"Itu enggak mungkin, Mak. Lagi pula, aku memang sengaja enggak berpamitan pada Emak. Percuma. Emak pasti melarang dengan berbagai alasan. Kalau Emak datang ke sini hanya untuk memaksa, lebih baik Emak pulang. Aku bukan anak kecil lagi. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.""Keterlaluan kamu, Bas! Tega sama Emak. Ingat, Bas. Kamu itu enggak ujug-ujug gede. Kamu Emak susui, Emak rawat sampai dewasa. Disekolahkan supaya jadi anak yang pinter. Sekarang ini balasanmu?" Emak menangis. Tapi aku paham. Itu hanya air mata buaya."Tolong, Mak. Jangan seperti ini. Malu didengar tetangga." Aku mengelus pundak Emak."Minggir tanganmu! Enggak perlu sok peduli pada Emak. Apa kamu memang sengaja mau membuat Emak dan Romi malu?! Hah! Kamu tiba-tiba pergi ketika video itu tersebar di grup RT. Romi dicecar oleh teman-temannya. Pun dengan Emak. Ibu-ibu jadi tidak mau berkawan.""Video? Kalau itu benar, seharusnya Emak dan Mas Romi sadar kalau perbuatan kalian itu tidak memalukan. Kenapa Emak malah meny
Aku sedikit kesal karena istriku hanya diam ketika direndahkan orang. Meski aku salut pada kesabarannya dalam menjalani hidup. Dulu Isma adalah tetanggaku sendiri. Aku mengenalnya sejak kecil. Aku menyukai sederhanaannya, keluguannya, dan kesabarannya. Aku sadar, memang tak mudah untuk merubah sifat dan karakter seseorang. Bahkan aku sering mendengar, kalau batuk bisa diobati. Tapi, belum tentu dengan watak. Setidaknya, aku tidak merubahnya, hanya memberi semangat pada dirinya."Lain kali jika kamu mendengar lagi tetangga sebelah membicarakanmu dan kamu melihat langsung, jawab saja. Jangan takut. Sabar atau mengalah memang bagus, Dek. Tapi, jika terlalu sabar pada orang-orang seperti mereka, yang ada kamu akan diinjak-injak. Terkecuali kamu sabar menghadapi suami yang suka menaruh handuk basah di kasur atau menikmati irama mendengkurku ketika sedang tidur." Kuangkat sebelah alisku dan melirik Isma. Di tersenyum mendengar ulasan terakhirku."Akan kucoba, Mas. Tapi, aku enggak yakin bis
Pagi harinya, seperti biasa istriku membeli sayur. Aku memperhatikannya dari teras rumah agar bisa mendengar jika ada yang menggunjing kami lagi. Sembari menggendong Tegar aku menimangnya. Dalam hati berdoa. Agar kelak dia tak mewarisi sifat Mas Romi. Ada yang bilang, kalau anak dirawat dari bayi, nanti akan mirip dengan yang mengasuhnya. Kuperhatikan semakin lama, dia memang sedikit mirip denganku. Atau karena aku sudah terlanjur sayang pada si Tegar?"Isma, apa kamu enggak kasihan dengan suamimu? Masak ditinggal merantu malah selingkuh. Sampai ada anaknya pula. Ist, amit-amit." Dari kejauhan bibir Mbak Tias terlihat mengerucut.Aku berharap Isma bisa menguasai hatinya agar tidak baperan dan diam tanpa melawan."Sebaiknya Mbak Tias belajar menjadi wartawan. Agar tidak termakan berita hoak dan lebih teliti dalam mencerna berita. Mulutmu harimaumu, Mbak." Suara istriku akhirnya keluar. Dia terlihat tenang sembari memilah sayur yang ada di gerobak."Eh, hoak apaan? Orang ini sumbernya
Ini justru bagus. Aku yakin, seorang ayah pasti mempunyai rasa kangen dengan buah hatinya. Pun dengan Mas Romi. Akan kupastikan dirinya merasakan perih ketika nanti Tegar tak mengakuinya sebagai orang tua kandung.Kulepas dekapan. Kupegang kedua pipinya dan berkata, "Dengarkan aku, Dek. Sekali lagi, kuasai emosimu. Jangan biarkan ketakutan merajai hatimu. Anggaplah Mas Romi seperti nyamuk yang sangat kecil. Dia tak segan-segan menghisap darah manusia. Tapi, kita bisa dengan mudah membun^hnya." "Maksudnya, aku harus merac^ninya?" Isma mendorong tubuhku. Lalu berdiri memunggungiku. "Enggak, Mas. Aku enggak mau menjadi pembun^h."Aku tertawa sembari menepuk-nepuk pinggiran kursi. Lalu berdiri dan membalikkan badannya. Sehingga wajah kami berhadapan. "Dengarkan aku. Aku tidak menyuruhmu menjadi pembun^h. Tapi, itu cuma perumpamaan. Kalau orang jahat pun akan kalah jika dilawan. Pokoknya, ketika kamu berhadapan dengan Mas Romi ..., ingatlah! Dia cuma se-ekor nyamuk. Macam-macam gilas saja
