"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."
Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu.Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah santer menjadi buah bibir di kantor ini. Mutiara sangat kasihan terhadap dirinya sendiri, dia dinikahi lelaki itu hanya untuk dimanfaatkan tenaga dan pikirannya, sementara lelaki itu bebas suka hati melabuhkan hasratnya pada siapa saja.Dua bulan yang lalu, dengan terang-terangan Tommy membawa seorang artis ibu kota ke kantornya, bahkan mereka bermain api di ruangan kerjanya ini. Semua itu disaksikan oleh Mutiara, wanita itu sudah tidak tahu lagi bagaimana menyikapi sikap lelaki yang sudah berstatus menjadi suaminya ini.Tok ... Tok ... Tok ....Dengan sedikit kuat akhirnya Mutiara terpaksa mengetuk pintu ruangan kerja lelaki itu, tidak ada jawaban dari dalam ruangan, suara kasak kusuk malah terdengar samar dari dalam.Mutiara kembali mengetuk pintu dengan lebih keras, dia tidak peduli jika dimarahi atau digampar lelaki itu, sebagai seorang istri, walaupun hanya status di atas kertas, wanita itu juga sudah muak dan jijik melihat kelakuan suami sekaligus bosnya ini."Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!" geram Tommy dengan marah."Ma, maaf. Ada dokumen yang harus ditanda tangani!" teriak Mutiara dari luar."Pergi kamu! Besok saja saya tanda tangani!""Tidak bisa, Mas. Proposal ini harus diajukan sekarang, Pak Rio Dewanto dari Adiguna grup sudah memintanya sekarang!""Apa? Rio Dewanto dari Adiguna?"Berapa saat kemudian pintu di buka, pemandangan di dalam sungguh membuat Mutiara jengah. Pakaian lelaki itu sudah acak-acakan, bahkan kancing bajunya tidak ada satupun yang terpasang. Sementara di ruangan itu juga ada sang sekretaris, yang tengah mengancingkan kemeja ketat dan membetulkan rok span yang panjangnya hanya sebatas paha itu.Mutiara tersenyum miris, Clarisa, wanita yang masih berstatus single itu baru dua bulan menjadi sekretaris Tommy sudah membuat skandal, tubuhnya yang seksi dan wajahnya yang terawat itu memang sangat menggoda bagi lelaki hidung belang manapun."Apa?!" bentak Tommy ketika melihat Mutiara yang membawa map di depan pintu. Sungguh lelaki biadab, tidak ada raut wajah bersalah ataupun malu di wajah lelaki yang sudah menikahinya ini, seolah-olah Mutiara hanya berstatus bawahannya yang tidak penting."Mas, ini tanda tangani, Pak Rio Dewanto sudah menunggu.""Kalian mau ketemuan di mana?""Pak Rio sekarang ada di hotel Novotel, kami di minta untuk menemuinya di sana.""Mana yang mau ditandatangani?"Mutiara menyodorkan dua buah map, dengan cepat Tommy membuka map tersebut dan menandatangani, ketika Tommy sedang sibuk dengan berkas itu, Mutiara mencuri kesempatan melihat ke arah Clarisa, kebetulan sekali gadis itu juga sedang memandang ke arahnya, Mutiara langsung menyunggingkan senyum sinis ke arah gadis itu manakala bibir Clarisa tersenyum bangga ke arahnya. Amit-amit, Kamu bangga dengan kelakuanmu itu? Ih, jijik banget, omel Mutiara dalam hati.Bagi Mutiara, tidak ada rasa sedih ataupun cemburu di dalam hatinya buat lelaki ini, yang ada justru perasaan jijik. Sedari awal memang tidak ada cinta di pernikahan ini, Mutiara memang pernah berusaha di awal-awal untuk berusaha membangun rumah tangga ini dan berusaha mencintai Tommy, tetapi buat apa jika hanya dia yang berusaha sementara Tommy sendiri malah semakin merajalela.Sakit hati diperlakukan seperti itu, diselingkuhi, dikasari dan tidak dianggap sudah tidak ada lagi, perasaannya sekarang justru hampa, dia menatap Tommy dengan perasaan biasa. Palingan dia hanya mengumpat dalam hati melihat maksiat seperti ini.'Biar saja dia bergelimang dosa, siapa juga yang peduli'“Ini, ambil. Kerja yang benar!”Mutiara tidak siap menerima lemparan map dari Tommy, sehingga map itu terjatuh ke lantai. Mutiara yang sedang dalam suasana kesal tentu menjadi bertambah kesal.“Kenapa dilempar?!” ujar wanita itu dengan nada tidak senang.“Kenapa memangnya? Tinggal ambil saja kok repot amat,” jawab Tommy dengan nada sewot.“Ambil, cepat sana keluar! Mengganggu saja bisanya!” hardik lelaki itu tanpa perasaan.