Mungkin barusan Papi mengirim pesan, kalau malam ini aku harus balik ke pesantren. Tetapi bagaimana dengan karangan novelku? Mungkin berhenti lagi, di pesantren Umi Salamah aku tidak bisa juga mengerjakan novel karena padat kegiatan.
"Iya, habis ini mau siap-siap."
Mengingat pesantren Umi Salamah, tiba-tiba aku teringat sama Madrasah Diniah. Sore itu sebelum aku pulang, ada seorang ustad yang nyamperin aku yang tengah berada di lorong kelas.
Beliau Ustad Shofi, anak dari almarhum Kyai Nadhir.
"Ayu ...."
Suara beliau mencegah langkahku.
Saat itu aku menepi ke pinggir kiri, menunduk, menjawab lalu memberi salam. Dan membiarkan temanku untuk pulang terlebih dahulu.
"Nggih, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Aku tetap menunduk dan tidak berani menatap pandangan mata beliau. Selain beliau orang yang ma'rifat, aku juga menghormati beliau.
"Ada apa, ustad?"
"Yu, setelah tahun ini samean lulus ya?"
Ustad Shofi itu yang mengajarku waktu kelas dua di Madrasah Diniyah, untuk itulah mungkin tahu kurang berapa tahun lagi aku di Madrasah Diniah ini.
"Nggih, ustad."
"Kamu nanti orah usah pindah, di sini ae, Yu ...."
"Nggih, ustad."
"Kamu itu ahli dalam bidang akhlak sama fiqih. Kalau bisa ngabdio di sini, ngajar kelas-kelas yang kosong."
Sebenarnya aku begitu lama memiliki mimpi terpendam untuk mengabdi di Madrasah Diniyah. Mengajar adalah harapan terbesarku. Dan akhirnya Allah menjawab doaku dengan mendatangkan Ustad Shofi yang memberikan amanah.
"Nggih, ustad."
"Iya, ilmu kalau diamalkan semakin bertambah. Kalau didiamkan malah akan hilang. Ngajaro, Yu ... nanti jangan pindah." aku hanya lekas mengangguk.
"Nggih, ustad."
"Bagus kalau gitu, nanti kalau kamu sudah siap ... ntar tak ajuin ke kepala sekolah biar diangkat jadi guru resmi Madrasah Diniyah di sini." hatiku entah kenapa senang sekali waktu beliau mengatakan hal itu. Tapi ku harus tetap tenang. Tidak boleh menunjukan ke beliau langsung.
"Nggih, ustad. Terima kasih."
"Ya sudah. Cukup gitu saja yang tak sampein ke kamu. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tahun ini, akan ada ujian di mana kelulusan kelas enam Madrasah Diniyah dipertaruhkan. Salah satunya mengajar. Aku harus bisa untuk meraih hasil maksimal dalam mengajarku. Meski kata teman-teman yang pengalaman ngajar, katanya itu sulit. Apalagi kalau ngajar kelas yang ramai dan tidak bisa tenang.
***
Gus Iqbal
"Bagamaina teaternya? Semakin banyak yang ikut?"
Istirahat yang aku putuskan di meja kantin dengan Pak Arief, sepertinya masih menyisahkan penat yang menjalar. Baiklah, pekerjaan setidaknya ada yang telah selesai. Dan setidaknya ada beberapa pekerjaan yang tidak begitu rumit.
Untuk menerjemah, biarlah urusan nanti sore atau nanti malam sebelum nyimak santriku ngaji. Yang penting laptop para guru yang sudah aku janjikan selesai nanti siang, harus terselesaikan sebelum waktunya. Tentunya biar bisa mengerjakan kerjaan lain.
"Alhamdulillah, tambah banyak. Samean mau a ikut membina, Pak Iqbal?"
Kepulan asap rokok Pak Arief mengepul ke mana-mana, bahkan hampir menyebar ke seluruh ruangan kantin yang terbuka. Ah, aku bukan seperti Pak Arief yang ahli menghabiskan dua belas batang rokok dalam sehari. Atau bahkan menghabiskan dua rokok dalam waktu satu jam.
