Plakk!
"Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"
Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini.
Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini.
"Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi.
"Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku."
"Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"
Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku akan menyelesaikannya."
"Selesaikan sekarang juga! Dasar tidak berguna!" hardik lelaki itu sekali lagi sambil pergi meninggalkan wanita itu sambil mengacungkan jari untuk mengancamnya.
Mutiara Permatasari. Nama wanita yang kini hanya menunduk menahan sesak di dadanya.
Perlakuan lelaki itu semakin hari malah semakin keterlaluan, kata-kata kasar sudah jadi makanan sehari-hari baginya. Bukan hanya kata-kata kasar dan hinaan, kadang kala tangan lelaki itu juga melayang ke pipinya seperti saat ini.
Mata Mutiara yang tadi berkaca-kaca dia tahan agar tidak menetes, dengan berat hati dia mendongak ke atas, menyimpan air matanya agar tidak menetes.
"Bagaimana ini, Bu? Kita harus bagaimana?" Suara bernada takut-takut yang berasal dari asisten Mutia itu terdengar memecahkan suasana di ruangan itu.
Mutia menutup matanya meresapi rasa sesak yang semakin menghimpit.
Renita, asistennya ini menjadi saksi bisu apa yang sering dia alami, karena Renita lah yang selalu ada bersamanya. Apa yang barusan terjadi, sebenarnya masalah yang biasa terjadi, namun karena kliennya kali ini adalah salah satu investor besar yang selama ini diincar oleh Tommy, maka kesalahan Mutia menjadi sangat besar bagi lelaki itu.
"Coba kau telpon lagi pak Rio, semoga dia mau bertemu kembali denganku. Ini kesempatan bagus untuk menjalin kerjasama dengan Adiguna Group."
"Baik, Bu. Akan saya coba."
"Bu, jadi kita menemui Pak Rio lagi?" tanya Renita dengan tatapan kasihan pada atasannya ini.
"Iya, sekarang kamu telepon dulu, semoga dia mau menemui kita."
"Baik, Bu."
Mutiara melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tunggu tamu di sebelah resepsionis, lelaki itu memang tidak memiliki adab, di mana dia marah tidak memandang tempat dan situasi langsung diluapkan saat itu. Mutiara sebenarnya sangat malu diperlakukan seperti itu, tetapi apa daya dia juga tidak bisa melakukan apa-apa. Beberapa orang resepsionis yang melihat keberadaan Mutiara, berpura-pura sibuk tidak melihatnya. Mutiara juga hanya melirik sekilas, mereka seolah tidak peduli dengan pertengkarannya dengan Tommy, tetapi dia selalu mendengar para pegawai itu membicarakannya di belakang.
Sampai di ruangannya, Mutiara menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya, perasaannya benar-benar tertekan. Sudah satu tahun dia dinikahi lelaki itu, tak pernah sekalipun dia merasakan kebahagiaan memiliki seorang pasangan. Pernikahan yang dijalaninya hanya sekedar pernikahan di atas kertas. Selama setahun ini mereka bahkan belum pernah melakukan malam pertama layaknya pengantin pada umumnya. Entah sampai kapan dia menjalani hari-hari seperti di neraka ini. Dia sungguh tidak kuat lagi.
Mutiara menatap laporan keuangan yang terletak di atas meja, dia tercenung melihat laporan pengeluaran bulan ini, sudah melebihi limit. Semua uang itu diambil atas nama Tommy Sanjaya sebagai direktur utama. Buat apa laki-laki itu mengambil uang sebanyak ini? Sudah satu tahun dia menikah dengan lelaki itu, tak pernah sekalipun dia mendapatkan uang nafkah dari lelaki itu. Dia hanya mendapatkan uang dari hasil bekerja di perusahaan ini sebagai general manager.
"Bu, Pak Rio bersedia menemui kita di hotel Royal hari ini jam empat sore," ujar Renita beberapa menit kemudian.
"Oh ya? Ini sudah jam tiga lewat, cepat siapkan semuanya Ren. Proposal terbaru jangan lupa. Aku harus mengecek beberapa rencana sebagai opsi penawaran."
"Baik, Bu."
"Jam setengah empat kita berangkat."
"Siap, Bu."
