Pernikahan Pangeran Balaputeradewa dan Ganika berlangsung sangat meriah tanpa gangguan yang berarti. Semua begitu indah bagi Sang Pangeran. Namun seperti bencana bagi Ganika yang tidak mungkin mengelak lagi. Bagi Mahamentri I Halu pernikahan ini sekaligus akan memantapkannya mengusai tanah Walaing. Maka betapa terkejutnya Ganika ketika ia langsung diboyong Sang Pangeran menuju tanah kelahirannya itu.Rumah-rumah dan pendapa yang sempat diratakan pada saat penyerangan itu, sekarang telah dibangun dengan megah dan indah. Semua mata orang-orang Walaing itupun menatap tandu yang membawa Mahamentri I Halu dan istrinya memasuki perdikan. Beberapa orang bahkan terbelalak tidak percaya melihatnya, terutama Pawana yang masih sering mendatangi Walaing diam-diam."Putri Ganika?Benarkah itu putri Ganika?" Pawana terpana. Gadis yang pernah diinginkannya, saat ini menjadi putri boyongan yang dinikahi musuh mereka."Bukankah itu putri Ganika?" Seru beberapa orang yang berada di tepi-tepi jalan. Se
Air mata Pangeran Balaputeradewa menetes membasahi pipinya. Belum pernah selama hidupnya ia merasa dipermainkan seperti ini. Harga dirinya sebagai laki-laki sungguh terluka meskipun akhirnya ia bisa menguasai Tanah Walaing, namun tanpa lontar yang diinginkannya."Karma itu ada Pangeran. Tak ada waktu untuk menyesalinya. Berbuatlah lebih banyak kebajikan dan mulai tata hati serta pikiran, Paduka." Mpu Wirathu menasehatinya setelah ia mengetahui semua kejadian yang dialami Sang Pangeran.Pangeran Balaputeradewa sendiri akhirnya mengerti apa yang di dalam ajaran Sang Sidharta di sebut sebagai samsara. Cintanya menjadi sumber penderitaannya kini. Sama seperti Ganika yang tidak mampu membunuhnya, maka ia-pun tidak mampu membunuh Ganika. Setiap kali jauh darinya, kerinduan menyiksanya namun setiap kali menatap Ganika, ia tidak melihat cinta yang menyala di mata gadis itu.Balaputeradewa memang tidak menahan Ganika, namun mengurungnya di kamarnya. Hanya seorang dayang yang diperbolehkan masu
"Aku mendengar suara-suara aneh di atas genting. Seperti orang merayap. Ilmunya cukup tinggi agaknya, karena tak seorangpun menyadari keberadaannya selain diriku." Kata Pangeran Balaputeradewa dalam hati. Pangeran Balaputeradewa melihat wajah istrinya. Ia tertidur dengan nyenyak. Perlahan Sang Pangeran meraih tombak pendek unik miliknya yang tersimpan di bawah tempat tidurnya. Kemudian ia membacakan mantera dari ilmu jaring warih yang ternyata tidak hanya bisa untuk senjata namun juga bisa sebagai perlindungan.Saat mantra selesai di baca, seluruh tempat tidur Ganika dan Ganika terbungkus gelembung air besar seperti dom. Tidak satu senjatapun mampu merobek dom terbuat dari air tersebut. Kemudian Pangeran Balaputeradewa melangkah keluar perlahan. Ia ingin agar penyusup itu tidak masuk ke kamar dan membahayakan Ganika. Jika memang harus bertempur maka Pangeran akan meladeninya di luar.Benar saja. Saat Sang Pangeran keluar, ia melihat ada sosok bertopeng merayap di wuwung rumah atau a
Kematian Pawana tidak hanya membahana di Walaing saja, namun terdengar hingga pelosok Medang. Hal ini kemudian digunakan oleh Maharaja Rakai Garung untuk memantapkan langkah selanjutnya.Ia mengincar wilayah Panaraban dan Kelasa.Hal ini tentu membuat Wiku Sasodara murka. Ia marah yang semarah-marahnya. Sampai Jentra dan Amasu cukup kebingungan di dalam meredakannya."Dasar bodoh, tolol! Mengapa kubiarkan semua ini terjadi> Anak itu telah membuat berbagai kerusakan karena ego dan nafsunya." Kata Wiku Sasodara.Matanya yang biasanya jernih tiba-tiba terlihat memerah. Dua tangannya bergetar hebat. Tiba-tiba Jentra dan Amasu merasakan bumi yang dipijak ikut bergetar kencang. Angin dari segala penjuru mengepung tubuh bikku yang sedang marah itu."Maruta Alun." bisik Amasu.Sang Bikku-pun mengendalikan energinya dari nafasnya yang teratur. Semakin nafasnya panjang, semakin besar angin yang ditimbulkannya. Tiba-tiba ia menarik udara yang besar itu berkumpul. Sebuah topan dahsyat-pun menuju p
