Keluarga Benalu 4
"Asti, Ara. Bangun!"
Aku menggebrak gebrak meja keras. Kedua gadis itu bangun dengan gelagapan.
"Ada apa sih Mbak? Ngagetin aja." Sungut Ara. Direbahkannya kembali badannya di atas sofa. Sementara Asti duduk sambil menguap. Kutarik kembali tangan Ara, memaksanya duduk.
"Bereskan semua kekacauan yang kalian buat ini. Aku gak mau tahu sejam lagi semua harus bersih."
"Astaga. Mbak kayak apaan aja. Kan ada Bik Sum. Apa gunanya punya pembokat kalo kerjaan rumah masih kita juga yang ngerjain." Cetus Asti tanpa sopan santun.
Aku mendesis. Darahku rasanya mulai naik ke ubun - ubun.
"Aku tidak pernah menganggap Bik Sum pembantu. Lagipula dia sudah punya tugas sendiri. Dan yang terpenting, kalian tidak punya hak memberinya perintah."
"Loh, Mbak kok gitu? Ini kan rumah Mas Ardan. Kami juga punya hak tinggal di sini dan melakukan apa saja yang kami inginkan." Bantah Ara.
Aku tertawa. Rumah Mas Ardan katanya?
"Bukankah memang benar ini rumah Ardan?" Suara Mama muncul dari arah dapur. Aku menoleh.
"Tentu saja benar Ma." Itu suara Mas Ardan. Lelaki itu muncul dari balik bahu ibunya. Aku menghela nafas berat.
"Mas, apa Mas ingin aku menjelaskan semuanya pada Mama?"
"Menjelaskan apa Nayma? Mama sudah tau kok rumah ini pemberian orangtuamu. Tapi memangnya kamu gak tau kalau hartamu ini sudah jadi harta bersama sejak kalian menikah. Jadi ini juga rumah Ardan. Rumah Mama dan adik - adikmu."
Hah? Dalil dari mana itu? Aku tertawa sumbang.
"Itu tidak benar Ma. Harta bawaan istri tetaplah milik istri…"
"Dan istri harus patuh pada suami. Ingat itu Nayma!" Hardik Mama.
Aku tertegun mendengar hardikan itu. Seumur hidup, Ibu tak pernah membentakku. Aku sedikit tergugu. Sementara Asti dan Ara tersenyum senyum penuh kemenangan.
"Mama, aku mohon jangan melanggar batasan. Aku menghormati Mama sebagai Ibu Mas Ardan. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku disakiti." Aku menatap Mama. Tak tersisa lagi secuilpun rasa hormat untuknya.
"Dan kalian…" aku menunjuk Asti dan Ara. "Jangan lupa bereskan semua ini dalam satu jam."
Aku melangkah menuju kamar, namun urung saat merasakan cengkraman keras di rambutku. Rabb, apa ini?
Mas Ardan menjambak rambutku sehingga kepalaku mendongak ke atas. Lalu menyentaknya dengan keras sehingga aku terhuyung - huyung.
"Jaga mulutmu saat bicara dengan keluargaku, terutama Mama!" Suaranya menggelegar.
Aku tak sanggup berkata - kata. Rasa nyeri di kulit kepala membuat mataku terasa panas. Tapi aku tak akan membiarkan air mataku tumpah dan mereka menikmati kekalahanku.
"Mas… kamu… kamu… menjambak rambutku? Kamu melakukannya?"
Mas Ardan tampak menyesal. Ya. Selama ini dia memang tak pernah main tangan. Ini yang pertama dan ternyata rasanya sangat menyakitkan.
"Jangan melawan Mama, Nayma."
Aku menggelengkan kepala.
"Aku akan mengingat ini." Bisikku pelan, lalu melanjutkan langkahku. Baru satu langkah dan aku tertegun melihat Aryan ternyata menyaksikan kekerasan yang dilakukan Ayahnya.
Gegas, kuraih Aryan dalam gendongan dan membawanya masuk ke kamarnya. Malam itu, aku tertidur di kamar Aryan sambil terisak
***
Aku mencium Aryan berkali - kali. Memeluknya erat. Bocah kecil itu menatapku dalam - dalam dengan mata bulatnya yang berbinar. Shandy dan Bik Sum saling pandang.
"Sudah deh, jangan melankolis kayak gitu. Aryan bukan mau dititipkan di panti asuhan. Aku ini kan calon tantenya juga."
Suara jenaka Shandy memecah suasana. Aku tertawa kecil sementara Bik Sum tersenyum. Ya, aku terpaksa membuat keputusan mengungsikan Aryan sekaligus bersama Bik Sum, setelah kejadian semalam. Aku tak ingin anakku melihat kekerasan yang mungkin akan sering terjadi di rumah. Belum lagi sikap seenaknya adik - adik Mas Ardan akan membuat rumah semakin tidak nyaman untuk anakku. Maka rumah Shandy adalah pilihan yang paling tepat.
