Share

3. Fitnah Terkeji

"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"

Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.

Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku.

"Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"

Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya.

"Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."

Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku.

"Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."

Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai.

"Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"

Akbar mengulum senyum.

"Ini semua udah bau Ma. Nanti malam 'kan Ayah nginap di kamar Akbar, jadi semua harus diganti biar Ayah suka dan nanti sering-sering temenin Akbar tidur."

Kuhela napas berat. Ya Allah, kenapa Engkau beri hamba cobaan seberat ini? Tubuhku terduduk lemas di atas ranjang.

"Akbar, sini sebentar, Mama mau bicara."

Ia ikuti perintahku untuk duduk di atas ranjang.

"Sayang, Ayah sama Mama sudah tidak terikat hubungan lagi. Jadi tidak bisa sesuka hati Akbar untuk meminta Ayah sering menginap di rumah ini."

Akbar tampak kebingungan. Kuabaikan tanda tanya yang sudah pasti memenuhi benaknya, jika sudah sampai waktu, pasti dia akan mengerti. Kini yang terpenting adalah bagaimana caraku membuat supaya Mas Radit tidak bisa masuk ke dalam rumah ini namun tetap bisa menemani Akbar tidur.

"Akbar ngapain repot-repot ganti semua ini, Nak. Mending bikin kemah di taman belakang, terus suruh Ayah buat api unggun. Bukannya Akbar kemarin ngomong ke Mama kalau pengen bisa berkemah sama Ayah?"

Wajah Akbar seketika berubah. Dia bangkit untuk kemudian melompat ala pahlawan kesukaannya.

"Wah, benar juga, Ma. Nanti malam Akbar mau buat kemah ya, Ma?" pintanya penuh suka cita.

"Tentu boleh Sayang, biar Mama minta Bibik untuk bangun kemahnya ya. Jadi nanti malam kalian tinggal buat api unggun aja. Gimana?"

"Setuju Ma. Setuju!"

Alhamdulillah, rasanya lega, bisa membuat Akbar bahagia tanpa merusak tatanan hatiku yang pasti akan kacau bila kembali bertemu Mas Radit. Kini Akbar tampak sibuk mengeluarkan tenda yang baru bulan lalu kami gunakan untuk berkemah. Dengan susah payah ia keluarkan dan menyeret benda itu keluar ruangan untuk kemudian pasti menuju kamar Bik Ina. 

Kubiarkan dia bekerja sendiri, hitung-hitung sebagai latihan kemandirian. Sebab ia berbeda dari anak lain yang sedikit-sedikit pasti selalu dibantu ayahnya. Akbarku berbeda. Dia punya ayah, tapi ayahnya milik anak-anak lain.

Kutarik napas dalam, rasa perih kembali merajai hati. Kulayangkan pandang ke arah depan, dimana sebuah foto seorang lelaki tampan terpajang di sana.

'Mas Radit.'

Dadaku kembali berdesir jika mengingat semua ucapannya tadi pagi.

"Kenapa sulit sekali melupakanmu Mas, harusnya atas segala yang terjadi, aku membencimu. Tapi ternyata tidak. Aku tidak pernah bisa membencimu seutuhnya ...."

Perih, rasa itu kembali memenuhi ruang hati. Namun teralihkan saat tiba-tiba netra ini berhasil melirik amplop putih yang tadi diberikan Mas Radit padaku.

Surat dari Mama. Penasaran, aku segera kembali ke kamar untuk membacanya.

*

Assalamualaikum ...

Kuhentikan membaca, mencoba menetralisir degup jantung yang tiba-tiba seperti genderang perang. Ya Allah, baru membaca Assalamualaikum saja, aku sudah tak bisa tenang begini. Bismillah, mudahkan ya Allah, kuatkan hati ini, penuhi ia dengan kemaafan yang tinggi.

Kulanjutkan membaca.

Alya menantuku yang Mama sayangi.

Deg!

Kulipat kembali surat itu, aku menyerah! 

Belum sanggup hati ini untuk membacanya. Dengan cepat kumasukkan surat itu kembali ke dalam amplop dan membuangnya keluar melalui jendela.

Semoga surat itu musnah tanpa harus aku baca. Aku takut, takut jika membacanya maka semua ingatan tentang masa lalu kembali membuat hatiku sakit. Sedang jiwa ini sudah sekuat tenaga berusaha memaafkan semua kesalahan mereka.

Ya Allah maafkanlah semua ketidakberdayaan diri ini.

*

Flast back

Sudah dua hari Mas Radit ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan tentang sosialisasi alat-alat kedokteran terbaru. Selama ia pergi, aku terus mendapat tekanan dari ibu mertua yang menginginkan agar aku mundur seperti permintaan calon maduku.

