Share

Mencarikan Pekerjaan

Janda Lugu Tetanggaku 8

Bab 8

Mencarikan pekerjaan

Ngapain juga Mas Azka harus ngomong pelan-pelan? Dahiku mengerut. Aku tuh nggak suka nguping. Beringsut, akupun memilih turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar.

Mau ngapain, ya? Setelah minum air putih dari kulkas, aku pun mencari kesibukan dengan membuat bolu. Mengambil tepung terigu, telor, gula, susu, mixer, timbangan digital mini dan sebagainya, aku mulai sibuk dengan resep bolu yang sudah di luar kepala.

“Hai, bikin apa, sayang?” Tanya suamiku yang tiba-tiba sudah berada di dapur dengan membawa nampan berisi gelas-gelas kosong dan toples cemilan di nampan.

Aku yang barusan memasukkan loyang berisi adonan ke dalam oven, menoleh dan tersenyum lebar.

“Bikin bolu,” jawabku sambil menutup oven sekaligus mengatur suhunya.

“Fahri sama Pupung sudah pulang,” kata Mas Azka sambil menaruh gelas kosong ke dalam washtafel.

“Wah, sayang dong, nggak ngerasain bolu buatan aku.” Bibirku menekuk ke bawah. Kecewa.

“Kirain kamu bobok tadi, kadi mereka nitip pamitan saja.”

“Nggak lah, masih jam segini kok bobok,” jawabku dengan mata melihat jam dinding. Masih jam tujuh aka kurang.

“Ya udah, aku ke kamar dulu.” Mas Azka berjalan menuju kamar.

Malam ini aku dan Mas Azka makan malam di rumah saja. Karena nggak pandai memasak, suamiku berinisiatif memesan gofood. Bolu hasil karyaku mau aku bawa ke kantor besok. Biar dimakan bareng-bareng.

Taraaa datanglah ayam bakar Taliwang beserta plecing kangkungnya yang mendunia itu.

“Mas, kalau nggak salah tadi aku denger Pupung dan Fahri bilang kenal ya, sama Mbak Dian?” Tanyaku di sela-sela menikmati daging lembut ayam bakar.

Mas Azka diam sejenak dan matanya bergerak melihatku. Kedua alisku terangkat, menunggu jawaban.

“Katanya, sih, emang Dian itu pernah satu kampus dengan kami, dan panggilannya di kampus itu Nana,” sahut Mas Azka malas. Sepertinya suamiku tak tertarik membahas Mbak Dian.

“Oh, kan emang namanya Mbak Dian itu Diana.” bola mataku berputar melihat Mas Azka. Mas Azka terlihat sedikit kaget saat aku bilang nama asli Mbak Dian yaitu Diana.

“Dia cerita sama kamu?” Mas Azka menatap dengan mata membola.

“Hu’um.” aku mengangguk. Tanganku sibuk memisahkan daging dari tulangnya. Enak sekali ayamnya, bumbunya meresap sampai ke tulang. Satu ekor bisa habis berdua saja.

“Dia cerita apa saja?” Mas Azka menghentikan makan dan menatapku was was.

“Ya, cuma bilang kalau nama panjangnya Diana Rustika, dan dia pernah satu kampus ama kamu,” jawabku santai.

“Itu saja?” Mas Azka masih menatap.

“Iya,” aku melihat pada suamiku yang mendadak tak berselera makan,”emang napa?” Tanyaku.

Mas Azka menggeleng, “gapapa,” sahutnya cepat. “Ras, habisin ayamnya, aku ada kerjaan yang belum selesai.” Mas Azka beranjak ke dapur untuk mencuci tangan. Selanjutnya dia masuk ke kamar satunya yang untuk sementara dijadikan ruang kerja.

Aku menghabiskan ayam bakar sampai nggak bersisa.

**

“Mbak Dian?”

Sore itu aku bertamu ke rumah Mbak Dian. Ada kabar baik yang akan kusampaikan padanya.

“Eh, Laras, masuk,” katanya.

Aku tersenyum memasuki rumahnya.

“Sepi, Mbak, di mana Lova?” Mataku mencari-cari.

“Ih, lagi diajak keluar sama Bik Ipah,” jawab Mbak Dian. Bik Ipah itu pengasuh Lova selama ditinggal mamanya kerja.

“Mbak, di kantorku ada lowongan, satu divisi sama aku. Mbak Dian mau nggak?” Tanyaku dengan sorot mata berbinar. Aku senang mengabarkan hal ini pada Mbak Dian dan berharap banget agar Mbak Dian mau menerimanya. Nanti kalau mbak Dian sekantor dengan aku kan bisa berangkat bareng. Nebeng mobil suamiku.

“Divisi apa, Ras? Aku nggak pede soalnya.” wajah Mbak Dian gamang.

“Sales and Marketing, Mbak. Enjoy kok kerjanya. Kita tunggal bikin program, sudah ada yang team yang masarin. Nanti tinggal ngitungin goal-nya aja.” aku tersenyum. Yakin deh, Mbak Dian yang Sarjana ekonomi ini pasti bisa bekerja satu team denganku.

