Waktu terasa lebih lama berjalan, satu persatu para tahanan lain pun mulai bangun. Tak ada kemanusiaan di ruang tahanan ini, kamar mandinya tak berdinding, ada di sudut ruangan. Mandi dan buang air terpaksa ditonton orang banyak.
"Orang baru yang bayar sarapan pagi ini," kata seseorang.
Semua mata memandang ke arahku, aku tidak punya uang, dompetku saja tertinggal di jok motor, dan sampai saat ini belum ada yang datang menjengukku. Dugaanku keliru, kupikir selama ini, tahanan polisi itu dibiayai negara, makan dikasih, ternyata tidak, kalau tidak beli tidak bisa makan. Ada seorang yang khusus bisa disuruh beli makanan.
"Apa kasusmu?" tanya seorang pria botak. Aku tak berani lagi mengatakan yang sebenarnya, karena kasus pelecehan ternyata sangat mereka benci.
"Belum tahu, Bang, ada ribut-ribut di masjid tiba-tiba aku dibawa kemari," kataku kemudian.
"Oh, pantas lo cuma pake sarung," kata seorang pria ia lain.
"Bagaimana sarapan pagi ini?" tanya seorang pria berkulit hitam.
"Aku gak ada uang, Bang,"
"Begini saja, gue jaminannya, tapi setelah saudara lo datang, lo ganti itu duit," kata seorang pria bermata sipit.
"Baik, Bang," jawabku, karena memang aku juga sudah lapar.
Lewat lubang kecil pria itu lalu memesan makan dan minum serta rokok untuk semua orang dalam sel, lumayan juga harganya, sampai lima ratus ribuan.
Orang pertama yang datang menjengukku adalah Bang Bambang, aku langsung minta duit padanya untuk bayar sarapan kami semua.
"Orang dari jama'ah sudah demo di depan," kata Bang Bambang.
"Waduh, hubungi saja Pak Ali Akhir," kataku kemudian.
"Gak tau aku nomornya,"
"Di bawah jok motorku ada dompet, di situs ada kertas, ada nomor Pak Ali Akhir di situ," kataku kemudian.
"Baik, Cok," jawabnya.
Beberapa saat kemudian, aku dipanggil untuk membuat berkas acara pemeriksaan. Aku disuruh duduk di depan seorang polisi yang duduk di depan komputer di sampingku ada polisi yang lain."Nama?" tanyanya.
"Pahlevi Siregar, Pak,"
"Tanggal lahir?"
Aku pun mengatakan semua dengan jujur, saat dia tanya KTP kubilang tinggal di jok motor.
"Saudara dengan sengaja' telah melecehkan saudari Karen, dengan cara memegang payudaranya," kata Polisi itu sambil mengetik.
"Tidak benar, Pak,"
"Ini sesuai keterangan saksi korban," kata polisi itu lagi.
Aku tiba-tiba rindu Butet, adikku itu sangat piawai dalam masalah seperti ini.
"Boleh saya menelepon, Pak?" kataku kemudian.
"Tidak bisa, saya akan bacakan pengakuan korban," kata Polisi tersebut.
"Iya, Pak,"
"Subuh itu terjadi keributan di depan masjid, saudari Karen terganggu dengan suara toa masjid, terus Anda marah dan menarik rambutnya, tidak cukup sampai di situ, Anda memeluknya seraya memegang payudaranya, terus menyeretnya sampai ke rumahnya," kata Polisi itu.
"Tidak benar seperti itu, Pak,"
"Jadi bagaimana?"
Aku pun menceritakan yang sebenarnya... akan tetapi Polisi itu langsung memotong.
"Berarti benar' Anda memeluknya?"
"Benar, Pak, tapi karena untuk...,"
"Cukup, jawaban saudara sudah cukup," katanya seraya kembali mengetik.
Beberapa saat kemudian, Polisi itu memberikan berkas untuk ditanda tangani, aku baca berkas tersebut. Isinya persis seperti versi Karen.
"Saya tidak bisa tanda tangani ini," kataku kemudian.
"Jangan mempersulit urusan, yang ada nanti Anda yang makin terjepit," katanya.
