Share

4. Cemas

Serena hanya mampu menatap pintu berkaca yang memisahkan kamar Helena dengan koridor saat Anie ibunya, menahannya ketika ia ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu.

"Helena sedang tertidur, jangan kau ganggu dirinya. Ia belum tahu jika aku telah memberitahumu tentang kondisinya. Ia berkata tak ingin bertemu denganmu sebelum ia merasa kuat dan sepenuhnya pulih. Jadi, untuk sementara kita rahasiakan ini darinya dan tunggu saja hingga ia mau menemuimu, mengerti?"

"Tak bisakah aku menemuinya sebentar saja, Mom? Aku hanya ingin melihat keadaannya," balas Serena.

Anie menatap Serena dengan kesal. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau ingin membuatnya kesal dengan memamerkan tubuh sehatmu dan berdiri di hadapannya yang masih terlihat menyedihkan? Apa itu yang kau inginkan? Apa kau akan menyombongkan kesehatanmu bahkan mungkin juga pernikahanmu sekarang? Kau ingin membuatnya terluka dengan semua yang kau miliki itu, begitu?"

"Mom? Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Serena tak percaya. "Bukan begitu maksudku. Aku senang ia telah bangun kembali dan hanya ingin melihatnya, itu saja."

"Ck, sudahlah, jangan membuatnya kesal karena melihatmu, Seren. Kau tentu tahu bagaimana ia akan merasa sedih jika kau berdiri di hadapannya sementara kondisinya masih begitu lemah. Aku memberitahumu tentang kesadarannya sekarang agar kau berjaga-jaga menyiapkan dana kalau-kalau ia membutuhkan perawatan lebih mengingat kondisinya yang masih lemah. Kau bisa mempersiapkan itu, bukan?"

Serena mengangguk setelah beberapa saat terpaku mendengar ucapan ibunya mengenai permintaan dana yang harus disiapkannya. Karena tak ingin menciptakan perdebatan yang lainnya, akhirnya Serena memutuskan untuk mengalah.

"Baiklah aku mengerti, aku akan pulang sekarang, Mom. Tapi beri aku kabar mengenai perkembangan kondisinya. Aku akan segera kemari saat ia sudah ingin melihatku. Mengenai dana, akan aku usahakan."

"Ya sudah, pulanglah," ucap Anie kemudian.

Tanpa ada ucapan terima kasih maupun sedikit senyum di wajah ibunya, akhirnya Serena berbalik dan hanya dapat tersenyum kecut meninggalkan wanita itu. Ia bahkan sudah tak bisa merasa heran lagi jika sikap yang ditunjukkan ibunya tak berubah sedikit pun bahkan setelah ia menikah. Memang bagi ibunya, ia bukanlah seorang putri yang dapat dibanggakan.

Walau itu membuatnya sedih, tapi kini ada satu hal lagi yang membuatnya begitu cemas. Yaitu, kesadaran Helena. 

"Oh, Tuhan, apa yang akan terjadi nanti?" lirih Serena putus asa. 

Ia duduk sejenak pada salah satu kursi di area taman rumah sakit. Rautnya terlihat begitu cemas dan lelah. Ia tak pernah menyangka bahwa Helena bisa terbangun secepat ini. Ia bahkan belum mengumpulkan tabungan dan mempersiapkan semuanya untuk melarikan diri.

Ya, jika ada satu hal yang ia inginkan saat ini, sesungguhnya itu adalah melarikan diri. Karena Serena tak ingin hidupnya menjadi rumit dan lebih berat lagi ketika nanti Helena mulai mengusik dan membuatnya tertekan, seperti yang selalu ia lakukan padanya selama ini.

"Mengapa ini begitu cepat? Apa yang harus kulakukan?" lirihnya lagi.

****

Sesampainya di kediaman Julien, Serena mendapati pria itu sedang berada di ruang baca saat ia masuk ke dalam kamar mereka.

"Kau sudah kembali? Aku tak dapat menghubungimu setelah Arnold memberi tahu tentang kepergianmu tadi. Kau ke mana? Mengapa tak meminta sopir mengantarmu?"

Hari yang terasa begitu mengejutkan semenjak sore tadi setelah ibunya memberinya kabar mengenai Helena itu membuat Serena lupa waktu hingga ia tak memeriksa ponsel miliknya yang telah tertera beberapa panggilan tak terjawab dari Julien.

"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya ke kampus dan mengerjakan beberapa hal di sana hingga lupa waktu," ucap Serena berbohong.

Julien mengangguk. "Aku mengerti. Baiklah, karena sudah hampir waktunya makan malam, bagaimana jika kita bersiap di ruang makan?" ucap Julien.

Serena balas mengangguk. "Aku akan berganti baju dan membersihkan diri terlebih dahulu."

Julien menggeleng cepat dan tersenyum. "Tak perlu. Aku sudah begitu kelaparan menunggumu."

Langkah Serena terhenti setelah Julien berucap. "Baiklah," jawab Serena kemudian.

Ia beralih ke arah kursi roda di mana Julien telah menempatkan diri. Mereka segera menuju ke arah ruang makan.

Selama makan malam berlangsung, Serena tak banyak berbicara dan sesekali hanya menanggapi ucapan Julien saat pria itu mengajaknya bercakap. Setelahnya, mereka kembali ke dalam kamar.

Serena sendiri masuk ke ruang baca setelah ia membersihkan diri dan berganti dengan baju tidurnya. Ia sengaja menyibukkan diri di ruang baca sementara Julien mandi bergantian dengannya.

"Lihat, sudah kuduga, kau banyak melamun hari ini." 

Ucapan Julien membuat Serena tersentak ketika pria itu tiba-tiba sudah berada di belakangnya dengan baju tidur dan penampilan segarnya selepas ia mandi. Ia bahkan tak menyadari sudah berapa lama dirinya berada di sana.

"Oh, Anda mengagetkanku, Tuan," balas Serena karena terkejut.

"Tuan lagi? Panggil aku Julien saja. Sudah kukatakan tak perlu formal lagi padaku, bukan?"

"Ya, Tuan. Maksudku, Julien." Sejenak Serena merasa gugup karena Julien yang tepat di belakangnya sedikit membungkuk sehingga seolah ia sedang mengungkungnya di balik kursi tempatnya duduk.

"Kuperhatikan tak banyak yang sedang kau kerjakan. Apa yang sedang kau tulis? Bahasa baru?" goda Julien sambil menatap laptop terbuka Serena dan sedikit mengerutkan alisnya karena ia mendapati huruf-huruf tak beraturan di sana yang tak membentuk satu kata pun.

Saat menyadari arah tatapan Julien, Serena menjadi salah tingkah. "Oh, ini ... aku hanya sedang tidak fokus saja," ucapnya beralasan.

Julien mengembuskan napasnya. Ia kemudian memutari Serena dan duduk di kursi di sebelah gadis itu. "Ada apa, Serena?" tanya Julien lembut sambil menatap kedua mata Serena dalam-dalam.

"A ... apa maksud Anda?"

"Tak perlu menutupi sesuatu dariku. Aku tahu ada yang sedang mengganggu pikiranmu seharian ini. Katakanlah," balas Julien.

Mendapat perhatian dan pertanyaan yang begitu tulus itu, tiba-tiba saja tenggorokan Serena tercekat. Matanya memanas dan mulai berkaca-kaca. Entah mengapa, ia seolah ingin berhambur ke dalam pelukan dada bidang kokoh milik Julien yang ada di hadapannya itu untuk meredakan kegundahannya seharian ini.

Setelah menimbang sejenak, Serena akhirnya memberanikan diri untuk berkata, "Helena telah terbangun dari komanya."

Ada jeda sejenak sebelum kemudian Julien membalas, "Oh, benarkah? Bukankah itu adalah berita yang bagus?"

