"Tinggalkan Daryan! Seratus juta itu jadi milikmu." Wanita paruh baya bergaya elegan itu menunjuk amplop coklat di atas meja dengan dagunya.
"Ma--maaf, aku tidak mangerti maksud anda," jawabku dengan suara gugup.
"Ucapanku cukup jelas. Putraku hanya sedang tersesat hingga jatuh cinta pada gadis sepertimu. Saat dia sadar nanti, dia pasti akan segera meninggalkanmu begitu saja."
Aku terdiam. Ucapannya terasa begitu merendahkan harga diriku.
"Kalau anda berpikir seperti itu, kenapa malah memberikan uang? Kenapa tak menunggu saat itu tiba saja?"
Matanya menyipit. Merasa tertantang.
"Aku sedang berbaik hati padamu. Tak ingin kau terlanjur berharap. Nasibmu tidak semujur itu. Carilah pasangan yang pantas. Daryan berhak mendapatkan gadis yang sederajat dengannya."
Aku terdiam. Wanita ini berkata benar. Kisah Cinderella hanya ada dalam dongeng dan cerita fiksi romance. Bahkan para crazy rich sekarang sudah menjodohkan anak mereka sejak dalam kandungan.
"Kenapa tidak anda katakan saja hal itu pada Daryan? Maaf, tapi uang anda tidak bisa membeli perasaan saya."
Aku memundurkan kursi kafe, lalu bangkit hendak meninggalkannya.
"Aku tambah dua puluh juta. Katakan padanya kalau kau yang menyerah akan hubungan kalian. Kurasa dia akan mendengarkanmu."
Aku berdecih. Daryan pasti berusaha mati-matian mempertahankanku di hadapannya. Aku tak menggubris ucapan wanita arogan itu. Lalu kembali berbalik.
"Lima puluh juta. Atau kau tak akan mendapatkan apa pun, karena aku akan gunakan berbagai cara agar Daryan menjauhimu. Kau akan rugi besar, nona."
Aku menahan langkahku. Kemudian menarik sudut bibir. Lalu berbalik dan mengulurkan tangan padanya.
"Baiklah. Seratus lima puluh juta. Deal!"
***
"Dasar murahan! Kau melepaskanku hanya dengan uang segitu?" Pemuda itu mengamuk saat mengekor ke kamar kosku.
Aku tertawa pelan, sembari menghitung jumlah uang cash yang diberikan ibunya padaku. Selebihnya dia transfer ke rekening.
"Aku bilang satu milyar. Kau dengar? Sa-tu mil-yar. Itu hargaku!" Dia terlihat emosi.
"Sudahlah, Yan. Uang segini sudah terlalu banyak buatku. Seumur hidup dengan penghasilanku yang sekarang pun belum tentu bisa menabung uang sebanyak ini."
"Tapi aku terlihat murahan, May." Aku terkekeh geli mendengarnya.
"Kau pergilah. Jangan datang kemari lagi. Ibumu pasti akan mengawasi."
"Enak saja! Aku sudah membantumu mendapatkan uang dengan mudah. Kau mau mengusirku begitu saja?"
"Mudah katamu? Jantungku hampir copot saat berhadapan langsung dengan ibumu. Idemu sungguh gila."
"Aku melihat wajahmu berubah saat di kafe. Di bagian mana kata-kata ibuku yang menyinggung perasaanmu?"
Aku tertegun. Sekilas menatap wajahnya. Lalu mengalihkan pandangan.
"Tidak ada. Semua hanya akting. Apa terlihat meyakinkan?" Aku tertawa kecil.
"Harusnya kau bertahan sedikit lagi. Jual mahal sedikit saja. Setidaknya kau terlihat lebih memilih dan mempertahankanku."
"Kau tidak dengar ibumu bilang apa? Dia tidak akan menambah uangnya lagi. Semua rencana akan sia-sia."
"Tapi setidaknya pria tampan sepertiku tidak cuma seharga itu. Bahkan jam tangan yang kupakai lebih mahal dari harga diriku." Dia mengusap tengkuknya dengan bibir mengerucut.
Lucu sekali.
~~~
Aku berjalan memasuki kedai kopi. Berjalan menaiki anak tangga ruko menuju lantai dua. Pemuda yang sedang duduk bersandar di balik meja kerja itu langsung menurunkan kakinya yang tadi menyilang di atas meja.
"Kau? Di sini?" Dia tampak terkejut.
"Hutangku lunas. Berikan kwitansi dan juga surat rumah itu!" Aku melempar amplop berisi segepok uang ke atas meja.
Matanya membesar. Lalu meraih dan mengintip ke dalamnya.
"Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini?" Wajahnya berubah masam.