Renita bergegas menuju ke ruangannya. Dia mengecek dua buah proposal yang sudah digarap olehnya dan Mutiara. Dengan cepat dia menuju ke ruangan Mutiara kembali.
“Ini, Bu. Proposalnya, belum ditandatangani Pak Tommy,” ujar Renata.
“Ini yang baru kita buat?”
“Iya, Bu.”
“Ini sudah kukirim ke email kamu, dokumen opsi penawaran dan perinciannya, kamu segera print rangkap dua, ya?”
“Baik, Bu. Saya akan kerjakan setelah meminta tanda tangan pak Tommy dulu.”
“Tanda tangan pak Tommy biar aku saja yang meminta, kita dikejar waktu, Ren. pak Rio bukan orang yang toleran terhadap keterlambatan. Sebaiknya kita harus sampai dulu di hotel itu sebelum dia.”
“Baik kalau begitu, Bu. Saya akan langsung kerjakan.”
“Pak Tommy ada di ruangannya, kan?” tanya Mutia ragu-ragu.
“Ada, Bu. Dia hari ini tidak kemana-mana.”
Mutiara bergegas menuju lantai 3, di mana kantor Tommy berada, sementara kantornya berada di lantai dua. Mutiara jarang menemui Tommy di kantornya jika tidak ada urusan penting mengenai pekerjaan. Lagipula Tommy juga tidak senang saat Mutiara datang menemuinya, entah apa yang dipikirkan lelaki itu, untuk apa dia menikahinya tetapi seperti jijik berdekatan dengannya.
Setelah sampai depan ruangan direktur, di meja sekretaris, tidak didapati Clarisa, sekretaris Tommy. Dengan langkah perlahan Mutiara menuju pintu ruangan direktur.
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."
Gerakan Mutiara terhenti saat ia mendengar desahan tak senonoh tersebut dari dalam ruangan suaminya.
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu. Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah s
Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak
Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye
"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara. Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia."Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup."Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi "Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi."Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli."Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa tem
Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya."Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!" Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu. "Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan
Suara berisik dan lenguhan terdengar dari kamar mandi. Mutiara sudah tidak tahan, guyuran air dingin dari kran tidak dapat meredakan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, justru semakin membuatnya tersiksa. Kamar ini hanya dilengkapi dengan shower, tidak ada bath tub-nya. Tubuh Mutia sudah kedinginan, tetapi rasa aneh itu malah semakin menjadi-jadi. "Ouh!" lenguh wanita itu sambil meraba seluruh tubuhnya. "Ouh, aku kenapa? Ah ...."Ada perasaan nyaman ketika tangannya meraba bagian sensitifnya, perasaan itu menimbulkan sensasi tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.BrakTiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar, tentu saja Mutia terkejut luar biasa. Sesosok lelaki dengan tubuh tegap, rahang tegas dan di tumbuhi bulu-bulu halus, berdiri di pintu dengan mata menyipit menatapnya intens."Hei, siapa kamu? ke_ kenapa masuk ke ... ke sini?" tanya Mutia dengan gugup manakala lelaki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan."Pergi ... pergi ...."Dengan tubuh gem
Diaz duduk termenung di kursi kebesarannya, jarinya tak lepas menjepit sebuah rokok, menghisapnya perlahan, asap mengepul di ruangan ini menggumpal, lalu menyebar. Rais terpaksa membuka jendela, sudah sering diingatkan agar atasannya jangan merokok dalam ruangan ber-AC, tetapi lelaki itu mana peduli, akhirnya membuka jendela dan mematikan AC yang bisa Rais lakukan.Sejak pagi Diaz tampak galau dan gelisah, sudah hampir dua bungkus rokok yang dibakar sia-sia. Ketika ditawari makan siang, lelaki itu juga menolak. "Kenapa masih di sini? bukankah kau mau makan siang?" tegur Diaz yang melihat Rais masih berdiri di ruangannya."Apa anda mau memesan sesuatu? Nanti saya bawakan.""Ya, bawakan saja aku makanan yang bisa dimakan!" perintah Diaz dengan asal Kembali asap rokok memenuhi ruangan ini, rasanya Diaz benar-benar bisa gila memikirkan kejadian tadi malam. Malam tadi sebenarnya adalah malam impiannya, bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia memimpikan wanita itu dalam rengkuhannya, tetapi