"Y ... ya, tentu saja itu bagus," jawab Serena sedikit gugup. Ia sedikit berpaling dari Julien untuk mengerjapkan kedua matanya agar air mata yang mulai tergenang tak jatuh begitu saja.

"Walau begitu, Helena masih harus menjalani perawatan untuk pemulihan, karena kondisinya masih memerlukan itu."

"Tentu, tentu saja, aku mengerti. Jadi, apakah karena itu kau tadi pergi?"

Serena mengangguk. "Ya, maafkan aku, aku tidak ingin membohongimu. Hanya saja, walau ia telah sadar tapi aku belum diizinkan untuk melihatnya. Karena ... karena, itu yang terbaik untuknya. Jadi ... aku, tak memberitahumu jika aku ke rumah sakit dan ..."

"Hei, hei, tak apa," potong Julien. Walau ia tak mengerti mengapa Serena masih terlihat gelisah, namun ia mencoba menenangkannya dengan meraih jemari gadis yang kembali terlihat cemas itu.

"Apa yang sebenarnya mengganggumu, Serena? Jika itu adalah masalah biaya perawatan Helena, kau tentu tahu bahwa kau tak perlu mengkhawatirkan tentang hal itu, bukan? Ada aku."

"Jadi, hentikanlah untuk merasa cemas. Seharian ini kau terlihat tak fokus dan sungguh, itu juga menggangguku."

"Te ... terima kasih," ucap Serena. Ia merasa tak enak hati karena Julien begitu perhatian dan peka tentang masalahnya tanpa ia bercerita banyak.

Memang benar, salah satu kekhawatirannya adalah bagaimana ia akan mengatakan tentang tambahan biaya perawatan Helena yang ibunya minta tadi kepada Julien. Tapi, setelah pria itu meyakinkannya untuk tak khawatir, jujur saja Serena merasa begitu lega.

"Nah, setelah saudarimu sudah dapat dijenguk nantinya, kita bisa bersama-sama mengunjunginya, bagaimana? Dan sekarang, mari kita beristirahat," ajak Julien.

"Kulihat kau begitu tegang dan tampak kelelahan seharian ini. Aku tak ingin kau jatuh sakit sementara aku tak sedang ada di rumah nanti."

"Kau akan pergi?" Pertanyaan dan tatapan Serena yang spontan terucap itu membuat Julien sedikit tersenyum.

"Akhirnya kau benar-benar menatapku sekarang," gumamnya kecil.

"Ya, Serena, aku besok akan mengunjungi salah satu penulis untuk meyakinkannya kembali agar mau menerbitkan karyanya lagi pada perusahaan. Karena ia tinggal di daerah pinggiran kota, kemungkinan aku akan menginap semalam."

"Penulis bernama Lily itu, benar?" gumamnya. Tanpa dapat Serena kontrol, ia tak sadar jika raut wajahnya berubah menjadi sedikit muram. Entah mengapa Serena merasa mengganjal di dalam hatinya.

Ia merasa sedikit kesepian dan perasaan sedih yang tak dapat dijelaskan. Ia yang masih belum tenang itu, merasa seolah kehilangan sosok yang dapat menenangkannya jika Julien tak berada di sisinya.

"Mengapa? Kau tak ingin aku menginap? Jangan katakan karena kau tak ingin tidur sendiri?" goda Julien.

Serena membelalak dan merona. "Apa maksudnya, Tuan? Siapa yang tak dapat tidur sendiri?" 

"Kau tentu saja. Setelah terbiasa tidur bersamaku, kurasa kau akan merasa aneh saat tak ada aku di sampingmu, benar? Bukankah kau begitu nyaman saat aku ada di sisimu hingga kau tidur begitu lelap dan tanpa sadar mendengkur?"

"Mendengkur? Aku tidak mendengkur!" protes Serena memerah menanggapi candaan Julien.

Julien sendiri tergelak kecil mendapati reaksi malu Serena. Ia lega karena raut cemas Serena setidaknya telah hilang.

____****____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status