, andai saja kamu bisa terus berpegang pada janjimu, bahwa jangan pernah goyah, apapun hasutan yang dibuat oleh ibu dan calon istrimu, tentu kami tak akan pernah merasa kesepian disetiap malam, merasa takut setiap kali petir terdengar membelah langit. Tentu kami tidak harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, demi menghindari amukan warga yang menganggapku wanita kotor.
"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku."Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya."Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku."Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai."Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"Akbar mengulum senyum."Ini semua udah
Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini."Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh."Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.*Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden