"Nin, parah banget kamu jadi istri. Suami sendiri dikeluarin dari pekerjaannya."
"Terus?" tanyaku pelan.
"Ya ampun, kamu kayaknya beneran kemasukan, Nin. Dari habis melahirkan kayak gini. Lama-lama pusing lihat kamu, Nin."
"Kenapa, sih?"
Mama Mas Reno mulai ikut campur lagi. Aku meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. Tidak peduli.
"Posisi Reno sebagai keuangan di butik Nina diganti sama orang lain, Ma. Pas Reno protes, karena nama Reno jelas-jelas harusnya masih tertera sebagai bagian dari tim, justru gak ada lagi. Keganti sama orang itu."
Wow. Anak yang benar-benar manja, mengadu pada Mamanya.
"Semuanya ulah kamu, Nina?" tanya Mama geram.
Aku beranjak, menatap mertua dan Mas Reno dingin.
"Kalau iya, kenapa?" tanyaku sambil berlalu.
Biarkan saja dia pusing dengan posisinya yang terganti itu. Aku membuka pintu kamar, meletakkan Raja ke tempat tidur bayi.
Baru saja duduk di tempat tidur. Terdengar bunyi benda terjatuh cukup keras. Aku langsung melangkah ke tempat suara.
Langkahku terhenti melihat bingkai foto terjatuh. Itu foto pernikahanku dan Mas Reno.
"Maaf, Nin. Jatuh sendiri tadi."
"Kena angin?" tanyaku menatapnya tajam.
"Iya kayaknya. Nanti aku ganti, deh. Kamu gak usah marah-marah terus. Nanti cantiknya hilang."
"Ganti pakai daun? Kamu aja gak punya uang."
Mas Reno batuk-batuk mendengar perkataanku. Dia sepertinya tersinggung sekali dengan perkataanku tadi.
Ah, memangnya aku peduli dia tersinggung atau tidak. Aku tersenyum tipis, ini malah membuat dia harusnya sadar.
"Ayo, kita makan di luar, Reno."
Kami menoleh ke Mama Mas Reno yang memakai pakaian bagus. Begitu juga dengan Rini. Aku melirik Mas Reno yang terlihat kebingungan.
"Mau kemana, Ma?"
"Makan siang di restoran, lah. Mama bosan cuma dikasih kerupuk di sini."
Wajah Mas Reno kembali terlihat kusut. "Mau pakai uang siapa? Reno gak punya uang sama sekali."
Bisa aku lihat, Mama Mas Reno melirikku. Dia memberikan kode agar Mas Reno meminta uang padaku.
Coba saja kalau bisa. Aku duduk di sofa, melipat kedua tangan di depan dada, memejamkan mata. Menunggu apa yang akan mereka lakukan.
"Nin, Mas minta uang, dong. Ayolah."
Aku mengabaikannya, memperbaiki posisi duduk.
"Nina."
Ah, aku punya ide menarik.
Mataku terbuka, menatap Mas Reno yang menatap penuh harap. Beberapa detik, aku mengangguk.
"Nanti aku transfer."
"Serius, ya? Pokoknya harus kamu transfer. Lima juta aja."
Lima juta aja?
Mungkin, menurutnya mencari yang tinggal petik kayak di pohon. Aku menatap ketiga manusia tidak tahu malu itu. Mereka tampak tersenyum cerah.
"Kita pergi dulu. Nanti kita bawain makanan buat kamu. Jangan lupa ditransfer, Nin."
Mobil itu meninggalkan rumah. Aku menutup pintu, kemudian melangkah ke kamar. Mencari surat perjanjian asli yang disimpan Mas Reno.
Sudah mencari kemana-mana, surat itu tidak ketemu juga. Aku mengusap wajah, sampai ke ruang kerja juga tidak ketemu.
"Di mana dia letakkan surat itu?" gumamku sambil kembali mengacak berkas di kardus.
Tidak ada di mana-mana. Kalau tidak ada surat itu, aku tidak akan bisa membalikkan nama aset.
Ponselku berdering. Dari orang kepercayaanku.
"Gimana?"
"Suratnya gak ada di rumah, Bu. Kami udah ketemu titiknya. Aman, nanti kami ambil."
Aku mengangguk puas. "Kerja bagus. Segera ambil surat itu."
"Pasti, Bu."
Setelah mematikan telepon, aku langsung duduk di sofa. Kehancuran Mas Reno semakin mendekat. Aku menatap status WA Mas Reno. Dia terlihat bahagia sekali makan di restoran mahal.
Pintu rumahku diketuk. Keningku terlipat, siapa yang bertamu?
Dengan cepat, aku membukakan pintu. Ada dua orang pria yang berdiri di sana. Terlihat galak.
"Maaf. Cari siapa?" tanyaku sambil menutup setengah pintu.
"Dengan Bu Nina?"
Kenapa mereka bisa tahu namaku? Padahal, aku tidak mengenal mereka sama sekali. Mataku menyipit, meneliti mereka. Seperti tukang tagih utang.
"Kami mau menagih utangnya Rini, Bu."
"Kalau utangnya Rini, nagihnya sama orangnya. Jangan nagih sama saya, Pak."
Sungguh, aneh sekali. Yang meminjam siapa, yang disuruh bayar siapa. Tidak masuk akal.
"Tapi, Rini menyuruh kami menagih pada Ibu Nina."
Aku mengembuskan napas pelan. Memang benar-benar tidak tahu diri. Tidak Mas Reno, mertuaku, juga si Rini. Mereka sama-sama benalu.
"Berapa?" tanyaku sedikit kesal.
"Dua juta, Bu."
"Sebentar." Aku menutup pintu, menguncinya. Kemudian masuk ke dalam kamar Rini.
Entah apa yang bisa diberikan pada mereka. Tidak ada yang berguna dibawa Rini ke rumah ini.
Pandanganku terhenti ke laci Rini. Ada beberapa perhiasan di sana.
"Nih, Pak. Bawa aja. Kalau kurang, minta sama si Rini. Jangan minta ke saya."
Mereka mengambil perhiasan yang aku berikan. Akhirnya, pergi juga. Aku menghela napas lega.
Aku tidak mencuri barusan. Siapa suruh dia meminjam uang pada orang, tapi tidak mau membayar. Aneh.
Ponselku berdenting. Dari Mas Reno.
[Kok uangnya belum kamu transfer? Cepetan transfer, Nin. Kita mau pulang, tapi belum bayar makanan. Dari tadi ditungguin padahal.]
Tanpa peduli, aku meletakkan ponsel ke atas meja. Kedua sudut bibirku terangkat.
"Bayar saja sendiri, Mas."
***
Jangan lupa like dan komen, yaa.
"Kamu apa-apaan, sih, Nina? Sampai malam kita nungguin transferan dari kamu. Gak dikirim juga uangnya."Aku menoleh. Menatap Mas Reno yang marah-marah."Malu-maluiin." Mama meletakkan tas sembarang tempat."Aduh, tadi ada temanku, apa kata mereka liat tadi gak bisa bayar makanan." Rini ikut bergumam. Wajah mereka terlihat menanggung malu.Sambil menyapu, aku diam-diam tersenyum. Memangnya enak makan tanpa bisa bayar."Jangan makan di restoran kalau gak bisa bayar," gumamku."Kamu tadi katanya mau transfer. Kamu gimana, sih, Nin? Aku capek lama-lama kayak gitu. Pusing." Mas Reno mengacak rambut. Dia ikut duduk di sebelah Mamanya.Ah, bisa dibayangkan wajah bingung mereka tadi. Diam-diam, aku tersenyum. Sok-sokan makan di restoran mahal, tapi gak bisa bayar.Maunya enak, tapi gak mau usaha. Mau pakai uangku? Maaf saja, tidak akan lagi. Sudah cukup yang dulu. Aku
"Mau minta makan, minta uang. Minta semuanya."Pria tanpa tahu malu itu langsung masuk begitu saja. Aku menggeram pelan. Benar-benar tidak punya urat malu."Kemana semua uang yang kamu ambil dari dompet Mbak, hah?! Habis?"Ya ampun, hidupku benar-benar dipenuhi oleh orang pencari masalah, juga penghabis uang.Dia adalah Kafka. Adik angkatku yang sejak dulu kerjaannya hanya menghabiskan uang saja. Dia baru saja pergi satu bulan yang lalu. Katanya tidak betah di sini."Aw. Ada benalu rupanya." Langkah Kafka terhenti di dekat meja makan.Tidak sadar diri kalau dia sendiri benalu. Aku mengusap wajah. Kalau mereka disatukan, semakin kacau dunia."Aku ke kamar dulu." Kafka melewatiku begitu saja."Kenapa adek kamu sampai pulang, sih?" tanya Mas Reno kesal."Mana kutahu."Aku mengangkat bahu, memilih untuk pergi ke kamar.