"Bukan urusanmu. Mulai sekarang berhenti mendatangiku ataupun meneror lagi keluargaku. Aku tak mau lagi bertemu denganmu."Dia mengambil napas kasar, lalu melempar kembali amplop itu. Kembali bersandar pada kursi, layaknya seorang Direktur perusahaan."Kau pinjam ke rentenir mana lagi? Kembalikan saja. Aku akan beri kelonggaran." Dia mulai bernegosiasi."Bukan urusanmu. Kau atau siapa pun sama-sama rentenir. Tidak ada bedanya.""Sudah kubilang aku beri kelonggaran. Kau bayar pokoknya saja. Hanya lima puluh juta, tidak perlu pakai bunga. Tapi kembalikan uang itu. Kau bisa terus mencicilnya." Pria bertubuh tinggi tegap itu menurunkan nada bicaranya."Dasar orang aneh. Kepalamu itu baru saja dipukul orang, ya? Apa kau lupa, kemarin-kemarin kau selalu datang dan membuat keributan. Marah-marah tidak jelas agar aku segera melunasi hutang Ayahku."Dia terdiam, kemudian kembali menarik napas.Meski sudah setahun belakangan aku berurusan dengan laki-laki ini, namun hingga sekarang aku masih be
Cuaca hari ini begitu terik. Aku hampir kerepotan melayani para pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa.Sudah satu tahun ini aku membuka usaha bubble drink di sekitaran kampus. "MAY BOBA" aku membuat namanya. Bermodalkan sebuah booth container serta dua buah kursi panjang dan juga meja.Sebenarnya usahaku lumayan ramai. Posisi stand yang strategis membuat para mahasiswa banyak berdatangan untuk membeli minuman kekinian yang lagi hits. Namun semua yang kuhasilkan tetap saja tak bisa kunikmati, karena harus terus-terusan membayar hutang Ayahku yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi biaya sekolah Adit. Tak ada niat sedikit pun dari Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab itu. Judi online membuatnya seperti kehilangan kewarasan dan semangat untuk bekerja.Aku menghampiri Daryan yang baru saja datang dan duduk di kursi yang telah kusediakan di depan booth container."Sudah kau bayar hutangmu?" tanyanya dengan tenang."Hem." "Surat rumahnya?""Aman.""Lalu, Ayahmu?""Dia bahkan tak b
Daryan tidur dengan lelap saat aku masih berselancar di dunia maya. Sampai terdengar bunyi dering ponsel dari bawah kakinya. Aku mendekat untuk melihat siapa yang memanggilnya."Yan, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kaki panjang itu."Hem," sahutnya setengah sadar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. "Pulang sana. Ibumu khawatir.""Hem." Dia tak peduli, lalu membalikkan badan memunggungiku."Ponselmu berbunyi. Dari ibumu."Dengan malas dia berusaha untuk duduk. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan itu terlihat menawan. Aku tersenyum tipis. Lalu menepis pikiran yang ada di dalam kepalaku."Cepat pulang!" perintahku. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum."Kau hanya kesal karena tidak kebagian tempat tidur, kan?" Dia berdecak. ~~~"Choco boba satu." Suara itu terdengar dari kursi. Aku yang berada di balik booth container langsung melihat sumber suara. Merasa tak asing dengan suara itu. Aku menarik napas kesal setelah tahu siapa yang datang. Aku segera menuju
Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat."Lupakan!" ucapnya dengan tegas. Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah. "Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu." Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik."Ta-Tante?" Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.Plak!Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat."Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan seka
6Aku menelan ludah. Si brengsek ini benar-benar pintar memanfaatkan keadaan dan mencari kesempatan. Aku melotot, mendongak agar dia tahu aku marah. Namun sayang, pandangannya hanya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku.Dasar licik.Nyonya kaya raya itu berpikir sejenak. Napas dihembus secara perlahan. Lalu tersenyum sinis menatap kami."Begitu lebih baik. Gadis jalanan sepertimu memang pantasnya bersanding dengan preman seperti dia. Kalian sangat cocok. Jadi jangan lagi bermimpi yang bukan-bukan." Tarikan di sudut bibirnya membuat hatiku terasa sakit. Entah kenapa.Wanita itu kembali melirik tajam ke arahku. Lalu pergi begitu saja meninggalkan kami.Leherku sampai memanjang untuk memastikan bahwa mobil Alphard miliknya sudah menjauh, membawanya pergi dan tidak terlihat lagi.Dengan cepat aku melepaskan diri dan mendorong tubuh Ren agar menjauh. Namun tentu saja kaki jenjangnya tak bergeser sedikitpun. Terpaksa aku mengalah dan harus mundur. Aku mengusap bahu dan juga bagian tubuhku
Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya dem
Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali."Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi."Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area."Mencari siapa?""Kau sendirian?"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?""Pacarmu?""Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya."Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan."Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui
"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. "Ibumu bilang apa?""Dia bilang kau plin plan.""Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar ke