Celah pintu kamar mandi terbuka lebar, Aghata keluar sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. Kening Aghata berkerut, ia melihat Andi sedang terpaku sambil memegang sepatu miliknya. Andi tergegap-gegap saat Aghata menghampirinya.
“K-kamu sudah ... selesai?” tanya Andi. Jari telunjuknya yang terkena darah di sembunyikan di belakang punggung, ia melihat ke arah lain.
Aghata menyipitkan matanya melihat Andi yang bertingkah aneh, tapi kemudian ia acuh tak acuh. “Aku baru saja selesai, tapi aku akan pergi lagi keluar membeli sesuatu.”
Aghata meraih jaketnya yang disampirkan di bahu kursi. Ia langsung merampas sepatu miliknya di tangan Andi dan segera pergi tanpa sepatah kata. Setelah memakan waktu untuk berpikir, Andi memutuskan untuk mengikuti Aghata secara diam-diam. Ia langsung mengenakan jaket dan topi menyusul Aghata sambil berlari.
Titik henti kaki Andi berada di simpang empat, matanya menangkap Aghata yang berjalan seorang diri ke arah kanan. Jarak dari mereka lebih didekatkan hingga 2 meter oleh Andi. Ia mengendap-endap seperti maling, sesekali bersembunyi ketika Aghata melihat ke belakang.
Andi berhasil mengekor hingga berada di perkotaan, sosok Aghata hanya terlihat sampai penyeberangan lalu lintas. Pandangan Andi terlepas dari Aghata saat seseorang membentur bahunya.
“Cih! Sial, aku jadi kehilangan jejaknya.” Andi bertolak pinggang sambil celingukan mencari sosok Aghata.
***
Butiran air berwarna putih bagaikan kapas membeku di udara, dan jatuh ke bumi akibat temperatur udara kala itu berada di bawah titik beku. Jumlahnya semakin banyak, bersemayam menjadi gundukan yang menutupi jalan, atap rumah, dan benda lain.
Deru angin membawanya beterbangan sampai ke kota E bagian selatan. Di bawah lampu jalan yang menunduk terdapat simpang empat. Ujung jalan yang mengarah ke kiri tertutup dengan sekatan dinding dari bata. Lampu di persimpangan hanya menyorot hingga depan jalan itu, sehingga ujungnya yang buntu gelap gulita tidak tersorot cahaya.
Di jalan yang buntu itu, seorang anak laki-laki tengah berdiri merapatkan tubuhnya di dinding. Ujung pakaian yang dikenakan anak itu terlihat bergetar. Ia hanya bergeming di hadapan tiga pria tua yang sedang terkekeh. Satu permen gagang dipegang oleh pria bertato di lengan.
“Ayolah, Dik! Ikut sama, Om!” ajak pria bertato. Ia menggoyangkan permen di tangan berusaha menggiurkan si anak. Tetapi, mulut anak itu hanya bungkam tak berani menatap tiga pria di hadapannya.
“Aku ingin pulang!” rengek anak itu menahan tangis. Sudut matanya mulai timbul setetes air bening.
Dua pria yang ada di belakang pria bertato mulai jemu dengan anak itu yang terus merengek. Kedua pria itu mengambil tindakan untuk membawanya secara paksa, akan tetapi anak itu malah menangis dengan kencang. Raungan dari si anak bisa terdengar hingga jarak 5 meter ke arah persimpangan.
“Diam!” bentak pria bertato.
Dari balik dinding, seorang wanita bertopeng dengan rambut terurai bersandar di plesteran bata merah. Ia mendengarkan pembicaraan tiga pria dan seorang anak di jalan yang buntu. Kedua tangannya dipendam dalam saku jaket sambil memegang sebuah pistol desert eagle. Wanita itu mengayunkan kaki menghampiri pria dan anak laki-laki itu.
Ketiga pria itu mengalihkan pandangannya saat menyadari seorang wanita bertopeng datang, dua pria di belakang pria bertato merentangkan tangan, menjaga anak itu agar tidak melarikan diri.