"Saya punya saksi orang yang banyak, sekarang mereka di depan," kataku lagi."Kami juga punya saksi, kamu salah pilih lewan, Nak, gadis itu anak pejabat, tetangganya itu anggota polisi," kata Polisi tersebut.
"Sebaiknya cepat tanda tangani," kata Polisi yang berdiri di depanku.
"Tidak, Pak,"
Plakk! tiba-tiba mulutku ditampar.
"Tanda tangani cepat!" bentak Polisi tersebut.
"Tidak mau!"
Seorang polisi yang di dekatku malah angkat kursi, dia mengancam memukulku dengan kursi.
"Akan kuingat nama bapak satu persatu," kataku kemudian.
"Plakk!" Pukulan kembali' mendarat, kali ini punggungku yang dipukul.Lalu pria tetangga Karen itu datang, dia memegang kerah bajuku.
"Kami mau sok jago ya?" katanya dengan mata' melotot.
"Siapa nama bapak?" tanyaku kemudian.
Bukan jawaban yang kudapat, akan tetapi pukulan lagi yang mendarat di mulutku. Seorang polisi masuk ruangan, dia berbisik pada juper tersebut. Lalu juper itu pergi.
"Tunggu sebentar," katanya seraya pergi. Tinggal aku dan polisi tetangga Karen itu di dalam ruangan.
"Kamu tahu anak siapa yang kamu lecehkan, heh, orang tuanya pejabat, kepala dinas pendidikan kabupaten," katanya.
"Oh, masih tinggi orang tua saya, orang tua saya wakil bupati," kataku kemudian.
"Hahaha, hahaha," pria itu justru tertawa.
"Aku akan ingat wajah Bapak, saat minta maaf padaku nanti," kataku lagi.
"Lancang kali mulutmu," pria itu kembali' memukulku. Ya, Allah, lama sekali pertolongan datang.
Juper itu datang lagi, dia berbisik-bisik pada polisi tetangga Karen itu, kemudian borgol di tanganku dilepaskan, aku lalu diajak ke ruangan Kapolsek.
"Mohon maaf kesalah pahaman ini, " kata seorang polisi berpangkat melati satu di pundaknya.
"Kesalahpahaman apanya, kebencian pada orang memakai sarung iya," aku mulai kesal.
Pak Ali Akhir datang juga akhirnya.
"Kenapa mulutmu, Cok?" tanya bapak itu seraya meraba bibirku yang sudah bengkak.
"Ini hanya kesalah pahaman anggota, Pak!" kata Kapolsek tersebut seraya menghormat.
"Yang mana yang mukul kau, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi.Aku melihat juper tersebut, dia menunduk, polisi tetangga Karen itu pun sepertinya ketakutan. "Kenapa kau dipukul, Cok?" tanya Pak Ali Akhir lagi."Dia melawan petugas, Pak," Kapolsek itu yang menjawab."Bukan, Pak, aku dipaksa tanda-tangani BAP yang isinya tidak sesuai kenyataan," kataku kemudian.Pak Ali Akhir marah-marah di kantor polisi tersebut. Aku akhirnya dibawa Pak Ali Akhir keluar dari Polsek itu. Di luar, sudah menunggu beberapa jama'ah masjid. Aku menyalami mereka satu persatu. "Cok, entah kenapa denganmu, masalah seperti selalu datang mengikutimu, belum satu tahun kamu di sini, sudah berapa kali berurusan dengan polisi," kata Pak Ali Akhir saat kami sudah di mobil."Maaf, Pak, saya sudah merepotkan Bapak?" jawabku."Bukan itu masalahnya, Cok, saya senang bisa membantu, tapi ini terlalu sering, bagaimana nanti jika saya sudah pensiun? tak ada yang membantumu?""Iya, Pak, aku juga heran, kenapa masalah selalu da