Aku tahu, selama enam tahun pernikahan, mama mertua tidak pernah ikhlas menerimaku sebagai menantunya. Apalah aku yang hanya seorang perawat, sedang yang dia inginkan sebagai menantu adalah wanita bergelar dokter agar sepadan dengan gelar spesialis yang kini disandang anaknya.

Beberapa kali aku terus menolak lamaran Mas Radit, tapi lelaki itu tidak pantang menyerah. Segala bujuk rayu ia lancarkan agar ibunya mau datang memintaku pada satu-satunya orang tua tunggal yang saat itu masih kumiliki.

Hingga akhirnya pernikahan sederhana kami dilangsungkan. Meski bisa digelar dengan mewah, nyatanya mama hanya mengundang kerabat dekat. Sedang untuk menjamu sahabat serta rekan seperjuangannya, Mas Radit membuat acara khusus lain di sebuah gedung. Tapi saat itu, mama tidak hadir. Hanya aku dan Mas Radit dengan penampilan biasa. 

Enam tahun hidup seatap, mungkin akulah wanita yang terus sabar menanggapi pedasnya kelakuan ibu mertua. Kenapa aku bertahan, karena Mas Radit adalah sumber kekuatan. 

Dia yang selalu menyemangati, menyenangkan hati ketika luka yang ditorehkan ibunya membekas dalam dada.

Ia yakinkan diri ini, bahwa jika sudah punya momongan nanti, pasti ibunya akan bersikap lebih bijaksana. Tapi ternyata, aku tidak jua diberi kesempatan untuk sekali saja merasakan benih itu menetap lama dalam kandungan.

Jika ditanya usaha, tidak satu cara kami usahakan untuk dapat segera memiliki momongan. Bahkan usaha inseminasi buatan sudah pernah kami jalani. Namun Allah belum berkehendak ada. Usaha kami mengalami kegagalan di bulan kedua proses itu berlangsung. Aku keguguran.

"Mama heranlah sama perempuan satu itu, memang udah dari sononya nggak bisa kasih Radit keturunan, tapi masih aja keras kepala. Jadinya sia-sia aja Radit menghabiskan uangnya untuk inseminasi sedemikian banyak," ucap mama pada calon maduku sehari sebelum petaka menimpaku.

"Udah lah Ma, jangan dibahas lagi. Sebentar lagi aku pastikan Mama bakalan nimbang cucu dari Mas Radit, setelah kami resmi menikah tentunya."

"Oh iya, Sayang. Mama yakin kamu bisa memberi Radit banyak keturunan. Secara saudaramu semuanya punya banyak keturunan 'kan? Lha dia, dari sononya lahir ke dunia memang sendiri. Pantes aja udah enam tahun kagak bisa ngelahirin satu bayi pun. Huh capek sebenarnya Mama ngurusin dia selama ini!"

Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucap istighfar. Kucoba mengalihkan sedih dengan menyibukkan diri membaca Al Quran, nyatanya justru air mata terus tumpah tanpa permisi.

Aku harus kuat, sudah kuputuskan untuk minta pisah rumah pada Mas Radit jika besok dia pulang. Aku ingin hidup tenang tentunya dengan tidak seatap dengan madu. Meski aku sudah ikhlas, tapi melihat kekompakan ibu mertua dan perempuan itu. Sepertinya aku tidak akan tahan jika harus serumah dengan mereka.

*

Malam itu aku sedikit gelisah. Entah kenapa sudah lewat tengah malam, mata ini belum jua mau terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar mengambil segelas minuman. Lalu dengan cepat aku kembali ke dalam kamar.

Setelah meneguk air hingga tak bersisa, kuputuskan untuk kembali ke peraduan. Tiba-tiba entah  dari mana muncul sosok itu.

Mang Kasim?

Supir pribadi suamiku ada di dalam kamar. Aku segera bangkit dari ranjang dan berdiri di samping nakas. Sedang lelaki itu berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia masuk saat aku keluar mengambil minum dan bersembunyi di balik gorden.

"Sedang apa Mamang di kamar saya?" teriakku cukup keras. Rasa takut memenuhi dada tatkala tahu jika lelaki itu baru saja habis menenggak minuman beralkohol. Dia mabuk. 

Jalannya sempoyongan tapi tak pelak semakin mendekat. Aku mulai kalap, mata menelisik apapun yang bisa kugunakan untuk melindungi diri.

"Nyonya mau punya momongan 'kan? Suami Nyonya itu mandul, lemah syahwat! Saya kuat Nyonya, saya pastikan setelah sekali celup, Nyonya bakalan hamil!" ucapnya tak tahu malu.