Pria dengan tato di lengan sedikit lebih maju menghadap wanita itu. “Lihat siapa ini? Apa kamu sedang bermain dengan anak ini menggunakan topeng itu?” Mulutnya mengerut berusaha menahan tawa.
Wanita itu tidak acuh pada pria yang bicara dengannya, ia malah melirik anak itu yang gemetar ketakutan. Dengus napasnya keluar bersamaan dengan tangan yang mengepal. Sementara jari telunjuk yang lentik mengkokang peluru pistol dalam saku jaket.
“Hei, Nak!” panggil wanita itu. Anak itu mengangkat kepalanya, melihat wanita itu dengan tatapan memelas. “Tutup mata dan telingamu sekarang! Pastikan kamu tidak mendengar suara apa pun!”
Ke tiga pria di ujung jalan terkekeh saat wanita itu angkat suara, menganggap ucapannya sebagai lelucon. Sedangkan si anak menuruti perkataan wanita itu, menutup mata dan telinganya rapat-rapat.
Tangan wanita itu keluar dari saku jaket, mengarahkan moncong pistol ke arah tiga pria di depannya. Ia menarik pelatuk pistol yang siap memuntahkan peluru ke arah pria berambut pirang. Darah yang pekat memuncrat hebat berasal dari dada pria berambut pirang. Tubuh pria itu tumbang bagai pohon yang diterjang angin badai.
Tersisa dua pria lagi di hadapan wanita itu yang terpaku melihat rekannya tertembak. Tak ingin berakhir mengenaskan, keduanya mengeluarkan revolver dari saku celana. Pertandingan dua lawan satu ditantang oleh wanita itu, pantang baginya untuk mundur sebelum musuh habis tuntas.
Pria dengan tindik di bibir maju lebih dulu berjalan sambil menembaki wanita itu, akan tetapi ia berhasil mengindar. Terjadi baku tembak sampai lengan wanita itu tergores peluru revolver milik pria itu. Ia melepas jaket miliknya, menjadikan jaket itu sebagai tali untuk membelit leher pria dengan tindik di bibir. Ia mengubah titik berdiri di belakang pria itu, membuat kaki pria itu meronta-ronta kesulitan bernapas. Pistol desert eagle diletakkan ke pelipis pria itu, melepas peluru yang tidak hanya merusak saraf, melainkan memecahkan plasma merah.
Wanita itu melempar pria dengan tindik di bibir yang sudah tak bernyawa ke tanah, jauh mata memandang pria dengan tato di lengan tersentak saat mata mereka bertemu. Pria itu tak berkutat dan menjatuhkan revolver di tangannya. Tak ingin mengulur waktu, ia langsung membidik jantung pria itu. Akan tetapi, rasa perih di lengannya yang terluka membuat bidikan pistol meleset.
Suara tembakan barusan terdengar samar di telinga anak itu, ia sedikit merapatkan tangannya di telinga. Kedua alis yang hitam hampir menyatu di kala ketakutan datang. Bibir kecil yang tadinya berwarna merah muda berkamuflase menjadi biru.
Wanita itu berjalan mendekati pria bertato yang sudah diambang kematian. Ia meletakkan ujung sepatunya di atas tubuh pria itu yang tertembak sebagai penyanggah untuk berdiri. Sedikit tenaga dikeluarkan untuk memendam peluru lebih dalam, pria itu meringis merasa kesakitan. Ia mencengkeram dagu pria itu, membuka paksa mulutnya. Wanita itu menyeringai sambil memasukkan moncong pistol ke dalam mulut pria itu, jarinya tanpa ragu menarik pelatuk pistol. Kali ini suara tembakan meredam di tenggorokan pria itu. Liur berwarna merah mengucur ketika mulut pria itu tak bisa menampung pembuluh darah yang pecah.