Aku sedikit kecewa dengan mamak, selalu saja aku yang disalahkan. Padahal menurutku aku sudah merasa benar. Mamak sepertinya berubah setelah jadi wakil bupati. Segala tindak-tandukku bisa berpengaruh pada satu kabupaten. Ah, aku ingin jadi orang biasa saja. Sukses tanpa embel embel nama orang tua.Ormas yang pernah kutolak itu ternyata yang jadi biang kerok. Mereka lah yang ambil video cctv, karena kebetulan komplek itu mereka yang jaga keamanannya. Aku dikuliti habis-habisan. Mereka juga yang posting di Facebook, mereka yang gencar membagikan postingan tersebut. "Kita tidak bisa diam saja, kita harus melawan," kata Ridho di suatu sore, saat itu kami berkumpul di masjid menunggu waktu salat magrib."Iya, tapi bagaimana caranya, mereka punya video cctv," kataku kemudian."Kita temui gadis itu?" usul Ridho."Itu tambah masalah, sudah pasti dia benci kita," kata Ahmad."Kita coba saja," kata Ridho lagi.Akhirnya kami bertiga pergi ke rumah gadis tersebut. Rumahnya tepat di belakang mas
Tabrakannya ringan saja, tak sampai membuat aku terpental, tak juga membuat motor jatuh, akan tetapi kaca belakang motorku pecah."Heh, lo mau mati ya?" kata seorang wanita. Aku menatapnya, wanita itu balik menatapku. Matanya melotot."Heh, masalah lo apa?" katanya lagi.Ini kesempatan emas, dua baris doa itu akhirnya aku lafalkan juga. Akan tetapi tidak ada yang berubah. Karen justru makin marah.Aku coba yang empat baris, dia justru berpaling dariku. Ternyata kali ini dia menyetir sendiri. "Singkirkan motor butut lo," katanya kemudian.Aku menggeser motor tersebut, akan tetapi sekuriti komplek datang."Sudah penyot ini, Bu, suru dia ganti," kata sekuriti itu seraya menunjuk bumper mobil Karen."Motorku juga pecah lampunya," kataku kemudian."Yang salah kan, lo, tiba-tiba berhenti," kata Karen."Benar, kamu yang salah," sambut sekuriti tersebut.Masyarakat lingkungan itu mulai berdatangan, mungkin karena melihat orang datang, Karen sepertinya takut juga."Nih, ganti lampu motor lo,"
PoV KarenNamaku Karen, lengkapnya Karenina. Kuliah kedokteran di universitas paling bergengsi di ibukota. Orang tuaku pejabat, beliau menjabat kepala dinas di kota kelahiranku di Sumatra. Di sini aku tinggal bersama seorang ART dan seorang sopir. Rumah di komplek tergolong elit dikontrak Ayah untuk tempat tinggalku.Semula di sini aman saja, tetangga kiri yang seorang polisi sangat baik. Akan tetapi ketenanganku mulai terusik. Belakangan ini, adab suara mengaji dan azan sangat keras dari masjid yang di belakang rumah.Hingga suatu hari, kesabaranku sudah habis, saat itu aku baru saja bisa tidur, jam sudah menunjukkan angka tiga, akan tetapi baru saja aku terlelap, suara mengaji itu mulai lagi. Suaranya seakan menggetarkan dinding kamarku. Mungkin karena pengaruh PMS, hatiku seakan terbakar, akhirnya aku pergi ke masjid tersebut.Saat aku sampai seorang pria lagi asyik mengaji, kutegur pun dia tak menggubris, akhirnya aku ucapkan salam. Astaga, wajah pemuda ini teduh sekali. Aku ha
Lelaki Bersarung PoV UcokIlmu meluluhkan hati orang itu ternyata berhasil, akan tetapi hasilnya sungguh tak terduga. Aku ditembak cewek yang lebih tua umurnya tiga tahun. Karen namanya, gadis cantik calon dokter.Malam itu aku terkejut melihat Karen datang ke masjid, dia memakai mukena warna pink, manis sekali. Saat itu aku dan Ridho duduk di teras masjid menunggu waktu isya."Assalamualaikum," salam dari Karen."Waalaikum salam," jawabku dan Ridho hampir bersamaan."Masih ada waktu Magrib kah?" tanyanya kemudian."Masih, masih," kataku seraya menunjuk ruang salat untuk perempuan.Gadis itu kemudian masuk masjid, aku dan Ridho melanjutkan obrolan. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah selesai salat, dia justru duduk di depan kami."Diskusi apa kita ini?" tanyanya."Maaf, bertanya dulu, Karen, kamu muslim kan?" tanyaku kemudian. Karena pernah dia suruh aku pasang lampu di kamarnya, aku sempat melihat tanda-tanda agama lain."Ayahku tadinya muslim, ibuku kristen, jadi aku diberikan k