“Ambil! Aku memberikan map itu baik-baik ya, Mas. Jangan seenaknya seperti itu!” ujar Mutiara sambil mengeratkan gerahamnya.“Alah, masalah begitu aja diribetin, sih?! Ya terserah kamu kalau masih mau di situ, yakin mau menonton aku yang lagi mau main sama Clarisa?”Dasar, lelaki biadab! Sorot mata Mutiara memancarkan kebencian membuat Tommy terkesima. Selama setahun ini, biar bagaimanapun dia menyakiti Mutiara, Wanita itu akan lempeng saja, sikapnya bahkan cenderung masa bodo dan acuh tak acuh? Dia bahkan mengira dirinya telah menikahi sebatang kayu, tetapi apakah kayu ini sudah punya hati sekarang?“Ambil map itu, atau aku tidak akan menemui Pak Rio! Kamu pikir aku mau menemui pak Rio demi apa? Demi perusahaan, demi menghidupi lelaki sepertimu! Kalau kamu gak bisa menghargai aku, aku akan resign dari perusahaan ini!”Tidak ada teriakan atau nada marah atau emosi, tetapi perkataan Mutiara bernada penuh tekanan dan ancaman. Lancang sekali, beraninya perempuan ini mulai mengancam ku? geram Tommy, tatapan mata lelaki itu sudah seperti membunuh lawan di hadapannya.“Kamu mau resign dari sini? Boleh saja! Tapi bayar dulu utangmu sebesar satu miliyar!”Ucapan Tommy yang mengancam itu malah ditanggapi senyum sinis oleh Mutiara, wanita itu bahkan kini menyilangkan tangannya di depan dada.“Sejak kapan aku hutang satu miliyar sama kamu?” tanya Mutiara dengan nada mengejek.Tommy semakin murka mendengar perkataan itu, selama satu tahun ini, setiap kali Tommy memaki, menghina mutiara, wanita itu hanya tertunduk tidak berani menampakkan wajahnya, sekarang kerasukan setan mana wanita itu berani menantang matanya itu.“Pamanmu yang berhutang! Dan kamu itu, jaminan hutangnya. Kamu harus sadar, kamu dinikahkan denganku untuk membayar hutang. Masih belum sadar, heh?”“Pamanku yang berhutang, kan? Hutangnya bahkan cuma satu miliyar.”“Cuma satu miliyar? Kau pikir uang segitu sedikit?”“Selama satu tahun aku bahkan sudah memberikan keuntungan di perusahaan ini lebih dari sepuluh miliyar. Bukankah itu sudah lebih dari bayaran? Sekarang kamu ambil map itu, berikan padaku baik-baik. Atau aku gugat perceraian dan kuviralkan apa yang kamu lakukan barusan!”Mendengar itu Tommy malah terkekeh, dia merasa lucu dengan perkataan Mutiara. Sambil menatap meremehkan lelaki itu mengambil map yang terjatuh di lantai. Dengan malas-malas lelaki itu memberikan map itu pada Mutiara, yang langsung diambil oleh Mutiara secara kasar.“Kamu mau membuatku viral? Apa kurang viral aku sekarang? Aku sudah terkenal di jagat Maya sebagai seorang konglomerat yang doyan gonta-ganti pasangan, walaupun sudah memiliki istri. Dalam waktu setahun, berapa orang yang sudah menghangatkan ranjangku? Yang jelas bukan kamu, perempuan yang sudah menjadi istriku. Aku tidak berselera denganmu, jadi terima saja nasibmu,” ujar Tommy sambil terkekeh.Mata mutiara melotot, dia benar-benar tidak habis pikir lelaki menjijikan ini ternyata adalah suaminya. Setidaknya kini dia bersyukur karena lelaki ini tidak berselera dengan dirinya, dia tidak rugi melayani nafsu bejatnya. Suasana semakin menyebalkan ketika dia menyadari situasi di sana, suara tawa genit sekretaris baru itu sungguh memuakkan. Ekspresi Clarisa semakin pongah, bibirnya tersenyum mengejek Mutiara, sementara tangannya bergelayut di leher lelaki itu.“Ayo, kita lanjutkan,” ujar Tommy dengan nada lembut merayu, bibir lelaki itu menelusuri leher jenjang Clarisa“Ah, sabar dong ….”Suara genit Clarisa membuat Mutiara semakin muak, dengan cepat wanita itu segera meninggalkan kedua pasangan mesum itu. Dasar tak tak tahu aturan! rutuknya.“Sepertinya istrimu marah, Sayang?” bisik Clarisa pandangnnya masih ke arah kepergian Mutiara.“Biarin aja! Ayo, kita selesaikan,” bisik Tommy.“Ah, pelan-pelan,” rengek Clarisa manja.Tetapi beberapa saat kemudian, Tommy mendorong Clarisa dengan kuat hingga wanita itu terjatuh.“Sayang, ada apa?!” tanya wanita itu dengan panik.“Keluar sana! Aku banyak pekerjaan!” ujar Tommy sambil menyugar rambutnya dengan frustasi.“Eh? Jadi, nggak jadi ini?” rengek Clarisa dengan susah payah bangun dan berdiri tegak.“Keluar! Aku banyak kerjaan, dengar tidak?”Clarisa terburu-buru keluar dari ruangan Tommy setelah mendapat bentakan dari lelaki itu. Aneh banget, bosnya itu. Biasanya dia akan bersemangat menindihnya dengan bermacam gaya, sekarang malah seperti tidak mood seperti itu.“Sialan kau, Mutiara!!!” geram Tommy sambil meninju meja.Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak
Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye
"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara. Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia."Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup."Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi "Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi."Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli."Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa tem
Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya."Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!" Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu. "Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan
Suara berisik dan lenguhan terdengar dari kamar mandi. Mutiara sudah tidak tahan, guyuran air dingin dari kran tidak dapat meredakan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, justru semakin membuatnya tersiksa. Kamar ini hanya dilengkapi dengan shower, tidak ada bath tub-nya. Tubuh Mutia sudah kedinginan, tetapi rasa aneh itu malah semakin menjadi-jadi. "Ouh!" lenguh wanita itu sambil meraba seluruh tubuhnya. "Ouh, aku kenapa? Ah ...."Ada perasaan nyaman ketika tangannya meraba bagian sensitifnya, perasaan itu menimbulkan sensasi tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.BrakTiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar, tentu saja Mutia terkejut luar biasa. Sesosok lelaki dengan tubuh tegap, rahang tegas dan di tumbuhi bulu-bulu halus, berdiri di pintu dengan mata menyipit menatapnya intens."Hei, siapa kamu? ke_ kenapa masuk ke ... ke sini?" tanya Mutia dengan gugup manakala lelaki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan."Pergi ... pergi ...."Dengan tubuh gem
Diaz duduk termenung di kursi kebesarannya, jarinya tak lepas menjepit sebuah rokok, menghisapnya perlahan, asap mengepul di ruangan ini menggumpal, lalu menyebar. Rais terpaksa membuka jendela, sudah sering diingatkan agar atasannya jangan merokok dalam ruangan ber-AC, tetapi lelaki itu mana peduli, akhirnya membuka jendela dan mematikan AC yang bisa Rais lakukan.Sejak pagi Diaz tampak galau dan gelisah, sudah hampir dua bungkus rokok yang dibakar sia-sia. Ketika ditawari makan siang, lelaki itu juga menolak. "Kenapa masih di sini? bukankah kau mau makan siang?" tegur Diaz yang melihat Rais masih berdiri di ruangannya."Apa anda mau memesan sesuatu? Nanti saya bawakan.""Ya, bawakan saja aku makanan yang bisa dimakan!" perintah Diaz dengan asal Kembali asap rokok memenuhi ruangan ini, rasanya Diaz benar-benar bisa gila memikirkan kejadian tadi malam. Malam tadi sebenarnya adalah malam impiannya, bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia memimpikan wanita itu dalam rengkuhannya, tetapi
Sampai ruangan Tommy, lelaki itu masih sibuk mengurusi dokumen di tangannya. Ketika melihat Mutiara, lelaki itu langsung meletakkan dokumen dan menatapnya dengan tajam."Kemarin kamu ke mana?" tanya lelaki itu dengan mata tajam.Mutiara sebenarnya gugup mendengar pertanyaan suaminya ini, namun sebisa mungkin dia menampilkan sikap wajar di hadapannya."Aku menginap di rumah Renita," ujarnya dengan nada biasa."Kenapa kau menginap di rumahnya?" buru Tommy dengan tidak puas."Aku bosan! di rumah juga tidak ada orang. Aku akan menginap di rumah mama, tetapi mama belum pulang juga. Aku hanya butuh teman ngobrol dan nonton drama bersama.""Setidaknya kau hubungi aku atau tinggalkan pesan.""Buat apa? selama ini kutelpon kamu juga tidak mengangkat, kukirim pesan juga tidak dibalas. Aku juga punya titik jenuh dan bosan. Bukankah kau melarangku ikut campur masalahmu? seharusnya kau juga seperti itu padaku.""Aku ini suamimu!""Hanya suami di atas kertas. Apa kau memanggilku demi ini?"Tommy te