"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Aduh, perutku sakit banget, Mas. Kayaknya mau melahirkan." "Halah, tahan dulu sakitnya. Besok aja kalau mau melahirkan. Hari ini aku sibuk," katanya sambil mengibaskan tangan. Aku yang memegangi tangannya langsung menoleh tidak percaya. Benarkah dia barusan mengatakan itu? Sungguh, tidak aku sangka kalimat itu keluar dari mulut dia. Ah, sangat tidak masuk akal, tapi memang kelakuan dia selalu begitu. "Tapi, Mas—" Aku memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang. Menatap suamiku yang tampak kesal. Dia terlihat tidak suka. "Kamu itu susah banget dibilangin. Tunda aja acara melahirkan itu." Aku memegangi perut buncit, menatap miris ke Mas Reno yang pergi dari rumah. Dengan tertatih, aku keluar rumah. Mobil suamiku sudah tidak ada lagi di parkiran. "Tolong!" teriakku lirih. Tidak ada siapapun ya
"Kamu itu hilang dua hari. Gak usah pulang sekalian, kayak gak punya rumah." Mas Reno membalikkan tubuh. Wajahnya hendak marah, tapi dia langsung terdiam melihatku menggendong bayi. Di belakangku, ada Mama dan Papa. "Loh, bayi kita udah lahir? Ya ampun, kamu kenapa gak bilang sama aku?" Mas Reno langsung memasang wajah ceria, dia hanya pencitraan, itu saja karena ada Mama dan Papa. Aku menggelengkan kepala, kemudian menatap tajam ke arahnya. "Gak nanya," jawabku ketus. Aku melewatinya begitu saja, meletakkan tas di atas sofa. Wajah Mas Reno tampak memerah tadi. Ah, aku tidak peduli sama sekali. Mama dan Papa mengusap kepalaku. Kemudian pamit. Kemarin, kedua orang tuaku sempat bertanya kemana Mas Reno, tapi tidak aku jawab. Mereka tidak perlu tahu di mana Mas Reno. Atau semua rencanaku bera
"Nina, aku minta uang."Pandanganku teralih ke Mas Reno. Dia menatapku berharap. Namun terlihat juga tidak peduli. Seolah tidak ingat dia yang harusnya memberikanku uang.Untuk semua pendapatan, aku yang memegang. Yang menguasai aku. Mas Reno tidak ada apa-apanya kalau itu.Aku diam sejenak. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ini akan menjadi ide yang menarik sekali. Mas Reno pasti tidak akan percaya melihatnya.Dengan cepat, aku mengeluarkan dompet. Mengambil uang pecahan koin. Kemudian memberikannya pada manusia tidak tau diri itu."Eh? Kamu bercanda, ya? Kenapa dikasih uang kayak gini? Aduh Nina, aku serius. Lagi butuh banget. Mama sama Rini lagi pengen makan pizza." Mas Reno terlihat kesal sekali melihat uang yang aku berikan.
"Aduh, tadi malam kamu kasih apaan tehnya, Nina? Perut Mama masih sakit sampai sekarang?" Aku hanya menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Memilih mengabaikan mertuaku. "Nin! Pakaian Mas mana? Kok gak kamu siapin, sih?" Teriakan Mas Reno sampai luar kamar. Lagi-lagi aku mengabaikannya, memilih untuk bermain dengan Raja. Ah, aku tidak sabar nanti setelah Mas Reno pulang. Ada kejutan untuknya di butikku. Mas Reno memang bekerja di butikku. Selama ini, dia mengurus keuangan, tapi aku selalu meneliti laporan keuangan di butik. Kadang, ada yang terselip. Entah sengaja atau tidak. Memang begitu, selalu ada kecurangan kalau Mas Reno yang bekerja. Mas Reno juga ikut gajian kalau akhir bulan, tapi selalu habis di hari yang sama. Sepertinya untuk keluarganya yang tidak tahu malu itu. Aku sama sekali tida
"Nin, parah banget kamu jadi istri. Suami sendiri dikeluarin dari pekerjaannya.""Terus?" tanyaku pelan."Ya ampun, kamu kayaknya beneran kemasukan, Nin. Dari habis melahirkan kayak gini. Lama-lama pusing lihat kamu, Nin.""Kenapa, sih?"Mama Mas Reno mulai ikut campur lagi. Aku meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. Tidak peduli."Posisi Reno sebagai keuangan di butik Nina diganti sama orang lain, Ma. Pas Reno protes, karena nama Reno jelas-jelas harusnya masih tertera sebagai bagian dari tim, justru gak ada lagi. Keganti sama orang itu."Wow. Anak yang benar-benar manja, mengadu
"Kamu apa-apaan, sih, Nina? Sampai malam kita nungguin transferan dari kamu. Gak dikirim juga uangnya."Aku menoleh. Menatap Mas Reno yang marah-marah."Malu-maluiin." Mama meletakkan tas sembarang tempat."Aduh, tadi ada temanku, apa kata mereka liat tadi gak bisa bayar makanan." Rini ikut bergumam. Wajah mereka terlihat menanggung malu.Sambil menyapu, aku diam-diam tersenyum. Memangnya enak makan tanpa bisa bayar."Jangan makan di restoran kalau gak bisa bayar," gumamku."Kamu tadi katanya mau transfer. Kamu gimana, sih, Nin? Aku capek lama-lama kayak gitu. Pusing." Mas Reno mengacak rambut. Dia ikut duduk di sebelah Mamanya.Ah, bisa dibayangkan wajah bingung mereka tadi. Diam-diam, aku tersenyum. Sok-sokan makan di restoran mahal, tapi gak bisa bayar.Maunya enak, tapi gak mau usaha. Mau pakai uangku? Maaf saja, tidak akan lagi. Sudah cukup yang dulu. Aku