"Cuih! Kamu sudah lancang Kasim! Saya akan laporkan kelakuanmu pada Mas Radit! Keluar dari kamar saya sekarang juga!" gertakku semakin kencang. 

Dia tak gentar sedikitpun, justru langkahnya semakin mendekat. Tak lagi berdiri tegak, kubalikkan badan menaiki ranjang, berharap bisa berlalu dari sisi kanan dan berlari keluar kamar.

Tapi ternyata, ia berhasil menangkap pergelangan kakinya. Aku terjerembab ke atas ranjang.

"Kurang ajar kamu Kasim, lepaskan saya!"

Kuhentakkan kaki sambil tangan memegang pinggiran ranjang agar dia tak berhasil menarik tubuh ini.

"Sudahlah Nyonya jangan jual mahal, pasti Nyonya sudah sangat menginginkannya 'kan!"

Dia menghentak kakiku dengan sekali hentakan kuat. Seolah terlepas tulang gerak bawah dari rangka atas, pegangan tanganku pun ikut terlepas.

"Tolong! Tolong."

Aku menjerit sekencang mungkin. Berharap ibu mertua bisa mendengar dan segera menolongku dari iblis ini.

Tak ada yang datang!

"Tolong ... tolong!"

Kupukul-pukul wajahnya yang semakin mendekat, dia terlihat murka. Tangannya dia alihkan untuk memegang kuat lenganku yang berusaha terus meronta. 

Sedang kakinya menindih kedua kakiku dengan kuat. Sesakit apapun yang kurasakan saat itu, tapi aku harus bisa bertahan agar dia tidak sampai merenggut kesucian diri.

"Tolong ...!"

Lelaki bangsat itu berhasil mencumbui wajah hingga leherku. Aku menangis sambil tak henti melawan. Entah jeritan keberapa kali kulakukan, akhirnya pertolongan datang.

"Ada apa ini?"

Mama mertua muncul di depan pintu yang lupa kukunci.

Lelaki yang menghimpit tubuhku lekas bangkit. 

"Kasim! Apa yang sudah kamu lakukan di kamar ini?"

"Nyonya Alya meminta saya untuk menggaulinya Nyonya."

"Astaghfirullah! Itu fitnah Ma. Tolong jujur Mang, jangan memfitnah."

Aku tak menyangka Kasim akan berdusta. Allah akan melaknat perbuatannya. Kuusahakan untuk bangkit hendak kembali membela diri, tapi kakiku terasa begitu lemah.

"Ternyata kamu semurahan ini Alya! Begini kelakuanmu jika suamimu pergi?"

"Astaghfirullah Ma, Alya tidak pernah melakukan semua yang dituduhkan Kasim itu, semua ini fitnah," ucapku sambil tak kuasa menahan tangis.

"Kasim, katakan sejujurnya, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"

"Ayla nggak pernah minta, Ma--"

"Diam kamu!"

Air mataku jatuh berderai, teganya Mang Kasim memfitnahku. Sedang ibu mertua tak mau mendengar penjelasan. Bagaimana jika Mas Radit sampai tahu perihal kebohongan ini. Ya Allah ...

"Katakan Kasim, apa benar Alya yang memintamu ke kamar ini?"

"Jujur Mang!"

"Diam kamu!"

Ya Allah Mama ...

"Be-be-benar Nyonya!"

"Itu fitnah, Ma!"

"Diam kamu! Kamu sudah mempermainkan anak saya!"

Plakkk! Plakkk!

Pipiku remuk oleh tamparan sepuluh jemari ibu mertua. Aku tergugu, tak bisa berkata apapun kecuali hanya menangis.

"Dengar Alya, malam ini juga kamu bukan lagi menantu di rumah ini! Saya akan mengabarkan perihal ini pada Radit supaya dia cepat-cepat mengusir kamu dari kehidupan kami!"

Mama berlalu setelah membanting pintu dengan kuat.

*

Flash off

Kutarik napas panjang. Ingatan itu membuat dadaku bergemuruh hebat.

"Mas, andai kamu mendengarkanku saat itu. Mereka telah memfitnahku. Andai kamu hanya mempercayai kata-kataku sebagai istrimu. Tentu saat ini kita masih bersama, Mas."

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca

Utamakan baca Al Quran, ya.

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Yuni Wahyuni
pasti itu jebakan dari mertuanya
goodnovel comment avatar
Suherni 123
bener, kebanyakan kisah nya si cewek di bikin lemah , mau balik lagi meski udah di sakitin
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
mmg klu cerita, perempuan selalu jd goblok. bucin nggak pernah cerdas, walau sdh dijadikan babu dan bukan manusia sekalipun tetap bucin. perempuan selalu dibikin sangat rendah n hina.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status