Wanita itu menghampiri anak laki-laki yang masih menutup telinga dan mata, mengusap percikan darah di pipi anak itu dengan ibu jari. Sentuhan yang lembut membuatnya terkejut dan membuka mata. Anak itu ingin berpaling darinya, tapi kedua tangan wanita itu menahan di dagu.
“Pulanglah, Nak! Orang tuamu pasti khawatir.” Tangannya mengelus kepala anak itu. “Jangan melihat sekitarmu saat berjalan, apalagi melihat ke belakang! Ini rahasia kita berdua, mengerti?” Jari kelingking wanita itu mengacung, membutuhkan balasan dari si anak.
Ia setuju merahasiakan kejadian malam itu. Anak itu berlari dengan pandangan yang lurus meninggalkan wanita itu seorang diri. Salju membekukan darah yang mengalir di atas tanah sebelum menyentuh ujung sepatunya. Uap putih berhembus dari mulutnya ketika berdengus.
Suara sirine yang berasal dari mobil patroli polisi dan ambulan saling bersahutan. Banyak orang berdatangan sehingga polisi memasang tali pembatas yang melintang di jalan itu. Seorang wanita berambut pendek diintrogasi sebagai orang yang melaporkan kejadian. Wanita itu mengaku mendengar suara tembakan, ia berniat mencari asal suara itu, akan tetapi tubuhnya melemas saat melihat tiga pria bersimbah darah di jalan yang buntu.
Di antara banyaknya orang yang menutupi olah TKP, Andi berdiri sambil berjinjit-jinjit di barisan belakang. Matanya berkeliling ingin tahu lebih jelas wajah korban. Akan tetapi ia memutuskan untuk menyerah dengan usahanya, tanpa sadar Aghata sudah berdiri di sebelahnya.
Andi terkejut melihat Aghata, ia berkata, “Aghata! Sejak kapan kamu di sini?”
“Aku mendengar suara sirine mengarah ke sini, jadi aku mengikutinya,” jawab Aghata, “kamu sendiri, sejak kapan di sini?”
Andi terdiam sesaat, mana mungkin ia menjawab sedang membuntutinya karena rasa curiga. “Tadinya aku ingin menyusulmu, ada sesuatu yang harus aku beli. Tapi tiba-tiba sirine mobil patroli dan ambulan menyala mengarah ke sini, begitulah akhirnya aku bisa di sini.” Andi menjawab sambil melihat ke arah lain.
Ia menyadari kalau jaket bagian lengan Aghata robek, wajahnya sedikit mencondong melihat lebih dekat. Ternyata bukan hanya robek, melainkan sebuah luka dengan goresan yang panjang. “Lenganmu kenapa?”
Telapak tangan Aghata segera menutupi lengannya yang terluka. “Aku baik-baik saja, ini hanya tergores paku bukan luka serius. Lebih baik kita pulang sekarang, cuacanya semakin dingin malam ini,” ajak Aghata.
Awalnya Andi ingin membuang segala kecurigaan yang tertanam di pikirannya, akan tetapi bercak darah tidak hanya di sepatu Aghata, bahkan ada di rahangnya yang tirus. Apakah ada hal yang disembunyikan? Seharusnya Andi menanyakan hal itu, tapi ia tidak mempunyai keberanian untuk bertanya.
“Apa kamu tahu? Anakku katanya melihat pelakunya, dia seorang wanita! Tapi wajahnya tidak bisa dikenali karena memakai topeng di wajah,” seru wanita tua dengan handuk menggulung di rambut, berbisik pada wanita berkulit cokelat di sebelahnya.
Andi melirik lengan Aghata, pupil mata berwarna cokelat kembali terfokus pada luka di lengannya. Bayangan Andi yang menatap terlihat samar di sudut mata Aghata, membuatnya tersadar dan melihat Andi.
Ia mengerutkan keningnya. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Aghata
“Luka di lenganmu terlihat sangat parah, apa kamu ...”
