Share

5. Lelaki Tak Berhati

"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?

Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!

Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara.

"Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."

Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara.

"Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya hanya minta agar Mas mau menghargai status kita sekarang. Betapa sulit saya menjelaskan pada Akbar tentang hubungan kita yang sudah terpisah ini. Saya harap Mas tidak mengotori pikiran Akbar dengan berbagai keinginan Mas sekarang."

Dia terlihat menelan saliva, sepertinya mulai pasrah. Sedang di sini, aku tak lagi kuasa berlama-lama. Dengan berat kembali kugerakkan langkah.

"Tunggu Dek, ijinkan Mas menjelaskan semuanya. Harusnya penjelasan ini sudah semenjak lima tahun yang lalu Mas berikan, tapi kamu terus menolak untuk bertemu."

Aku terdiam sejenak.

"Entah dari mana harus Mas memulai, tapi semua tak seperti yang ada dalam pikiranmu, Dek."

Aku mulai tak sabaran menghadapi sikapnya. Ternyata kalau sudah bertemu langsung rasanya memang berbeda. Jika dahulu saat hanya diam-diam menikmati wajahnya, aku merasa bahagia. Tapi kini, melihat dia banyak berbicara, hatiku malah sakit dan bertambah kecewa.

"Maaf Mas, saya sibuk! Saya harus berangkat kerja! Jika sudah sehat, saya harap Mas segera meninggalkan rumah ini!"

Aku berlalu dari kamar. Kesempatan sudha pernah kuberikan baginya. Bukankah masa iddahku cukup lama, sebab diri ini dicerai saat sedang hamil. Kemana dirinya, bukan kata rujuk yang kuterima tetapi surat cerai.

Tak bisa kututupi rasa perih yang kini menghujam dada. Dia bilang aku sudah menyiksanya? Apa dia pikir selama ini aku bahagia menjalani hidup.

Ah, dia mana tahu semua kepahitan yang kualami, jika tak kupikir masih ada cinta, sudah tertancap sebilah pisau menembus jantung Mas Radit.

Ternyata benar, berurusan dengan mantan tak boleh mengedepankan perasaan, tapi realita. Faktanya, Mas Radit sudah mencampakkan aku, lalu dia berbahagia hidup dengan istri dan anak-anaknya selama enam tahun. 

Sedang aku? Remuk redam mencoba bangkit dan membangun kembali hati yang hancur karena ulahnya. 

Kini, hatiku tidak boleh goyah. Maaf memang sudah kuberi, tapi untuk kembali sampai kapanpun tidak!

*

Akbar masih terlelap dalam tidur. Sejenak langkah terhenti untuk menelusuri tiap lekukan pada wajah anak semata wayangku itu. Rasa iba kembali menyusup dinding pertahanan hati, mengingat ia memiliki seorang ayah yang tidak bisa membersamai seumur usianya.

Tapi biar bagaimanapun, lelaki itu tetaplah harus menjadi panutan yang mesti dibanggakan Akbar. Terlepas dari perbuatannya dahulu padaku. Aku hanya ingin Akbar berbakti pada kedua orang tua. Sekalipun itu sudah tidak bersama.

Kukecup pelan kening anak semata wayangku. Lalu langkah kini tergerak untuk menuju rumah sakit. Banyak laporan yang harus diselesaikan hari ini. Sebab sudah tiga hari aku mengambil cuti tahunan.

Pasti hari ini akan menjadi hari melelahkan. Kutinggalkan Mas Radit di rumah, dengan memberi beberapa pesan pada Bik Ina. Terutama tentang pengawasan yang harus dilakukannya terkait keberadaan Mas Radit di dalam rumah.

Kuijinkan Bik Ina memberi Mas Radit sepiring nasi goreng beserta lauk. Dan meminta wanita itu agar memastikan bahwa Mas Radit harus sudah angkat kaki sebelum aku kembali ke rumah.

Sebelum berangkat, pikiran sejenak diajak menelusuri perihal surat dari mantan ibu mertua yang sudah kubuang. Ah, paling nanti akan masuk tong sampah ketika Bik Ina menyapu taman belakang. Aku tak ingin membacanya. Walau tak tahu kebenaran seratus persen, tapi aku bisa menebak surat itu isinya permintaan maaf karena sudah memfitnahku dahulu. Dan ternyata, aku telah lebih dahulu memaafkannya sebelum surat ini sampai.

*

Sepanjang perjalanan, pikiran tak henti tertuju pada rumah. Mengetahui kabar Mas Radit dan Akbar sekarang menjadi hal utama yang kuingin segera sampai. 

Bagaimana keadaannya setelah kutinggalkan tadi pagi, apakah sakitnya sudah mereda, apakah dia sudah makan, ah kenapa aku justru mengkhawatirkannya.

CK!

Kuusir sekuat tenaga bayang-bayang Mas Radit. Sambil memendam beban di jiwa yang seberat bongkahan batu, langkah kupercepat mengingat waktu operan hanya tinggal sepuluh menit lagi. 