“Gimana, ya, Ras?” Sejenak Mbak Dian ragu.

“Udah masukin aja.” aku memaksa. Segera aku mengirimkan Link lowongan itu pada Mbak Dian.

“Masukin data dulu, Mbak. Nanti aku bantu dari dalam.” Senyumku mengembang membayangkan satu team dengan mbak Dian, pasti menyenangkan. Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.

“Ok, deh,” sahut Mbak Dian setuju.

**

“Ma, belanja di minimarket indomei yang dekat rumah aja, ya?” Tanyaku pada Mama Mertua yang duduk di sebelahku.

Hari ini aku diajak Mama menemani makan siang bersama teman-teman arisannya. Mama memang sesekali mengajakku untuk dikenalkan pada teman satu sirkelnya. Nggak cuma Mamaku aja sih, teman Mama yang punya Menantu perempuan juga suka dibawa.

“Pak Hasan, belok minimarket depan, ya,” ucap Mama pada supirnya. Pak Hasan mengangguk. Sebenarnya Pak Hasan ini adalah supir Almarhum Papa. Setelah Papa Mertua meninggal, Mama tetap memakai jasanya sebab kasihan kalau Pak Hasan menganggur.

Turun dari mobil, aku menggandeng tangan Mama memasuki minimarket. Sengaja aku ajak Mama belanja di sini karena kasirnya Mbak Dian. Biar laris tokonya sehingga dapat bonusnya juga gede, bisa buat nambahin beli susu Lova. Hihi.

“Halo, Tante, apa kabar?” Sapa Mbak Dian saat aku dan Mama berdiri di depan meja kasir untuk membayar belanjaan.

“Eh, Dian?” Bibir Mama merekah.

“Iya, Tan.” tangan Mbak Dian dengan cepat menghitung total belanjaan.

“Siapa minum Milo?” Mata Mbak Dian melihatku.

“Mas Azka, dia kalau pagi minum Milo kalau sore teh manis,” sahutku senang. Memang itu kebiasaan Mas Azka.

“Kalau makanan Azka suka apa?” Tanya Mbak Dian seperti basa-basi.

“Azka suka banget sama ayam Kentucky saos asam manis,” jawab Mama Mertua bersemangat.

“Salad buah juga suka.” aku tak mau kalah. Kemudian aku dan Mama seoerti berlomba menyebutkan kesukaan dan favorit suamiku. Untung mini atm lagi sepi nggak ada tang ngantri jadi, kita bisa bercanda sebentar.

“Makasih, ya, Mbak,” kataku saat akan meninggalkan minimarket. Mbak Dian mengangguk, bibirnya menyungging senyum. Dia menatap Mertuaku. Sepertinya Mbak Dian ingin memiliki Mertua yang baik seperti Mama, aku membatin. Semoga saja kelak Mbak Dian bisa mendapatkan Mertua yang menyayangi menantunya seperti aku. Aku berdoa untukmu, Mbak ….

**

“Lu serius mau masukin saudara lu ke sini, Ras?” Tanya Reta siang itu saat kami makan siang bersama.

Aku mengangguk pasti, “ya, Re, aku bahkan sudah menemui Pak Andre untuk memprioritaskan lamaran Mbak Dian.” Pak Andre adalah Manager HRD di kantorku.

“Dah lu pikirkan, Ras? Nggak enak lho kerja ama saudara apa lagi satu divisi.” Reta menatapku de gan matanya yang bulat dan lucu.

Aku tersenyum, kepalaku menggeleng,”nggak apa-apa, Re, Mbak Dian ini baik banget kok, aku yakin dapat bekerja sama dengannya.”

Sengaja aku menyebut Mbak Dian adalah saudaraku. Maksudku supaya Mbak Dian dapat diterima dengan baik oleh seluruh anggota team nantinya. Team ku ada 4 orang, aku, Reta, Grace dan Adi. Kebetulan Grace keluar jadi aku memasukkan Mbak Dian.

“Kata orang, kalau bekerja satu perusahaan dengan saudara, suka ada yang nggak kuat salah satu dan pasti keluar.” Bibir Reta mengerucut dan matanya melihatku.

Haha, aku tertawa kecil mendengar cerita nggak masuk akal Reta. Apa hubungannya coba?

“Beneran, Ras, banyak kejadian, lho.” Reta cemberut melihatku menertawakan teori mitos-nya.

“Sebabnya apa, Re?” aku bertanya.

“Ya karena saingan, Ras. Kalau lu ama gue abis debat selesai karena pulang ke rumah masing-masing. Nah, kalau sama saudara kan ketemu lagi di rumah. Masih ada sebel, jengkel, lama-lama jadi iri dan berusaha menyingkirkan,” ucap Reta serius.

Aku menggeleng. Mana mungkin Mbak Dian mau menusukku dari belakang, sedangkan aku selalu baik padanya dan Lova?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status