Share

Part 2 Bodyguard

Aruna menatap nanar ayahnya. Menyadari telah salah bicara, laki-laki tua itu menarik napas panjang. Dia menatap Aruna penuh arti.

"Ah, Runa, Isma, kalian cepat istirahat," ucap Bagas, ayah Aruna gugup. Aruna masih bergeming di tempatnya.

"Maksudnya Papa, apa?" tanya Aruna berusaha menyakinkan pendengaran. "Mereka menginginkan kematianku?" ulangnya lirih.

Sang ayah mendekat dan mengusap kepala puterinya. Kembali terdengar tarikan napas panjang dari bibir laki-laki itu. Aruna menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Siapa mereka, Papa?" tanya Aruna parau.

"Papa nggak tahu, tapi demi keselamatan kamu, tolong menurut sama Papa, Runa. Papa nggak ingin kamu celaka, Nak!" ucap laki-laki itu tegas.

Aruna berpikir sejenak kemudian melirik ke arah Isma meminta persetujuan. Isma mengangguk pelan. "Itu lebih baik, Mbak. Supaya Mbak Runa ada yang menjaga," ucapnya.

Tidak ada pilihan bagi Aruna selain menurut. Meskipun dia tahu, memiliki bodyguard sama saja seperti memiliki suami. Selama 24 jam, dia harus berinteraksi dengan orang asing. Tepatnya laki-laki asing.

"Aku minta pengawal perempuan, Pa. Jangan laki-laki!" cetus Aruna sembari beranjak.

Sang ayah mengeryit kemudian menggelengkan kepalanya. "Pengawal perempuan? Papa nggak setuju! Sejago-jagonya perempuan, dia nggak punya insting setajam laki-laki, Runa. Kamu jangan khawatir, bodyguard ini dari agensi internasional. Sudah pasti profesional!" tegas laki-laki itu kemudian melangkah cepat menuju ke kamarnya.

Terdengar dengusan kasar dari bibir Aruna. Gadis itu memberengut sambil menatap Isma. Begitulah sifat Bagaskara, sang ayah. Laki-laki itu tegas dan tidak menerima bantahan.

Semenjak sang ayah mempunyai ide mendatangkan bodyguard, Aruna semakin gelisah. Dia memindai penjuru kamarnya yang luas seperti kamar hotel berbintang. Kamar adalah tempat paling privasi bagi Aruna. Hanya ART khusus yang memasuki kamarnya. Juga Isma.

Lalu...

Bodyguard itu? Aruna semakin gusar. Tidak bisa dibayangkan jika tempat paling nyaman di dunia itu, akan diinjak-injak oleh laki-laki asing yang bernama bodyguard.

"Mbak, nggak usah banyak pikiran!" seru Isma sambil merebahkan tubuh di atas tempat tidur berukuran king size itu.

Aruna melirik sekilas gadis tersebut. "Tetap banyak pikiran, Neng. Bagaimana kalau laki-laki kaku, bertatto, dan sangar itu mengawasi gerak-gerikku?" keluhnya.

Aruna menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin. Dia mengusapkan kapas yang sudah dibasahi dengan micellar water, ke wajahnya yang cantik.

Isma tertawa geli mendengar ucapan Aruna. "Mbak Runa tahu dari mana kalau bodyguard itu seperti itu?" tanyanya masih dengan tawa geli.

Aruna kembali melirik Isma sembari berdecak kesal. "Ya, memang seperti itu kan, Neng. Apalagi Papa bilang bodyguard itu dari international agency. Waktu aku ngikutin kontes Miss World kan pengawal yang disediakan rata-rata begitu, Neng. Wajahnya jutek, kaku, dan banyak tatto!" cerocosnya.

"Bedalah, Mbak! Itu kan bukan pengawal pribadi, Mbak. Bagaimana kalau pengawal untuk Mbak Runa nanti, ganteng, atletis, dan cool kayak Paspampres?'' balas Isma sembari senyum-senyum sendiri. "Boleh dong, aku daftar, terus jadi ibu Bhayangkari or ibu Persit," imbuhnya cengengesan.