"Serius? Kamu gak bohongin Mbak kan? Mbak gak suka kalau kamu bohong, ya.""Serius, Mbak. Kafka janji, deh."Mataku menyipit. Bagaimana caranya agar Kafka bisa dipercaya?"Kalau buat surat perjanjian, kamu tanda tangan mau gak?"Kafka diam sejenak. Beberapa detik, dia menganggukkan kepala. Seolah sedang menantangku."Oke. Siapa takut. Yang paling penting, aku udah janji bakalan bantuin Mbak."Ya. Terserah dia sajalah. Aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Kafka, membawa berkas yang tadi diberikan orang kepercayaanku masuk ke dalam."Berkas apaan itu, Nina?"Langkahku terhenti mendengar perkataan mertuaku. Untung saja bukan Mas Reno. Aku sudah mempunyai tempat penyimpanan rahasia."Nina? Jangan jadi patung." Mama tampak gemas menatapku."Bukan urusan Ma
"Nyebelin banget. Untung gak sampai dipanggilin satpam."Aku menoleh. Keluarga Mas Reno sudah masuk ke dalam rumah. Mereka baru kembali dari acara pesta itu.Entah pesta apa. Sepertinya berakhir memalukan."Aku pergi dulu."Kami menoleh ke Mas Reno yang beranjak. Mataku menyipit, dia mau kemana? Padahal, ini sudah beranjak malam."Mama ikut.""Rini juga ikutan."Aku hanya melirik mereka sekilas. Paling juga jalan-jalan. Terserah mereka saja. Kafka datang, dia membawa makanan, kemudian meletakkan ke atas meja."Mbak, apa yang buat Mbak bertahan sama si Reno itu? Ditambah keluarganya lagi. Ih, kalau aku gak betah.""Harta." Aku menjawab pendek.Kafka mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seperti mengerti saja."Rumahnya keluargany
"Kamu jual rumah itu, Nin?"Suara Mas Reno terdengar menggema di ruangan. Aku mengangguk singkat, padahal baru saja sampai di rumah.Sudah disambut saja dengan kemarahan mereka."Menantu kurang ajar. Maksud kamu jual rumah itu apa, hah?! Mau nunjukin kalau kamu yang punya?""Nutupin biaya lahiran."Aku melirik Mas Reno. "Gak bisa bayar, kan?"Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Aku mengangkat salah satu sudut bibir."Tapi gak jual rumah itu juga, Nina. Terus Mama sama Rini mau tinggal di mana?""Rumah kecil.""Tega. Parah banget. Udahlah, kamu itu harusnya gak sama si Nina lagi. Mama pusing lihat kamu sama dia."Terlihat wajah Mas Reno tertekuk. Aku melirik Kafka yang mengacungkan kedua jempolnya. Dia juga iku
"Surat apaan itu?"Ya ampun. Aku buru-buru menoleh. Mama Mas Reno kenapa pakai acara bangun segala, sih? Menyebalkan sekali.Aku menoleh ke Kafka yang menganggukkan kepala. Adikku itu langsung mendekati Mama Mas Reno."Kafka ada sesuatu, lho.""Sesuatu apaan?" tanya Mama Mas Reno sambil mengalihkan pandangan. Jangan sampai semuanya ketahuan sebelum waktunya. Aku mengembuskan napas pelan, Mas Reno menahan tangannya, juga menahan kantuknya."Ikut Kafka, deh."Mereka menghilang dari pandangan. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menatap Mas Reno."Ayo, Mas. Tanda tangan sekarang.""Harus sekarang, ya?" Mas Reno menguap. "Gak bisa besok aja?"Eh? Aku langsung memegangi Mas Reno yang hampir saja tidur bersandar.Dia seperti orang yang sudah k
"Hah? Masalah apaan?" tanyaku sedikit khawatir."Butik cabang kedua berantakan, Bu. Ada yang habis membuat rusuh katanya.""Siapa?"Orang kepercayaanku itu menyebutkan satu nama. Aku mengusap kening."Saya langsung kesana sekarang."Memang benar-benar. Aku langsung tancap gas ke butik, memundurkan janji dengan pengacara.Ponselku berdering beberapa kali. Ah, itu bisa diurus nanti-nanti saja. Aku menginjak rem, langsung keluar dari mobil. Memang sedikit kacau.Mataku menyipit. Siapa yang membuat rusuh di sini? Astaga, benar-benar meresahkan."Siapa yang melakukannya?""Maaf, Bu. Kami juga tidak tahu. Dia memakai pakaian hitam-hitam, juga bertopeng."Aku langsung masuk ke ruang keamanan, melihat rekaman CCTV. Seorang pria kalau dari ukuran tubuhnya.
"Buset. Pasti pedas banget itu."Kami mengintip dari balik dinding. Beberapa detik, aku mengangkat bahu. Memilih untuk melakukan hal lain."Mau kemana, Mbak?""Kamar. Kenapa?"Kafka menganggukkan kepala. "Gak papa.""Piringnya jangan lupa suruh mereka cuci."Adikku itu mengacungkan jempol. Dia masih saja mengintip hal tidak penting itu.Sampai di kamar, aku berhenti sejenak ketika mendengar suara ponsel Mas Reno berdenting pelan. Ponselnya ternyata ditinggal di kamar.Ah, kesempatan bagus. Ada yang meneleponnya tadi, tapi tidak terangkat.Aku mencoba membuka sandinya, tapi ternyata sudah diganti. Entah apa. Aku mengusap dahi, meletakkan ponsel itu kembali.Denting pelan kembali terdengar. Buru-buru aku mengambilnya.