Entahlah, aku seperti tidak suka saja dengan rokok. Bukan memang dampak negatif dari rokok, tetapi memang aku tidak menyukai saja cara merokok dan rasa yang akan di hisap saat rokok itu ujungnya menyalah. Sebenarnya aku juga tidak begitu menyukai dengan kepulan-kepulan rokok dari Pak Arief, tetapi aku sebagai teman guru maka aku biarkan saja. "Aku tahu apa juga, Pak, tentang teater? Bukan jalurku. Aku di kantor saja sibuk mengurus kerjaan. Kalau pun ngelatih anak-anak teater pembinaan darimu, ya sudah jelas tidak akan sanggup." Aku menggeleng beberapa kali atas tawarannya Pak Arief itu, terasa aneh saja kalau aku bisa gabung sebagai pembina teater. Dari dulu aku tidak begitu tertarik dengan kesenian, yang ada ketertarikanku hanya pada bidang bahasa Inggris, pesantren dan laptop komputer. "Kali saja mau gabung." "Iya, lain kali aku lihat-lihat ke sana. Ruai bukan?" Pak Arief itu sebenarnya adik kelasku waktu dari Madrasah Aliyah kelas tigaku dulu. Cuman akunya tidak kenal sama Pak
Aku menghampiri beliau dengan langsung meraih punggung tangannya untuk aku cium dengan tawadlu'."Terus adik e samean ngaji gak engkok?""Nggih, kulo sing nganter, Mbah.""Jauh bukane, Nduk? Nang Anyar." Mbah Putri hafal karena pernah ngantar adikku mengaji. Tetapi itu sudah lama. Anyar memang agak jauh kalau dari rumah. Sekitar lima belas menitan baru bisa sampai, itupun harus pakai sepeda motor.Anyar juga jalanannya ramai, terkadang aku tidak berani untuk ke sana meski cuma nganter adikku ngaji. Kondisi seperti hari ini yang harus membuat aku nekat untuk tetap ke Anyar."Nggih, Mbah.""Hati-hati Nduk, nanti waktu ngantar adikmu. Anyar itu ruame jalane.""Nggih, Mbah.""Wes maem?""Nanti, Mbah. Rancananya mau masak nasi goreng." "Orah usah masak, Mbah tadi masak jangan asem lauk tempe. Nanti ambilen.""Nggih, Mbah."***Gus IqbalIni Ruai? Motor aku parkirkan ke sebelah kanan sisi garansi. Lalu kucabut kunci, sambil memandangi sapu yang berserak di depan pelataran Ruai yang tanp
"Oh ...."Aku menginjakkan kaki di keramik depan Ruai. Aku ingin tahu saja dalamnya Ruai itu seperti apa, karena dari luar saja Ruai itu seperti membuat daya tarik tersendiri."Ruainya unik, desainnya tambah keren saja!". "Iya, biar mereka semua semangat ikut latihan. Ayo, masuk ke dalam!"Pak Arief membuka pintu Ruai lebar-lebar, kemudian setelah aku masuk menatapnya rapat. Cahaya gelap seakan menyeringai di sini, dingin menetap dan bergerak bebas. "Maaf, tadi aku matikan lampunya. Sebantar, aku hidupkan biar enak kalau bicara."Aku mengangguk saja. Dan tidak lama juga, lampu akhirnya menyalah dengan warna putih."Sudah, silahkan duduk. Dinikmati, Pak. Maaf cuma menyediakan itu saja " Di sini seperti kantorku yang di mana kerjaanku begitu banyak. Hanya saja yang berbeda, di sini tidak ada peralatan kantor yang terlihat. Tetapi di sini hanya terdapat sofa bersudut dengan warna hijau pupus dengan meja persegi panjang yang lengkap dengan jajanan seperti coklat dan cemilan lainnya.
