Analea tak dapat membendung air mata bahagianya. Meski ia menangis, senyum kelegaan terpancar di wajahnya. Setelah menghadapi berbagai rintangan, akhirnya ia sah menjadi istri Fabian. Seorang pria yang begitu baik dan telah beberapa kali menjadi dewa penolongnya. "Ayo, Sayang! Fabian pasti sudah tidak sabar menunggumu!" Maira menggandeng tangan putrinya. "Ehmm ... Ana, kamu mengingatkan Daddy ketika menikahi mamamu ini. Mamamu sangat cantiik. Persis seperti kamu saat ini." Maira tersipu mendengar pujian dari Rein. Analea dan Kaisar saling melirik dan tersenyum. Mereka bahagia melihat kedua orang tua mereka tetap mesra di usia yang sudah tak muda lagi. "Ayo, kita segera ke lokasi acara!" Rein meraih bahu Kaisar dan melangkah mengikuti Analea dan Maira yang ada di depan mereka. Netra Fabian terus tertuju pada Analea yang baru saja muncul dan melangkah pelan menuju kursi di sampingnya. Pak penghulu memberikan beberapa nasehat dan arahan pada kedua mempelai. Salah satu petugas KUA me
"Mereka pasti sedang bersenang-senang di sana ...," gumam Ratu sambil berdecak kesal. "Sabar ya, Non. Sebentar lagi Non juga akan menikah, bukan?" Sumi yang sedang merapikan rumah mencoba menghibur Ratu. "Astaga! Kenapa aku hampir lupa. Seharusnya Raihan mengajakku ke acara Analea. Tapi kenapa dia sama sekali tidak menghubungiku?" Ratu lantas berdiri dan mencari ponselnya. "Non segera saja minta dilamar sama Tuan Raihan. Non tidak akan hidup susah jika menikah dengan Tuan Raihan." Sumi melihat Ratu sedang sibuk menghubungi seseorang. "Brengsek! Kenapa panggilanku tidak diangkat? Bisa-bisanya dia lupa dan dan tidak mengajakku di acara pernikahan Analea! Setidaknya Raihan bisa mengembalikan aku pada kehidupanku semula. Keluarga sombong itu pasti akan menyesal karena telah mengusirku," bathin Ratu sambil berdecak kesal. "Bagaimana kalau besok Non temui saja Tuan Raihan? Katakan padanya kalau Non ingin pernikahannya segera dilaksanakan!" Ratu menoleh pada Sumi. Pendapat wanita paruh
Tak ada rayuan mesra ataupun kata-kata romantis dari bibir Fabian. Netra kecoklatan pria berdarah brazil itu meredup dengan napas memburu. "Leaa ... I love you!" bisik Fabian yang mulai bergerak gaduh di atas tubuh Analea. Napasnya menyapu hangat wajah cantik yang kini nyaris tak berjarak dengan wajahnya. Tanpa aba-aba lagi bibir mereka pun menyatu. Fabian mulai bermain-main di sana. Tangan kekar dan lebar miliknya pun tak bisa diam bergerak sesukanya. Analea mulai menikmati sentuhan-sentuhan pada tubuhnya. Sesekali ia mendesah, mengerang dan bergumam tak jelas. Ia merasakan jemari Fabian mulai menyentuh bagian-bagian sensitifnya. Hingga tubuhnya mulai menegang merasakan sensasi yang luar biasa. Ia bergerak pasrah ketika Fabian mulai melucuti satu persatu yang melekat pada tubuhnya. Analea merasa wajahnya merah merona ketika Fabian memandangnya tak berkedip setelah suaminya itu berhasil membuatnya polos tanpa sehelai benangpun. Kini dua tangan Fabian mulai sibuk menarik ikat pingga
Analea sengaja membiarkan ponselnya terus bergetar tanpa mengangkatnya. Ia hanya memperkecil volume deringnya agar Fabian tidak terjaga. "Untuk apa Raihan menghubungiku? Apa, sih maunya dia?" Analea berdecak kesal. Ia khawatir Fabian terjaga. Netranya berpindah-pindah pada wajah Fabian dan ponsel yang masih bergetar. "Bagaimana ini?" Beberapa detik kemudian, ponsel masih berada di tangannya saat tiba-tiba saja Fabian membuka mata. Ia merasa terganggu dengan suara getar ponsel itu "Kenapa tidak diangkat? Siapa yang menelpon?" Suara berat Fabian membuat Analea terkejut. "Ini Kak ... R-raihan. Aku nggak tau apa maunya dia." Analea bicara hati-hati. Ia khawatir Fabian akan kembali tersulut emosinya. Masih jelas terbayang di ingatannga, betapa wajah Fabian yang menggelap ketika menghantam wajah Raihan di kamar rias pagi tadi. Ternyata benar dugaannya. Fabian mendengkus kesal dan bangkit untuk duduk. Analea bernapas lega karena ponselnya tak lagi bergetar. "Sekarang tolong Lea cerita