Bu Wabup PoV NiaSemenjak dilantik jadi wakil bupati, kehidupan kami benar-benar berubah. Senin sampai Jumat harus tinggal di rumah dinas walikota bupati. Sabtu Minggu baru ke rumah pribadi. Pelaksana tugas kepala desa kuserahkan pada wakil kepala desa.Akan tetapi apakah kami berubah lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu, apakah ini lebih baik? Cantik kini diurus seorang baby sitter. Butet juga pindah sekolah ke kota. Bupati juga menepati janjinya, aku dilibatkan dalam setiap rapat penting. Urusan sosial dan pertanian juga jadi pekerjaanku. Satu lagi yang disarankan bupati aku urus, yaitu pemberdayaan perempuan.Hari itu kami lagi di rumah dinas Wakil Bupati. Bang Parlin tak berubah, hobby yang berkebun masih dia bawa sampai rumah dinas. Belakang rumah dinas itu jadi kebun sayuran dan tanaman obat-obatan.Ada tamu datang, mobil berpelat merah parkir di halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari mobil. Aku kenal pria ini, dia kepala dinas sosial."Selamat sore, Bu," sapanya
Jabatan ini ternyata berat juga, berat dalam arti susah untuk yang jujur. Aku baru paham, ternyata jual beli jabatan itu sudah hal yang lumrah. Orang jujur justru banyak dimusuhi orang. Aku juga ternyata salah pilih, dinas sosial itu ternyata lahan basah. Karena menyalurkan uang yang banyak. Jabatan ini juga ternyata sangat menyita waktu dan pikiran. Aku sangat bersyukur punya Bang Parlindungan dan Butet yang selalu siap membantu. Hp-ku yang tadinya jarang berbunyi kini hampir-hampir setiap setengah jam ada yang menelepon."Kayaknya mamak dahulu butuh asisten ini, yang kerjanya khusus terima telepon dan atur jadwal mamak," usul Butet di suatu hari."Belum perlu lah, Tet,""Camat saja ada asistennya," kataku Butet lagi."Iya juga ya, nantinya kita cari,"Pak bupati meneleponku di suatu hari, saat itu aku lagi berada di kantor dinas sosial."Bu Nia, saya mohon jangan terlalu keras, saya setuju kita berantas korupsi, tapi pelan-pelan saja," kata Bupati."Maaf, Pak, saya lihat di dinas s
Kadang aku merasa orang tuaku terlalu berlebihan dalam hal yang terjadi padaku. Ini hanya foto dengan tiga cewek, ayah sampai harus datang ke Jakarta? Padahal aku sudah banyak melihat orang di Jakarta ini, sudah banyak bergaul dengan mahasiswa lain, kurasa aku masih yang paling baik. "Kak Karen, tolong hapus status itu," kataku kemudian lewat pesan inbox.Akan tetapi tak dibalas, mau menelepon aku tidak tahu nomor. Akan tetapi aku memang sangat terganggu dengan status tersebut. Kucoba inbok lagi, tak juga dibalas. Akhirnya aku nekat pergi ke rumahnya yang tidak berapa jauh dari rumah. Kulirik jam sudah menunjukkan angkat setengah sebelas.Saat di pintu gerbang komplek, sekuriti menahan motorku, aku pun menjelaskan maksud kedatangan, yaitu ingin bertemu Karenina. Sekuriti itu bilang menelepon Karen duluan."Oh, aku minta nomornya saja kalau gitu," kataku lagi. Sekuriti ini bukan yang pernah kuberikan uang dulu."Maaf, kami tidak boleh memberikan nomor orang sembarangan, maaf," katan