Tak!

Aruna melemparkan lipbalm ke arah Isma. Gadis itu mendelik mendengar kehaluan teman sekaligus asisten pribadinya itu. Isma mengambil lipbalm itu dan mengantonginya.

"Asyik, dapat lemparan lipbalm dari artis. Lumayan, kalau beli kan seharga seekor kambing," ucap Isma.

"Balikin, enak saja, ngembat!" sahut Aruna. "Itu belinya di Paris, tahu!" lanjutnya cemberut.

"Walah, Mbak. Ini tinggal separuh juga. Mbak beli lagi, deh!" rayu Isma memelas.

Aruna menggeleng samar. Dia kembali memikirkan tentang bentuk bodyguardnya nanti. Aruna tidak lagi menghiraukan lipbalmnya yang sudah beralih pemilik. Gadis itu benar-benar gusar.

"Semua ini gara-gara fans bar-bar," gerutu Aruna, namun masih didengar oleh Isma.

"Ya, kalau gitu, Mbak Runa pensiun saja jadi artis!"

"Neng, huuuh! Bukannya kasih solusi malah ngajak bunuh diri!" sentak Runa kesal.

Kembali Isma terkekeh. Gadis itu menenggelamkan wajah di balik selimut milik Aruna. Tidak berapa lama, Aruna menyusul. Namun, sampai tengah malam, mata gadis itu tak juga terpejam.

Pikiran Aruna berkelana. Berawal ketika dirinya memasuki dunia hiburan tanah air dua tahun lalu, pasca purna tugas sebagai ratu kecantikan. Awalnya semua berjalan lancar. Namun, lambat laun ada saja ulah yang mengatasnamakan fans bertindak di luar kendali.

Tidak hanya sengaja mendorong Aruna sampai terjatuh ketika selesai pemotretan. Berbagai paket atas nama fans berisi ancaman seringkali Aruna terima. Puncaknya tadi, dua pemotor sengaja membuntutinya, bahkan salah satu dari mereka sempat menodongkan senjata api.

"Apa salahku? Lalu siapa mereka?" tanya Aruna gusar.

Daarr!

Aruna tersentak, begitu juga Isma. Isma yang baru saja terlelap langsung terlonjak dan menatap ke arah jendela besar kamar Aruna.

"Suara apa, Mbak?" tanya Isma ketakutan.

Aruna menggeleng pelan. Dia hendak bangkit dari tempat tidur, namun tangannya ditarik oleh Isma. Kedua gadis itu kembali saling pandang.

"Jangan, Mbak. Bahaya. Sebaiknya telepon security saja!" ucap Isma.

Aruna terdiam sebentar kemudian mengangguk. Aruna mengambil handphone di atas nakas. Tepat saat itu, pintu kamarnya diketuk dari luar. Isma semakin ketakutan dan meloncat memeluk Aruna.

"Runa, ini Papa. Apa kalian sudah tidur?" tanya laki-laki itu dari luar kamar.

"Papa dengar sesuatu?" tanya Aruna kemudian membuka pintu.

Bagaskara menarik napas panjang kemudian mengangguk. Laki-laki itu menyodorkan botol berisi gulungan kertas. Dengan ketakutan, Aruna mengambil kertas tersebut dari dalam botol.

["Berikan 10M atau kamu akan mati!"]

"Ini nggak bisa dibiarkan!" ucap Bagaskara geram.

Aruna menunduk dalam. Uang sepuluh milyar? Meskipun ayahnya seorang konglomerat, tidak mungkin dia mengeluarkan uang sebanyak itu.

"Aku harus lapor polisi, Pa. Ini sudah serius!" sahut Aruna.

Bagaskara terdiam. Dia menatap putrinya tanpa ekspresi.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status