"Kamu lagi! Untuk apa sebenarnya kamu ke sini?" Suara Fabian yang mendominan cukup menarik perhatian beberapa orang yang sedang melintas di restoran itu. "Maaf, Fabian, Analea. Apa boleh aku ikut duduk di sini?" Wajah Raihan penuh harap menatap Fabian yang rahangnya mulai mengeras. "Hmmm .... " Fabian membuang pandangannya dan mendengkus kesal. Melihat itu Raihan menggunakan kesempatan untuk duduk pada salah satu kursi dan mendekat pada Fabian. "Bian, tolong maafkan aku. Saat ini kesehatan ayahku drop dan harus dirawat di rumah sakit. Semua ini gara-gara aku. Tolonglah, Bian!" Analea terkejut mendengar penjelasan Raihan. Ia tidak menyangka masalahnya akan seperti ini. Netra teduh Analea memandang Fabian dengan cemas. Ia berharap suaminya itu mau memaafkan Raihan. "Bian ..., please ...!" Fabian menoleh dan memandang tajam pada Raihan. "Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan pada Analea tadi pagi?" Raihan menghela napas berat. Ia tidak langsung menjawab. Sesaat tampak ia sedang
"Aku mau mandi!" Ratu bertolak pinggang berdiri di depan pintu kontrakan. "Tunggu ya, Non. Masih antri. Non berdiri dulu di barisan itu biar cepat!" Dengan hati-hati Sumi menunjuk para penghuni kontrakan yang sedang berdiri mengantri di depan kamar mandi. "Apaa? Kamu suruh aku berdiri di sana?" Ratu melotot ke arah antrian itu. "Iy-iyaaa, Non. K-kalau pagi-pagi banyak yang mau berangkat kerja. Jadi mandinya antri," jawab Sumi takut-takut. "Kamu aja yang antri! Aku malas bergabung sama orang-orang itu!" Ratu kembali masuk ke kamar kontrakan dan kembali merebahkan tubuhnya di kasur busa. Sumi hanya bisa menarik napas berat, lalu mulai ikut mengantri bersama para penghun kontrakan. "Heh, Sumi! Bukannya tadi kamu udah mandi? Kenapa sekarang antri lagi?" tegur salah satu penghuni kontrakan yang juga sedang mengantri. "Saya antri untuk ... untuk ...." Sumi bingung ingin menjelaskan siapa Ratu pada tetangganya. "Untuk siapa? Untuk perempuan sombong yang ada di kontrakan kamu itu?" sa
"Ratu ... kamu di sini?" Ratu seketika berhenti menoleh pada Analea yang muncul dari kaca jendela mobil. "Iya. Memangnya kenapa? Aku mau membesuk calon mertuaku," sahut Ratu dingin. "Ya sudah, kita sama-sama saja kalau begitu. Gedungnya masih jauh loh, dari sini. Ayo naik!" Analea mengerling ke arah pintu depan agar Ratu naik ke mobilnya dan duduk di sebelah supir. "Nggak usah! Mentang-mentang aku jalan kaki, kamu mau menghinaku!" tolak Ratu sambil membuang pandangan. Ia malu karena saat ini wajahnya penuh dengan peluh dan rambut yang berantakan. Berbeda dengan tampilan Analea yang sangat cantik dan rapi. Apalagi di sebelah Analea kini ada Fabian duduk tanpa menoleh pada Ratu. "Astaga, Ratu! Aku ajak kamu itu baik-baik, loh!" Analea kesal karena dituduh menghina oleh Ratu. Padahal niatnya baik. "Sudahlah Lea, sebaiknya kita pergi saja!" sanggah Fabian ikut geram. "Pak, jalan!" Mobilpun melaju meninggalkan Ratu di tepi jalan masuk rumah sakit itu. "Sial! Harusnya mereka bisa bu
"Ayo aku antar pulang!" Raihan bangkit dan berjalan menuju area parkir. "Ck! Aku belum selesai bicara, Raihan!" Ratu ikut bangkit lalu menghentakkan kakinya. Namun akhirnya ia tetap mengikuti langkah kaki Raihan hingga ke mobil. "Ayo naik!" Raihan telah duduk di belakang kemudi. Sedangkan Ratu duduk di samping Raihan. Ia masih penasaran tentang apa yang dilakukan Rehan kemarin pagi di acara pernikahan Analea. Rehan melajukan mobilnya ke satu arah. "Kamu mau aku antar ke kantor?" "Tidak! Jangan!"cegah Ratu. "Kenapa? Kamu tidak kerja hari ini?" "B-bukan begitu tapi ...." Ratu tiba-tiba ingat bahwa dia ke rumah sakit tidak datang sendirian. "Astaga! Sumi!" bathin Ratu dalam hati. Ia tiba-tiba teringat pada Sumi yang sedang menunggunya di pos satpam. Ratu berpikir sejenak bagaimana caranya agar Sumi bisa pulang tanpanya. Tak lama kemudian ia mengirim pesan pada Sumi agar pulang lebih dulu. "Jadi aku antar kamu ke mana?"tanya Raihan tak sabar "Antar aku pulang saja!" Jawa