Kami keluar dari kerumunan setelah agak lelah menari. Duduk bertiga di teras rumah Chantrea dan Chanthou. "Akan kuambil minuman!" kata Chantrea ke belakang diikuti oleh Chanthou. "Apa yang terjadi Kris?!" tanya Tirtasari saat kamu berdua saja. Orang-orang masih sibuk menari di lapangan dan sudut-sudut desa. "Entahlah," jawabku, "Akhirnya kita menikah.""Yah," balasnya tersenyum kecil. "Kau tak suka?""Hmm, suka, tapi apa yang kita lakukan di sini?!""Kau keberatan aku menikahi Chantrea dan Chanthou?""Tidak, aku tak keberatan. Bukan itu. Tapi kita punya misi bukan?!""Yah, tetap kita jalankan. Jangan sampai pernikahan menghalangi tujuan kita!""Bagus!"Chantrea dan Chanthou keluar kembali sambil membawa minuman dan makanan tambahan. Dengan lembut mereka menyajikannya kepada kami.Kami nikmati hidangan itu sambil memandangi pesta. Minum tuak dan berbagai makanan lain. Kong Kea datang dengan beberapa istrinya. Memberi kami banyak hadiah. Berbagai perhiasan dari emas dan permata.
Mereka pun memakai kain penutup dada mereka lagi. "Ayo, ikut kami!" ajak Chantrea. Aku dan Tirtasari saling pandang. Lalu beranjak mengikuti si kembar itu untuk keluar kamar. Keduanya mengendap-endap dan sembunyi-sembunyi keluar rumah. Untung saja suasana telah sepi. Kami terus menyelinap di keheningan desa sehabis berpesta. Hanya terlihat beberapa orang yang berjaga di sudut-sudut desa dan lapangan. Menyalakan api unggun kecil sebagai penerangan. Kedua istri baruku dengan lincah mengajak kami mendekati rumah ayahnya. Seperti maling, kami mengitari rumah panggung itu, lalu mendapatkan tempat untuk mengintip dari luar dinding kayunya. Yah, kami diajak mengintip kamar Kong Kea. "Apa yang kita lakukan?" tanya Tirtasari berbisik. "Ssstt!" tegur Chantrea mengajak kami mengintip lewat sebuah lubang kecil."Kami sering mengintip lewat sini!" terang Chanthou pelan. Aku dan Tirtasari bergantian mengintip lewat lubang kecil itu. Terlihat Kong Kea sedang merebah santai di tikarnya. "Kal
"Mari mendekatlah!" perintahku pada Chantrea dan Chanthou. "Sana, jangan malu-malu!" dorong Tirtasari lembut, "Dia suami kalian sekarang!" "Kau juga kemari Tirtasari!" perintahku, "Aku juga?!" Chantrea dan Chanthou tertawa manis. "Kau bidadariku juga bukan?!" cecarku. "Dasar perayu!" balasnya melotot mesra. Tirtasari mendekat padaku dengan mengajak Chantrea dan Chanthou. Kurengkuh ketiganya dan kuelus pundak mereka. "Kalian bidadari tercantik yang pernah kulihat!" pujiku. "Bohong!" jawab Chantrea. "Tuh, mereka saja tahu kalau kau bohong!" imbuh Tirtasari, "Ha ha ha!" Aku tersenyum dan mencium pipi Tirtasari. Kulihat si kembar menatap kami tanpa berkedip. Kulihat dada mereka kembang kempis. Barangkali bergetar akan pengalaman pertama ini. Kuelus pundak mereka berdua. sangat halus dan mulus. Kucium pundah halus itu dan kuresapi rasanya. sangat wangi dan mulus. Mereka kulihat terpejam menikmatinya. Selanjunya kuelus pipi mereka. "Aku tidak bohong!" jawabku pada Chantrea dan
Tirtasari turut menjadi sumber keindahan malam. Ia menuntun kedua gadis kembar melayaniku dengan baik.Dan rupanya Chantrea dan Chanthou sendiri telah diajari teknik percintaan. Atau karena mereka sering mengintip kamar ayahnya?Pesona dan kehangatan mereka sungguh melenakan. Lain dari segenap wanita yang telah kunikmati selama ini.Kepuasan pun melandaku hingga berlimpah ruah. Tak terbayangkan keindahan semacam ini sebelumnya. Di tengah hutan jantung Asia Tenggara ini.Aku merebah dengan tiga wanita mengitariku setelah puas. Kepeluk dan kukecupi mesra kening mulus mereka. Chantrea dan Chanthou di sampingku. Sementara Tirtasari di belakang Chanthou.“Bagaimana cara keluar dari sini?” tanyaku mengusap kedua pundak istri kembarku.“Mau kemana?” tanya Chantrea.“Kami ingin melacak lagi orang yang kami curigai,” jawabku.“Tapi kita baru saja menikah!” balas Chanthou sedikit merengut manja.“Kami harus cepat,” jawabku, “Bahaya besar sedang mengintai.”“Yah, itu benar!” sahut Tirtasari, “Mu