Ah, seandainya aku masih punya orangtua…
"Aryan pasti betah di sini. Amaaan tenang aja. Apalagi ada Bik Sum juga kan. Nanti kita video call Om Azka ya." Shandy mencowel pipi Aryan
"Jangan Shan. Kalau Bang Azka tahu bagaimana kelakuan Mas Ardan, bisa - bisa dia langsung terbang kesini."
"Loh, malah bagus kan. Biar dihajar sekalian suamimu yang gak tahu diri itu."
Sssttt… aku menempelkan jari telunjuk di bibir sambil melirik Aryan. Aku tak ingin anakku mendengar kata - kata tak senonoh. Shandy menekap bibirnya sambil membulatkan jempol dan telunjuk kanannya. Oke.
***
Aku meringis malu pada petugas yang memasang cctv. Sejenak tadi dapat kulihat mereka agak kaget melihat keadaan rumah yang berantakan. Mungkin dipikirnya aku adalah ibu rumah tangga yang pemalas. Ah, biar sajalah. Aku harus berburu waktu memasang cctv di beberapa sudut tersembunyi sebelum Mas Ardan dan keluarganya pulang, entah dari mana.
"Oke Pak. Terimakasih. Saya harap perusahaan Bapak benar - benar dapat menjaga kerahasiaan klien. Saya tidak ingin ada yang tahu kalau saya pasang kamera di rumah saya sendiri." Aku tersenyum sambil menyelipkan amplop berisi tips yang cukup besar.
"Tenang saja Bu. Kami sudah terbiasa melakukannya. Apalagi Ibu adik dari Mbak Shandy, klien istimewa kami. Kami jamin aman."
Lelaki itu ikut tersenyum.
Setelah semua urusan beres dan petugas itu pulang, aku mulai mengambil sapu dan lap. Ini rumahku. Rumah yang sangat kucintai. Sedih rasanya melihat rumah ini tampak kotor dan tak terawat.
Semuanya nyaris mengkilat seperti semula ketika sebuah mobil Toyota Rush keluaran baru memasuki halaman yang memang terbuka. Mas Ardan dan adik - adik serta Mama keluar dengan riang gembira. Aku mengerutkan kening. Jadi dia berhasil ambil mobil baru? Hmmm.
"Nah gitu donk, jadi ibu rumah tangga itu pantesnya pegang sapu dan lap." Cetus Mama sambil menghempaskan tubuh di sofa.
Aku tak menggubris omongan Mama, melainkan menghampiri Mas Ardan yang tersenyum - senyum memandangi mobil barunya.
"Bagaimana Mas bisa ambil kredit mobil tanpa tanda tanganku?"
Mas Ardan tertawa
"Meniru tandatanganmu itu mudah Nayma. Hahaha… itu urusan kecil bagiku."
Aku menyipitkan mata. Oke. Mari kita mulai pertarungan ini.
***
Keluarga Benalu 5Aku menikmati sarapan dalam diam. Segelas jus buah dan setangkup roti isi sudah cukup untukku. Di hadapanku, ada dua porsi sarapan yang sama, yang kutujukan untuk Mas Ardan dan Mama."Hanya ini sarapannya?" Mama tiba - tiba sudah ada di hadapanku.Aku mengangguk."Ya Ma. Silakan dimakan."Mama mendengus. Diamatinya roti di piring dengan raut kesal."Mama tidak suka roti. Dan kenapa cuma 2 porsi? Kamu tidak menyediakan sarapan untuk adik - adikmu? Mana Bik Sum? Dasar pembantu tidak tahu diri. Jam segini masih tidur. Bik Suuummm…!"