Kerutan di kening Aghata mulai menghilang, wajahnya menjadi pucat pasi sedikit gugup. “Aku apa?” tanya Aghata. Apa kamu ada kaitannya dengan kasus malam ini? Seharusnya Andi bertanya hal itu, tapi dipendam kembali dalam hati dan menukarnya dengan sebuah tawaran. “Apa kamu ingin ke rumah sakit? Aku takut lukanya lebih parah dari dugaanmu,” saran Andi. Diam-diam Aghata menghela napasnya, ia pikir Andi akan menanyakan hal yang penting karena wajahnya mendadak jadi sangat serius. Keringat bahkan turun membasahi pelipis Aghata. Jika dilihat dari berbagai sudut, luka di lengan Aghata akan membuat orang lain salah paham, dan mengira ia terlibat dalam kasus pembunuhan malam ini. “Aghata! Kenapa diam saja? Apa lukanya semakin sakit?” Tangan Andi melambai-lambai di depan wajah Aghata. “Tidak terlalu sakit, kita pulang sekarang! Aku akan m
Pria bertubuh besar dan wanita itu langsung berpaling melihat seorang pria di belakang pria bertubuh besar. Dan tentunya benar! Nama dari wanita bertopeng adalah Aghata. Kini bertambah satu orang lagi yang mengetahui identitas Aghata sebagai wanita bertopeng. Mata Aghata dan pria itu bertemu, beradu dengan mulut yang membisu. Tatkala kegelisahan datang, Aghata berkata, “Andi?” Tepat sekali! Pria yang berdiri terpaku di belakang pria bertubuh besar adalah Andi, seseorang yang dianggap sebagai keluarga oleh Aghata. Andi tak bisa berkata-kata, lidahnya terasa kelu dan tenggorokan terasa kering. Dibanding dengan rasa takut ketika dikepung, Aghata lebih takut jika identitasnya diketahui, terlebih lagi oleh orang yang berharga bagi dirinya. Sementara pria berkumis tipis di belakang Aghata bangkit, mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ujung pisau yang tajam melayan
“Jangan bicara sekarang! Bisa saja ruangan ini sudah disadap seseorang,” sela Andi membuat Aghata berhenti bicara. “Aku memang tidak berniat menjelaskan di sini.” Aghata menjawab dengan dingin. Andi berdecak sambil menatap Aghata dengan tajam. Tiba-tiba Andi merasakan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuhnya, ketika berusaha mengingat saat tertikam dan jatuh di pangkuan Aghata. Dan untuk pertama kali Andi bisa melihat tatapan hangat dari sosok Aghata yang lebih cenderung bersikap dingin. Berapa banyak lagi kepingan misteri yang Aghata sembunyikan? Wanita yang cantik di depannya, bukanlah wanita yang hanya memikirkan percintaan. Akan tetapi di mata Andi, Aghata adalah wanita yang mempunyai banyak rahasia. “Aku akan pesankan makanan untukmu, karena aku tahu makanan rumah sakit sangatlah tidak enak rasanya.” Aghata beranjak dari kursi sambil merapihkan rambutnya.
Sesekali Andi menyapu helai rambut dengan sela-sela jari, menarik rambutnya sedikit melepas rasa pening di kepala. Dengus napas kerap terdengar berat, Andi tak bisa berkata-kata mendengar semua kebenaran tentang Aghata. Mengingat berapa banyak orang yang Aghata bunuh, tubuh Andi bergetar tanpa perintah. “Apa kamu merasa takut padaku sekarang?” tanya Aghata menatap Andi. Andi berdeham saat Aghata mengetahui keadaannya sekarang. “Ke-kenapa kamu tanya hal itu? Bukan bertanya aku kecewa atau tidak padamu?” tanya Andi sedikit gugup. “Daripada kecewa sepertinya kamu menjadi takut padaku, sejak aku menyelimutimu saat di rumah sakit,” ucap Aghata membuat Andi tertegun. Andi memalingkan wajahnya, kemudian melihat Aghata kembali. “Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Aghata beranjak dari kursi.