"Ah, apa yang kau lakukan?" tanya Chantrea kutindih dan kugumuli. "Menikmati bidadari sebelum siang!" jawabku menciumi bibir, pipi dan menjalar ke lehernya. "Ah, suamiku!" desahnya pasrah dan memelukku erat. Chanthou tersenyum menggelengkan kepala di sampingnya. Melihat kakaknya menjadi korban keganasan gairah pagiku. "Dia memang begitu," terang Tirtasari, "Kalian harus terbiasa!" "Kalian sudah sering melakukannya?" balas Chanthou padanya. "Hmm yah," jawab Tirtasari agak bingung, "Kira-kira begitulah." Kucumbui dan kunikmati Chantrea. Sungguh wangi dan nikmat. Chanthou terus memperhatikan kakaknya kugumuli. Dadanya kuremas-remas dan kutarik kasar kain penutupnya. Ia pun tanggap dan melepaskanya sendiri. Begitu juga milik Chantrea. Kulepaskan semua penutup tubuhnya. Bidadari ini harus menjadi sarapanku. Tubuh mulusnya benar-benar membiusku dan menambah energi pagi. Saat kunikmati putri itu, tiba-tiba Bopha dan Botum masuk ke kamar. Mereka mungkin kaget, tapi kemudi
Setelah melewati ladang dan persawahan, kami pun sampai di desa terdekat. Desa yang cukup ramai. Kawanan gajah yang kami tumpangi lagi-lagi menarik perhatian dan membuat warga berkumpul. Mereka pun menyambut Chantrea dan Chanthou seperti menyambut anak mereka sendiri. Lagi-lagi akupun mereka perkenalkan sebagai suami si kembar itu. Ucapan selamat dan kesenangan melimpahi kami. "Benar-benar ganteng!" puji beberapa warga wanita. "Dia bukan dari desa ini, bukan juga orang hutan, dari manakah dia?" tanya yang lain. "Dari luar negeri!" jawab Chanthou. "Wah, hebat, Kalian bisa punya suami dari luar negeri. Sama seperti ayah kalian!" "Dia juga segagah dan seganteng ayah kalian!" puji yang lain, "Waktu masih muda dulu!" Chantrea dan Chanthou hanya tersenyum saja. "Yah, pantas saja bidadari tertarik padanya. Dan kini putri-putri bidadari tertarik pada lelaki ini!" "Hei, apa kau punya adik lelaki?" tanya seorang ibu mengelus daguku, "Putriku tak kalah cantik dengan Chantrea
"Ini juga anak gadisku," ungkap seorang ibu yang lain, "Empat belas tahun. Lebih muda dan lebih cantik. Juga pintar memasak dan memeras susu sapi." "Ha ha ha, kalian ini!" tegur sang paman dan istrinya geli. Kami pun menanggapi pesta dadakan itu. Kian banyak warga yang memperkenalkan anak-anak gadisnya padaku. "Kenapa kalian membawa semua anak kalian kemari?!" tanya sang paman. "Biar saja," jawab salah satu di antara mereka, "tidak bisa jadi istri Kong Kea, jadi istri menantunya juga tak mengapa!" "Yah, apalagi bersanding bersama Chantrea dan Chanthou!" imbuh yang lain. "Ha ha ha!" gelak paman dan yang lain. "Kau kian hari kian populer saja Kris!" bisik Tirtasari dengan bahasa negeri, "Bisa mengalahkan Kong Kea. Pilih tuh cewek-cewek mana yang mau kau ambil. Mumpung di sini! Ha ha!" "Kerjaan dulu, urusan kawin belakangan," jawabku tersenyum. Kuperiksa peralatan kami. Baterai lumayan cukup terisi. Kuperiksa lokasi orang yang kami buntuti. Orang itu terpantau bera
Pahala besar melekat pada tindakan yang melindungi orang-orang di muka bumi ini.(Mahabharata)Jadi superhero itu sulit. Kalau ada yang bilang mudah, berarti ia belum pernah jadi superhero.Dan kesulitan itu semakin bertambah saja di jaman ini. Jaman serba canggih, namun serba sulit.Salah-satu kesulitannya adalah; orang-orang semakin pintar. Banyak akal dan keinginan. Ada-ada saja kelakuannya setiap hari. Membikin susah untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.Dulu penjahat mudah dikenali. Bertampang seram, kostum menakutkan, suara garang dan suka tertawa terbahak-bahak.Sekarang, penjahat nampak seperti orang baik-baik. Bahkan kadang mirip superhero. Itu yang membuat manusia semakin terhimpit dalam kesulitan.Kian hari, kian banyak kejahatan terjadi. Membuat superhero semakin banyak dibutuhkan.Alhasil, muncul beragam superhero dengan berbagai kekuatan dan latar belakang