Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
"Nggak mau!" tolak Serena saat ia baru saja ia duduk di ruang tamu. Wajahnya masih lelah tapi sudah dapat info terkini di keluarganya yang meminta ia segera menikah dengan Romeo. Anak tetangga satu RT dengannya yang ia ingat dulu sering kena omel papanya-Handoko-karena sering bikin nangis adik perempuannya. "Ren, Mama Papa minta tolong sekali sama kamu. Kondisinya mendesak. Apa kamu tega liat Tante Lita pergi saat anaknya belum dapet jodoh?" Rini meminta dengan sungguh-sungguh ke Serena yang menggeleng cepat. "Nggak, Ma. Rena nolak. Titik!" Serena beranjak, ia berjalan cepat tapi berhenti saat mamanya menjawab telepon dari seseorang. "Ya ampun! Iya, iya, kami ke sana sekarang!" Serena menoleh, ia masih menginjakkan kaki di anak tangga ke tiga menuju kamarnya di atas. "Rena, kita ke rumah sakit. Tante Lita dibawa ke ICU. Ayo cepet!" Rini menarik tangan putrinya, sementara Handoko segera menyambar kunci mobil yang tergantung di tempat gantungan kunci. Serena mau tak mau mengikuti.
Mimpi apa ... Serena, ia kini berada dalam satu pesawat, duduk sebelahan dengan lelaki yang sah menjadi suaminya. Perjalan mereka ke negara gajah putih hampir tiba di tujuan. Di sana nanti mereka akan dijemput kolega Lita yang memang sudah lama tinggal menetap di sana, orang Indonesia yang menikah dengan wanita Thailand. Wanita sungguhan, ya, bukan nganu."Dari tadi lo nggak makan atau minum apa-apa, Tante, nggak laper atau haus? Apa puasa?" bisik Romeo."Sstt! Diem!" cicit Serena sambil melotot. Romeo kembali duduk bersandar santai sambil tersenyum lebar. Mereka akan bersiap mendarat, semua penumpang pesawat diminta mengencangkan sabuk pengaman.Pendaratan mulus, mereka juga keluar dari pesawat dengan santai, tak tergesa-gesa seperti penumpang mau turun angkot, pesawat baru landing langsung berdiri bersiap, santai aja sist, bro, pesawatnya biar berhenti sempurna dulu baru kalian turun."Night food streetnya, enak-enak kayanya, Tan," ujar Romeo yang langsung memakai tas ransel besar d
Malam kedua mereka di kota Bangkok. Ide gila Romeo membuat Serena hanya bisa mengumpat kesal. Mereka masuk ke dalam salah satu klub ternama di sana. Serena walaupun sedikit banyak tau kehidupan malam kota metropolitan, tapi ia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol.Lain dengan Romeo, ternyata dia suka minum bir walau berkadar alkohol rendah."Darah lo kotor, Meo." jeplak Serena. Romeo tersenyum tipis, bahkan terlihat sudut bibirnya tersungging samar."Bir doang, Tante," gumamnya meneguk lagi.Serena memutar kursi di meja bar, memunggungi rak dengan botol minuman alkohol berjajar rapi juga seorang bartender yang terlihat bertubuh tinggi kekar dengan tatoo yang terlukis abstrak.Kedua mata Serena terbelalak saat melihat jajaran pria tampan seperti di drama Thailand berjalan memasuki klub. Senyumnya mendadak merekah, saat kesal dengan Romeo, eh ada yang hijau menyegarkan mata di depan mata.Dentuman musik menyamarkan suara degup jantung Serena saat salah satu dari pria tampan tadi m
"Kata Mama boleh diubah mau kayak apa penataan ruangannya. Mama serahin semua ke elo." Mulai gue-elo keluar lagi, tandanya memang mereka belum siap saling memanggil dengan panggilan yang lebih baik."Gak ada yang perlu gue ubah juga. Gini aja udah ok." Serena berkacak pinggang kemudian melirik Romeo yang bersiap pergi. "Mau ke mana?""Main. Lo kalau pergi, kunci bawa yang cadangan. Gue balik malem palingan, oke, Tante." Romeo menyambar jaket warna coklat muda, lalu hendak mencium kening Serena tapi wanita itu memundurkan kepalanya."Sana pergi! Gue juga mau jalan nanti sama temen. Gue mau beli baju kerja." Serena berjalan ke dapur. Ia lupa sedang memanaskan sop buntut kiriman mamanya."Butuh uang berapa?" Romeo masih berdiri di tempat."Gue ada duit sendiri. Duit lo pake aja buat jajan," sahut Serena sambil mematikan kompor."Berapa, Tan," sambung Romeo. Serena berbalik badan."Gue punya uang sendiri. Udah sana pergi. Gue mau beresin kamar. Sementara Mama Papa lo masih di LN, kita tid
Selamat membaca lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak. _________"Meo," cicit Serena. Romeo tersenyum lebar. Disampingnya ada sosok wanita cantik sepantaran suami Serena itu. Bodynya juga aduhai walau terbalut kemeja pres body juga celana jeans ketat. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang semakin menambah jenjang penampilannya."Ngapain kamu di sini?" tegur Romeo lagi. Serena mengerutkan kening. 'Kamu' sejak kapan Romeo mengubah panggilan menjadi resmi begitu?"Oh, lagi temani Pak Erik. Direktur perusahaan tempat aku kerja. Pak Erik, kenalkan, ini su--" Serena diam saat Erik sudah mengulurkan tangan ke Romeo yang disambut cepat oleh lelaki muda itu."Romeo.""Erik."Serena melihat wanita disisi Romeo tampak terus diam dengan pandangan tak suka ke arahnya. Ingin rasanya Serena tegur saat itu juga tapi urung karena ia sedang bersama Erik, harus jaga sikap, dong."Aku lanjut. Nanti aku telpon kamu." Tanpa basa basi lagi Romeo berjalan meninggalkan Serena dan Erik yang hanya bisa mengiku