Share

7. Kunci Dua Pintu

Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.

Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.

Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.

Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.

Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya.

"Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein.

"Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini. Tetapi ada keadaan darurat, jadi aku harus tangani dulu," jawab Dokter Rein merangkul pundak Arika sambil berjalan ke kamarnya.

"Apa yang aku dengar benar. Anda Dokter yang baik. Bahkan saat ada yang membutuhkan, anda rela pulang terlambat demi pasien darurat," sahut Arika.

"Hahaha," Dokter Rein tertawa.

"Semua dokter akan melakukan hal yang sama Arika. Karena itu sudah menjadi bagian dari tugas kami," jawab Dokter Rein.

"Hm..., begitu ya." jawab Arika.

"Anda mau saya siapkan air hangat di bathtub atau mandi shower?" tanya Arika.

Dokter Rein menaruh lengannya di pinggang Arika dan memutar tubuh depan Arika hingga menempel kepadanya.

"Sepertinya berendam akan lebih mengasyikan bukan?"bisiknya menyatukan kedua dahi mereka.

Arika melihat bibir Dokter Rein saat berbicara. Tanpa dia sadari dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Bersikap sensual yang membuat Dokter itu malah terlihat semakin bergairah.

Arika menelan salivanya, "baiklah. Akan aku siapkan," kata Arika bergegas ke kamar mandi setelah menaruh tas kerja Dokter Rein di single sofa yang bersandar dekat pintu kamarnya.

"Bagus, gadis penurut!" gumamnya menatap Arika dari belakang.

Dia mulai membuka jam tangan yang dia kenakan.

"Biar aku bantu," kata Arika membantu Dokter Rein melepas kancing kemejanya satu persatu.

Dokter Rein menatap Arika lembut sambil tersenyum. Arika mendongak dan ikut tersenyum.

"Ini bahkan sudah sangat menggairahkan untukku," bisiknya mencium bibir Arika.

Bathtub siap dengan air hangat di dalamnya, mereka pun berendam bersama di sana.

"Aku ingin membuat kamu selalu merasa nyaman sebelum kita melakukannya. Karena aku tidak ingin membuatmu tertekan. Aku ingin kamu menikmati semua itu," ungkap Dokter Rein berbisik di telinga Arika yang kini bersandar di dadanya.

"Dokter Rein benar-benar begitu baik, dia bahkan memikirkan sampai sedetail itu. Apa mungkin dia bisa bersikap kejam? Aku rasa nggak." pikir Arika meruntuhkan keraguannya akan sifat tersembunyi Dokter Rein.

"Apa yang dikatakan orang-orang benar. Mungkin dia nggak sempurna dan memiliki kekurangan tetapi dia bukan orang yang jahat," sambung pikiran Arika.

"Meski demikian, lalu apa yang ada di ruang bawah tanah sana?" pikirnya lagi.

"Apa ada yang kamu pikirkan Arika?" tanyanya mengusap lengan Arika dengan ujung jari telunjuknya.

Arika menggeleng.

"Nggak ada Dokter Rein." jawab Arika.

"Ahhh Dokter," Arika mendesa saat Dokter Rein mulai melancarkan aksi pemanasannya sebelum berlanjut ke inti.

Malam berlalu begitu lama bagi Arika dalam cengkraman Dokter Rein. Malam penyiksaan namun juga terasa nikmat baginya.

Pagi datang, entah apakah Arika pingsan atau dia hanya tertidur kelelahan. Sampai Dokter Rein telah siap dengan pakaian kerjanya Arika masih terpejam di atas tempat tidurnya.

Dokter Rein tersenyum melihat Arika. Dengan lembut dia mengecup pipi Arika.

Arika terperanjat kaget, terduduk langsung dari tidurnya. Jemarinya mencengkram kuat selimut yang menutupi dadanya yang terbuka.

"Ampuni aku Dokter Rein, maaf...," racau Arika dengan napas tersengal-sengal.

"Arika!" Dokter Rein duduk disebelah Arika dan memeluknya.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ah..., iya Dokter. Maafkan aku. Aku terlambat bangun."

"Nggak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf telah membangunkan kamu. Kamu pasti sangat lelah kan?" tanya dengan lembut.

"Tidurlah lagi. Aku sudah menyiapkan sarapan dan makan siang untukmu di dapur. Hangatkan lagi saja kalau kamu mau makan. Aku harus ke klinik sekarang." pesannya.

"Baik," Arika mencoba turun dari tempat tidur namun sesuatu di bawah perutnya terasa perih dan nyeri.

"Ah...," Rintihnya.

"Kamu jangan bangun." katanya merangkul Arika dari depan.

"Makanannya aku bawa ke sini saja ya. Agar kamu tidak perlu turun,"

"Nggak Dokter, jangan! Biar aku ke dapur nanti," jawab Arika memegang lengan Dokter Rein.

"Baiklah kalau itu mau mu. Aku harus berangkat. Berbaringlah!" Dokter Rein membantu Arika berbaring di atas tempatnya. Wajah Arika meringis kesakitan saat itu.

"Sampai nanti Arika!" Dokter Rein mengecup kening Arika dan berbalik menuju pintu. Tanpa Arika sadari Dokter Rein yang membelakanginya tersenyum licik sambil keluar dari kamar.

"Bagaimana aku bisa mencari tahu kalau begini keadaannya?" pikir Arika memegangi antara pahanya.

"Ah...putikku rasanya mau copot. Aku ingin pergi saja dari sini. Dia begitu baik namun di sisi lain dia pun menyiksaku," tambah pikirannya.

"Tetapi aku juga masih membutuhkannya untuk melanjutkan hidupku. Inikah yang disebut hidup bagaikan dua sisi mata uang?"

Arika terpejam dengan sendirinya setelah lelah menangis. Ketika dia bangun hari sudah menjelang sore.

"Tidurku lama sekali," gumamnya seraya menurunkan kedua kakinya secara perlahan dari atas tempat tidur.

"Berendam air hangat pasti bisa meredakan nyeri selangkanganku,"

Ketika tengah berendam, Arika mulai berpikir, mencari cara agar bisa masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu.

"Untuk membuktikan dugaanku salah tentang Dokter Rein aku harus bisa mengetahui isi ruang bawah tanah itu,"

"Dan hanya ada satu cara agar bisa masuk yaitu menemukan kunci dua pintu itu."

Selesai mandi dia mengambil kumpulan kunci rumah yang terikat menyatu di dalam laci nakasnya. Itu adalah kunci yang dipegang Arika. Oleh Dokter Rein dia diserahi duplikat kunci rumah ini. Sementara kunci asli dipagang oleh Dokter Rein.

"Apa mungkin salah satu kunci ini ada kunci ruang bawah tanah?" tanpa menunggu lama dengan langkah perlahan Arika turun kelantai dasar.

Dia menuju ke ruang bawah tanah dan mencoba satu persatu kunci yang diserahkan kepadanya. Namun sayangnya tidak ada satupun kunci yang cocok dan bisa membuka pintu ruangan tersebut. Itu menandakan kunci itu tidak ada di antara kunci yang dia pegang.

"Sial..., nggak ada kuncinya di sini!" geram Arika dengan kesal.

"Lalu di mana kunci ruangan ini disembunyikan Dokter Rein?" tanyanya seraya menaiki anak tangga ruang bawah tanah.

"Apa itu ada di kunci yang dipegang Dokter Rein. Mungkin saja. Aku harus bisa mendapatkan kunci itu tanpa ketahuan olehnya." rencananya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status