Peluru pistol desert eagle di tangan Aghata berdesing, menembus pakaian pria yang berdiri di ujung kiri tepat di dada. Tindakan Aghata membuat semua orang terkejut, Aghata menatap pria yang ditembaknya dan berkata, “Jangan sebut nama ibuku dengan mulut kotor kalian!” kecam Aghata sambil menatap satu per satu pria di depannya. Empat pasang roda kecil di bawah kursi mulai bergetar. Pria yang duduk di atasnya melihat Aghata dengan raut wajah yang berbeda. Mata pria itu dan mata Aghata bertemu. “Psikopat! Dasar wanita psikopat!” cemooh pria itu menatap Aghata. “Psikopat?” Iris mata Aghata menatap tajam, bibirnya menyeringai. “Apa itu? Panggilan baru untukku? Kalau begitu terima kasih, tapi aku tak menyukainya!” tolak Aghata. Pria berkacamata yang dipanggil dengan nama Regi mengkatup rahangnya, ia menatap tajam Aghata sambil berkata, “Dari mana
“Aku akan tetap di sini!” jawab Andi cepat. Setelah mendapat jawaban Andi, Aghata membuka paksa mulut Regi, memasukan moncong pistol ke dalam mulut. Tentu saja kali ini Aghata tidak akan menembak di dada Regi, melainkan langsung menyuruh Regi menelan peluru setelah Aghata menekan pelatuk pistol. Sontak Andi menutup mata dengan tangan, ia bahkan lupa menutup telinganya. DOR!!! Desing peluru terdengar nyaring akibat moncong pistol tidak terlalu dalam. Perlahan Regi memuntahkan darah dari mulutnya, hingga terjun ke lantai menjadi genangan darah. Aghata perlahan menjauhkan diri dari mayat Regi, ia tak ingin mengotori pakaiannya dengan darah. Dari kejauhan, Andi terjatuh ke lantai karena tak bisa menahan tubuhnya yang melemas. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Belum lagi ingatan saat ditikam
“Ampuni aku tolong! Ampun!” mohon pria itu bersujud di lantai. “Siapa yang mengirimmu datang ke sini? Cepat katakan!” gertak Aghata dengan nada meninggi. “Tidak ada yang mengirimku ... aku ... aku datang secara pribadi menemuimu, Nona!” Pria itu menangis, kedua telapak tangan menyatu di atas kepala. “Apa tujuan kamu menemuiku? Berani sekali orang kepercayaan Nando datang ke sini!” murka Aghata menatap tajam. “Aku melihat ciri-ciri pembunuh ibu Nona.” Aghata mengerutkan keningnya, ia meletakkan mocong revolver di kepala pria itu. “Ceritakan semua yang kamu tahu, tanpa terkecuali!” perintah Aghata. “Dua jam sebelum ibumu disekap, aku mendapat sebuah pesan berisi perintah. Orang dalam pesan itu menyuruhku menyekap ibumu. Saat itu aku berusaha melacak nomor itu,
Clarista mengerutkan kening, setetes air bening turun membasahi pelipisnya. Kepanasan? Tentu saja tidak, karena ruangan itu dilengkapi pendingin ruangan. Sudut wajah Clarista yang mulai menegang bisa terlihat oleh Aghata, namun Clarista berusaha menutupi rasa tegang itu. “Bukankah ucapanmu sangat lancang? Kamu bisa ditahan atas pencemaran nama baik,” sangkal Clarista yang akhirnya menatap Aghata. “Benarkah?” “Apa maumu?” Clarista bertanya seolah melihat Aghata menginginkan sesuatu. “Saya lihat Anda menilai saya berbeda dengan yang lain, bukan begitu?” terka Aghata, “Anda bisa mempertimbangkanku untuk bekerja di sini dengan cara lain, misalnya menarik investor yang sulit sekali diajak bekerja sama,” usul Aghata. Clarista menatap Aghata dan berkata, “Kalau begitu silakan! Jika kamu berhasil, kam