"Memangnya, masih laku, Mbak? Bukannya pria kalau mencari yang masih muda.""Kamu kelamaan di rumah, Bas. Bahkan ada yang pernah melihat kalau dia gandengan sama brondong."Aku geleng-geleng kepala mendengar cerita Mbak Nis. Dia asli warga sini. Tentu tahu dan paham kebiasaan tetangganya. "Apa dia enggak takut kena penyakit yang berbahaya itu, Mbak?""Enggak tahu juga, Bas. Orang anak sudah besar-besar, tinggal menikmati hidup, ngibadah, malah aneh-aneh. Alasannya karena kebutuhan banyak. Karena Pak Darmin cuma buruh tani. Ya sudah, Bas. Aku pulang dulu." Mbak Nis kembali ke kediamannya di belakang.Aku berkali-kali mengelus dada. Aku bersyukur, meski hidup pas-pasan, istriku tetap setia padaku.Ponsel berdering. Ketika kulihat layar, ternyata Miko."Ada apa lagi, Brow? Katanya cancel.""Brow, mending tutup pintu dan kuci. Sekalian jendela juga. Aku tadi berpasan dengan Romi dan Mak-mu. Ketika aku basa-basi bertanya pada Emak, katanya dia mau ke rumahmu. Romi kangen anaknya, bilangny
Aku adalah orang tua jahat yang tidak bisa adil pada kedua anakku. Aku tidak menyalahkan Ibas jika dia membenciku karena aku terkesan membela kakaknya. Aku tahu, Ibas sangat menderita akibat ulah Romi yang telah menikungnya dari belakang. Dada ini terasa sesak dan mata kian memanas ketika melihat Romi yang tak bisa menyentuh anaknya. Aku tahu, meski perawai putra sulungku tercela karena kerap kali judi dan mengonsumsi minuman haram, dia sebenarnya mempunyai hati yang tulus. Masa lalu yang membayangiku membuat hati ini tak tega melihat Romi menderita. Sejak kecil dia sudah iri pada Ibas karena kedekatannya dengan Mas Gufron--mantan suamiku. Kemana pun pergi, Ibas lah yang akan dibawa bapaknya. Sehingga menghadirkan kecemburuan. Romi kecilku tidak bisa protes. Pun dengan aku, tak dapat melarang apa pun kegiatannya. Memang, dia adil dalam hal materi, tapi untuk kasih sayang selalu berat sebelah. Meski aku sadar, Romi bukan lah anak kandung dari mendiang suamiku."Bas, lihat! Kamu suda
Untung saja, lambat laun Ibas mau mengabulkan permintaanku untuk tidak memperkarakan ke jalur hukum. Aku juga merasakan apa yang dirasakan Isma. Pasti dia merasa kotor dan prustasi. Karena dahulu aku juga merasakannya.Tapi apa boleh buat. Takdir bukan untuk ditangisi. Tapi, sebisa mungkin kita beradaptasi. "Bas, Emak mohon. Berikan kesempatan ke dua untuk kakakmu agar dia bisa memperbaiki dirinya. Kalau kamu terus-terusan menyalahkan Romi, yang ada dia akan membuat kesalahan baru." Setelah sekian lama, aku baru mengeluarkan air mata di hadapan putra-putraku."Mungkin nanti, Mak. Karena untuk saat ini hatiku masih terasa sakit. Sebelum Isma kembali seperti dulu, menjadi dirinya yang mandiri dan selalu ceria, aku tak akan pernah menganggap Mas Romi kakakku." Begitu tajam mulut Ibas dalam mengecam. Hingga ulu hati ini terasa nyeri. Sekeras itu hati Ibas. Sampai tak bisa membuka sedikit celah untuk kakaknya sendiri. Kupikir, setelah Isma berbadan dua dengan pria lain, Ibas akan meningg
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ingin meng-iyakan untuk menginap malu, karena aku sudah mengecewakan dirinya. Minta diantar pulang, apa lagi. Di kampung halaman, semua orang sudah tahu kalau kami berselisih.Dalam otakku saat ini hanya ada Romi. Aku tidak mau dia melampiaskan kekesalannya pada minuman haram yang biasa ia tenggak."Bagaimana, Mak?" Ibas mengulang pertanyaannya.Dengan terpaksa aku mengangguk dan minta diantar pulang. Karena di sana adalah tempat ternyamanku."Dek, kamu enggak apa-apa 'kan kalau kutinggal sebentar? Jika ada apa-apa teriak saja. Tetangga banyak yang di rumah dan jaraknya dekat-dekat." Ibas memegang pundak istrinya. Kemudian mengecup keningnya. Isma menatap suaminya nanar dengan mendekap Tegar."Isma, maafkan Emak jika sudah membuatmu sakit hati." Aku mendekati menantu yang selama ini telah kusia-siakan.Isma bergeming, lalu membalik badan dan kembali ke kamar. Mungkin dia belum bisa menerima maafku. Tidak masalah, karena memang memaafkan itu sulit bag