Begitu kaki menginjak ruang UGD, ruangan tempatku mengabdi kini. Rasa penat kembali menghampiri. Ruangan penuh sesak oleh keluarga pasien. Sepertinya ada pasien kecelakaan yang baru saja sampai.

Semua bed penuh, perawat dan dokter jaga tampak sibuk. Tidak ada yang dalam posisi duduk.

"Al, tolong pasang infus pasien di bed sepuluh, ya."

Kak Sani kepala ruangan langsung membanjiriku perintah meski belum saatnya untuk diri ini berdinas. Tanpa membantah kuiikuti perintahnya, mulai menyiapkan perlengkapan untuk pemasangan infus. Kusibak tirai yang menjadi pembatas antar bilik.

Seorang pasien lelaki tua tampak tertidur dengan seorang keluarga menjaga di sampingnya.

"Tolong Mbak, Bapak susah bernapas."

"Kita pasang oksigen, ya."

Lelaki tua itu tampak kesulitan bernapas. Sesak. Kutarik selang oksigen lalu membantu memakaikan pada rongga hidungnya. Dia masih nampak kesulitan bernapas. 

Kuatir posisi tempat tidur pada keadaan semi Fowler atau miring 45 derajat. Sesaknya sedikit terkendali.

"Sabar sebentar ya Pak, saya pasang infusnya dulu."

Dengan cepat kutarik selang infuset lalu menusukkan ke dalam botol cairan infus. Selanjutnya membuka jarum abocat untuk mulai melakukan penusukan. Setelah membendung lengan pasien, aku mulai mencari keberadaan vena yang lurus untuk kemudian melakukan penusukan. 

Tiba-tiba ...

"Berapa lama kamu sudah magang di rumah sakit ini?"

Wajahku terangkat seketika. Seraut wajah menakutkan ada di depan mata. Kedua netra dr. Adam membidik mataku tajam.

"Saya karyawan, Dok."

"Saya kira siswa yang baru lepas almamater. Kamu lihat, banyak udara di sepanjang selang infus yang mau kamu pasang ke tubuh pasien. Apa kamu tahu jika gelembung udara dalam infus ini berbahaya jika masuk ke dalam darah secara langsung?"

Dia berbicara tanpa titik koma. Ya Rabbi, dokter galak ini tidak segan-segan menceramahiku di depan pasien. 

"Udara yang masuk ke dalam pembuluh darah akan dianggap benda asing oleh tubuh, sehingga akan menimbulkan gumpalan darah. Jika menyumbat pembuluh darah jantung bisa terjadi serangan jantung, jika menyumbat ke paru-paru bisa terjadi gagal napas. Apa kamu tidak paham akan hal itu?"

Ya Allah, rasanya tulang belulang terlepas dari persendiannya. Kenapa bisa seceroboh ini?

"Jika semua perawat seperti kamu, bagaimana nasib ratusan pasien yang tidak tahu apa-apa ini?"

Aku menghela napas. Hatiku sakit, namun tak berani membantah. Teganya dokter itu menceramahiku di depan pasien. 

Entah kenapa, tiba-tiba mata ini terasa berat.

"Segera buang udaranya baru lanjutkan pemasangan infus."

Aku tetap terdiam dan melakukan perintahnya. Kubuka pengunci selang untuk membebaskan semua gumpalan udara disepanjang selang tersebut. 

Kemudian aku kembali mencari vena. Sepertinya pasien ini sudah dehidrasi, sulit sekali menemukan pembuluh darahnya. 

Kubuka karet pembendung lalu hendak memasang sedikit ke atas. Tiba-tiba tangan dokter bermata coklat itu mencengkeram lengan pasien.

Tanpa berbicara, dia menunjuk pada sebuah urat yang samar mulai terlihat. Tak menoleh, aku melakukan penusukan pada vena tersebut. 

'Alhamdulillah, berhasil.'

Sejenak kutatap matanya. Rasanya masih menaruh kesal karena kelakuannya padaku tadi, tapi yasudahlah. Tak ingin lagi berada satu kamar dengannya, langkahku tergerak untuk menyibak tirai lalu memilih ke kamar mandi.

Di dalam ruangan itu, sesuatu yang sedari tadi terasa berat di pelupuk akhirnya luruh. Entah siapa penyebabnya. Mungkin Mas Radit, mungkin juga dokter kurang adab itu. Ya Allah, kenapa Kau beri diri ini bertemu dengan lelaki seperti mereka.

***

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
angel azzahra
harusnya bertrrimakasih mba,wlo caranya tidak ramah tapi dokter itu memberitahu Hal yg benar.
goodnovel comment avatar
Suherni 123
halah,,,masih aja mikirin mantan di rumah dasare emang ga bisa move on
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
menyesal aja kerja mu. g mau ketemu sama orang yg menyebalkan maka berkurunglah di kamar dan jgn berinteraksi dg manusia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status