Keluarga Benalu 6Suara cekikikan dari lantai bawah membangunkanku. Aku melirik jam di atas nakas. Pukul 11 malam. Kelelahan telah membuatku tertidur tanpa sadar di kamar Aryan, memeluk bantal mcqueen kesayangannya. Mas Ardan pasti sudah pulang. Sejak Bik Sum pergi, dia meminta kunci cadangan agar tak perlu membangunkanku jika pulang malam.Perlahan aku keluar. Dari lantai atas dapat kulihat pemandangan di ruang keluarga. Ara yang tertidur di sofa. Entahlah kenapa anak itu suka sekali tidur di sofa padahal ada kamar yang sudah kusediakan. Lalu Asti yang tengah bermain gawai. Dan… Dania, yang tengah duduk tak jauh dari Mas Ardan. Mereka ngobrol sambil tertawa - tawa."Astaga. Anak gadis siapa tengah malam gini masih bertamu di rumah orang?"&n
Keluarga Benalu 7"Aku tidak ada hubungan apa - apa dengan Dania, Nay."Mas Ardan berusaha menenangkanku. Entah apa yang membuatnya melunak, tidak membentak dan membabi buta seperti biasanya. Mungkin dia memikirkan cicilan mobil yang dia pikir akan kubayar. Enak saja batinku. Biasanya jika Mas Ardan marah, aku harus merelakan beberapa barang di rumah hancur karena dia banting. Piring, gelas, vas bunga. Apa saja yang bisa dia raih."Ah, memangnya kenapa kalau kami dekat dengan Dania? Lagipula Dania itu pemurah. Tidak pelit. Dan dia juga sekarang sudah kaya." Desis Asti.Aku menatap semua yang duduk di meja makan. Sengaja ku kumpulkan mereka semua untuk pertama kalinya setelah 2 minggu nyaris membuat rumah
Keluarga Benalu 8Rate 21+Aku menatap wajah tampan itu lewat layar handphone milik Shandy. Rasa haru menyerangku mengingat sudah 6 bulan lamanya kami tak bertemu. Bang Azka mirip sekali dengan Almarhumah Ibuku. Terutama sorot tajam matanya yang selalu melembut tiap kali bicara padaku. Ya. Dia telah merawatku hampir sepanjang umurku. Ibu meninggal dunia saat aku kelas 6 SD. Ayah yang sibuk dengan bisnisnya seringkali terpaksa meninggalkan kami berdua bersama beberapa ART saja. Dia mengerti diriku bahkan lebih dariku sendiri."Kenapa matamu sembab? Kamu habis menangis? Apa yang dilakukan Ardan padamu?"Pertanyaannya bertubi - tubi. Aku tertawa."Aku me
Keluarga Benalu 9Pintu depan yang memang sejak tadi sengaja tak ku kunci, untuk berjaga - jaga atas kemungkinan terburuk, kini menjeblak terbuka lebar. Shandy diikuti dua lelaki berbadan tegap dan kekar masuk dan langsung menghampiri kami. Shandy berdiri di depanku, memposisikan dirinya dengan sikap melindungi. Sementara dua lelaki tadi berdiri di sisi kiri kanan kami."Berani sekali kau menyentuh adikku! Dasar lelaki baj*ngan!" Bentak Shandy.Wajah Mas Ardan merah padam. Ditatapnya aku dengan pandangan menghakimi."Jadi kau merencanakan semua ini, Nayma? Kau sengaja memasang kamera untuk memata - mataiku? Kau berkomplot dengan Shandy untuk menjebakku!"
Keluarga Benalu 10Dari teras rumah yang berjarak sekitar 10 meter ke pintu gerbang, dapat kulihat Mama, Asti dan Ara menggedor - gedor pagar dengan ribut. Pak Hasan, satpam yang biasa berjaga memang sengaja kuberi cuti. Aku tak ingin terlalu banyak orang mengetahui kemalanganku. Rasanya memalukan kalau sampai banyak orang tahu aku suamiku membawa selingkuhannya ke rumah, lalu bercinta di kamarku. Mas Ardan sendiri entahlah apakah masih punya malu atau tidak.Aku menyuruh Bik Sum membuka gerbang sebelum para tetangga berdatangan. Suara gedoran pagar dan teriakan mereka benar - benar merusak suasana."Astaga! Kenapa lama sekali? Kau mau membuat kami mati kepanasan?" Cecar Mama begitu menginjakkan kaki di teras. Mereka bertiga menghempaskan tubuh di sofa dengan waj
Keluarga Benalu 11Dania duduk di sofa dalam ruanganku sambil matanya tak henti celingukan. Mungkin dia heran bagaimana manajer sepertiku punya ruangan pribadi semewah ini. Apalagi melihat sikap Diva sekretarisku yang penuh hormat."Jadi apa yang membawamu kemari?""Aku tidak mau mengurus mertua dan adik - adik iparmu. Tolong bawa mereka pulang, Mbak."Aku tertawa."Aku dan Mas Ardan akan segera bercerai. Dan jika kalian menikah, mereka akan jadi keluargamu juga. Belajarlah menerima itu.""Tidak bisa, Mbak. Aku hanya menginginkan Mas Ardan. Aku tak sekaya Mbak. Tak bisa mengurus keluarg
Keluarga Benalu 12"Aku tidak akan minta maaf padamu, apalagi berlutut. Aku tidak sudi! Kau sudah membuat kami jadi gembel!" Sentak Asti keras. Dilepasnya cekalan tangan dua orang perawat yang tadi melerai kami. Dia bergeser menjauh sambil menghentakkan kaki. Mas Ardan tampak terkejut di atas brankarnya, tapi tak mampu berbuat apa - apa. Aku merapikan rambutku yang kusut masai. Menoleh berkeliling, banyak keluarga pasien menonton pertengkaran kami. Sungguh memalukan.Tak ingin berlama - lama membuat kegaduhan, aku segera berlalu. Tak ku pedulikan panggilan Mas Ardan. Niatku ingin membayar ongkos rumah sakitnya menguap. Carilah sendiri uang itu! Aku tak akan sudi lagi berurusan dengan kalian. Keinginanku untuk segera bercerai makin bulat. Kalau kalian merasa aku telah membuat kalian jadi gembel, baiklah aku tak akan tanggu