Saat Jentra dan kawan-kawannya tiba di sima Panaraban, beberapa persiapan sudah dilakukan. Namun Jentra melihat persiapan itu sama sekali sia-sia karena ia tahu pasukan Medang yang diturunkan akan puluhan ribu jumlahnya."Sandi musuh datang!" Teriak salah seorang prajurit. Mereka langsung mengepung Jentra dan teman-temannya.Rakai Panaraban dan Mpu Kumbhayoni-pun keluar dari dalam benteng pertahanan yang telah disiapkan. Gaurika yang melihat kakaknya Mpu Kumbhayoni, Megarana dan Laturana-pu segera turun dari kuda."Kangmas Kumbhayoni!" Teriaknya tanpa bisa membendung air matanya. Mpu Kumbhayoni-pun memeluk adiknya itu."Tahan!" Teriak Rakai Panaraban setelah mengetahui bahwa yang datang bukanlah musuh, melainkan utusan dari wiku Sasodara. Para perajurit itu-pun menurunkan senjata mereka, namun dengan penuh kewaspadaan tetap menjaga jarak dengan Jentra dan kawan-kawan. Mereka cukup hati-hati dengan pandangan tidak bersahabat. maklum yang datang adalah Panglima Medang yang dikenal sang
Persis seperti yang diramalkan oleh Sasodara. Panaraban luluh lantak tak berbekas selain puing-puing dan mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Amasu, Rukma, Wiku Sasodara yang memeriksa tempat itu hanya bisa mengelus dada dan menyeka air mata setiap waktu.Jenasah Rakai Panaraban dan para Tumenggung-pun ditemukan diantara reruntuhan bangunan dan semua dibersihkan oleh Rukma dan Amasu. Jenasah itu disucikan dan dibungkus dengan kain. Beberapa perajurit Medang yang ditinggalkan mencoba menghalangi mereka. Namun Wiku Sasodara menghardiknya."Apakah kalian tidak mengenaliku? Aku adalah wiku Sasodara, paman dari permaisuri Sri Kahulunan. Aku hanya ingin memperlakukan jenasah orang-orang ini dengan sedikit hormat dan tidak membiarkan burung pemakan bangkai mengoyak mereka." Kata Sang Wiku yang membuat para perajurit itu mundur."Guru, akan kita kemanakan jenasah-jenasah ini. Kita bawa atau sekaligus kita sucikan di sini?"Tanya Amasu."Sebaiknya kita sucikan dan kita kremasi di tempat ini
Pagi-pagi sekali Jentra telah mengumpulkan perbekalan untuk mendaki Udarati. Ia membagi beban dengan seluruh anggota yang akan ikut mendaki, berdasarkan keterangan Ganandara dan Kawindra mengenai vegetasi dan kondisi pasokan air dan pangan. "Apa saja yang kau bawa Jentra?"Tanya Amasu."Beras, empon-empon (sebangsa kunyit, jahe, cabe jawa, kencur dsb), minyak kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan dan kain tebal. Sisanya kita bisa berburu di hutan. Kata Kawindra banyak babi besar atau kijang yang bisa dipakai menambah perbekalan kita."Jawab Jentra."Tapi akau dan guru tidak makan daging." Amasu mengingatkan Jentra."Jangan kuatir wiku Amasu, saya juga menyiapkan beras ketan dan gula merah. baik dari kelapa maupun aren. Konon makanan manis akan menambah tenaga kita." Jawab Candrakanti"Ah, kau memang selalu bisa diandalkan, Candra sayang." Amasu nampak gembira."Naik gunung juga belum, sudah mengkuatirkan makanan. Dasar guru Amasu." Rukma menimpali sambil tertawa."Itu memang penting Ruk
Sore itu, cahaya bulan telah mulai nampak memerah sinarnya. Dyah Ayu Meitala memandang putranya yang nampak takjub dengan indahnya cahaya rembulan itu. Dyah Ayu Meitala-pun meneteskan air matanya sambil mengelus rambut tebal putranya. Saat memandang bulan itu, Pangeran kecil wangsa Sanjaya itu bernyanyi sebuah kidung kuno yang bahkan belum pernah di dengar oleh Dyah Meitala. Kidung itu sedih sekali, seolah berisi pengajaran betapa sia-sianya cinta yang hanya akan menghasilkan derita. Namun betapa terkejutnya Sang Dyah Ayu ketika ia memperhatikan lagi putranya yang ternyata menggunakan kekuatan bulan untuk mengukir sebuah batu hanya dengan jari kecilnya.Kalwang-pun terkejut melihatnya"Ah, Gusti kau sangat pintar melukis batu." Katanya"Ya, benar. Lukisan sulur gelung yang indah dan ada bunga-bunga juga. Tetapi apakah batu itu tidak keras?" Munding menambahkan sambil bertanya."Aku tidak hanya bisa menggambar ini di batu. Tetapi aku bisa menyusunnya menjadi perwara kecil." Kata Mpu P