"Mau makan apa? Aku masakin sebentar!""Apa? Masak?"Tercekat saja. Pak Arief ahli memasak? Aku baru tahu kalau laki-laki bisa beraksi di dapur selain juru masak seperti koki. Sampai sekarang aku justru tidak bisa memasak. Bahkan nasi saja yang katanya Umi itu gampang, aku saja tidak bisa."Iya, di sini ada dapurnya. Cuman dekat kamar mandi sana bukan di sini."Aku memasang wajah penuh heran saja. Ini Ruai atau rumah?"Ada dapur?""Iya, aku sengaja mendesain Ruai seperti lengkap dengan rumah pada umumnya. Asal tahu saja, aku tidak ingin kalau mereka semua lapar setelah latihan drama teater. Makanya bagi anak yang angkatan sebelumnya bisa memasak, maka aku suruh masak sambil aku bantu bahan yang tidak diketahuinya. Mereka harus merasa senang dengan ekstrakurikuler yang aku sarankan kepada kepala sekolah ini. Dan tentunya mengannggap, bahwa teater itu bukanlah beban tetapi juga tempat untuk bersantai setelah belajar hampir setengah hari lebih."Kagum saja sama Pak Arief. Jarang di duni
Umi? "Assalamu'alaikum, Umi."Tidak aku sangka Umi menelpond, biasanya Umi tidak pernah menelpondku di jam kerja begini. Apa akan ada keluarga yang datang? "Wa'alaikumsalam. Eh, Lif, kamu nanti pulang jam berapa?""Kurang tahu, Umi. Nanti sore soalnya mau ke rumahnya Pak Rifqi.""Isya' kamu harus pulang, ada tamu."Tamu siapa juga?"Siapa Umi?""Mas Dinarmu mau ke rumah katanya!""Oh, nggih, Umi.""Ya sudah, Umi tutup telponnya.""Nggih, Umi. Wassalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Setelah panggilan telpon Umi, aku tutup gawaiku. Sambil berpikir sejenak, sebaiknya aku harus pergi ke mana setelah ini."Kenapa, Pak Iqbal?"Pak Arief tiba-tiba di belakangku saja. Habis makan, yang ada aku malah seperti orang yang bingung kalau di sini terus. Rasanya tidak enak saja kalau di Ruai lama-lama. Sepertinya aku tidak bisa melihatnya membina para anak teater itu, aku harus menyelesaikan pekerjaan kantor juga. Proposal suruhan dari kepala sekolah belum aku selesaikan juga soalnya. "Ada telpon
Aku menuruti permintaan Adikku Tika. Menuruti langkahnya yang perlahan menuju tangga serambi masjid, yang setelahnya ada lorong-lorong untuk kelas mengaji. Dari sini terlihat, Adik Kencana masih membeli spageti yang harus digiling dengan mesin kecil dulu, kemudian di goreng matang oleh penjual setelah itu barulah dikasih bumbu. Itu jajanan kesukaanku, yang memang di sini tak ada yang jual selain penjual itu. Hanya saja, dulu aku lebih suka menggiling spageti sendiri dibandingkan digilingkan oleh penjualnya. "Neng, Papi Mami pulangnya jam berapa?""Besok, dik."Aku tidak tahu, soal adik-adikku malam ini akan bisa tidur ataukah tidak. Tanpa Mami Papi di rumah, setahuku mereka sulit untuk tidur, kalau pun tidur setiap beberapa menit harus terbangun karena merasa ada Papi Mami yang tiba-tiba pulang ke rumah namun ternyata itu perasaan mereka. Kalau pun malam akan turun hujan, adik-adikku akan lebih suka keluar rumah untuk pergi ke teras demi melihat hujan. Dan mereka seolah mengangga
Gadis dengan hijab pasmina orange itu berhasil membuat pusat pandanganku jatuh padanya. Dan dia, kali ini terbaring lemah dengan resah yang bertandang di samping jalan dekat dengan mobil yang terbakar."Hei, jangan dekat-dekat sama mobil! Siapa tahu, nanti malah meledak!" Orang-orang sekitar benar-benar tidak ada yang berani mendekat. Mereka takut dengan ledakan. Untuk itu, mereka lebih memilih terpaku, lalu mengambil langkah mundur dan tak melakukan apa-apa. Bahkan mereka mencegah siapapun yang mendekati mobil."Kenapa tidak ada yang menolong?""Bagaimana bisa menyelamatkan, Mas. Itu api mobilnya semakin besar kalau kita ada yang ke sana ... takutnya mobil justru akan meledak." Seorang lelaki hampir paruh baya di sebelahku yang menjawab Api semakin melahap semua badan mobil begitu cepat. Terutama bagian depan yang terlihat kacanya mulai pecah semua dan menghitam bagai arang yang sengaja dibakar. Sementara di sebelah barat, ada suara yang meraung keras dengan tangan yang melambai.
"Siap. Aku usahakan tim lebih cepat untuk ke sana." "Terima kasih, wassalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Gadis berhijab orange itu memusatkan perhatianku kembali kepadanya. Apakah aku akan membawanya ke rumah sakit saja? Mereka sang para saksi mata tidak ada yang berani untuk ke sana, meski hanya sekejab untuk menolong gadis itu. Bukankah dekat dari sini juga berbahaya, karena api bisa menyebar ke mana saja?Aku memberanikan diri menghampiri gadis yang mulutnya telah terkatup rapat dan tak lagi berbicara. Gadis itu sepertinya benar-benar pingsan setelah banyak menghirup asap mobil yang berada di dekatnya."Hei, jangan mendekat!"Semua teriakan itu aku dengar hampir ke seluruh sisi, namun aku tak peduli. Percuma bila mereka teriak saja dan tak ada yang bertindak. Nyawa gadis yang terbaring itu tak akan terselamat pula karena ledakan mobil yang mungkin akan segera terjadi. Semakin kumendekat pada singgah gadis itu, panasnya api yang membakar mobil menggelayut di sekujur tubuh bagian