Seorang pria nampak tengah serius menatap layar monitor di depannya. Bahkan saat angin yang masuk lewat jendela menerpa matanya, ia sama sekali tidak berkedip. Hingga suara ponselnya berhasil membuatnya bangun dari kursi.
"Sial! Ada saja yang mengganggu!"
Pria bernama Heris itu langsung meraih ponselnya. Ia terdiam cukup lama memandangi nama orang yang menghubunginya.
Haris.
Saudara kembarnya yang lebih tua lima menit dan hidup serba mewah. Berbeda jauh dengannya yang harus berjuang mencari uang sebagai penjoki judi online. Kekerasan juga seringkali dirasakannya saat pelanggan merasa tidak puas dengan kinerjanya. Tentu berbeda jauh dari Haris yang duduk di kursi empuknya. Setelah helaan napas panjang, ia segera menjawab panggilan tersebut.
"Ada apa lagi?" tanya Heris sembari menyisir rambutnya ke belakang.
"Kamu ada di mana sekarang?"
Heris mendekati papan nama yang ada di atas meja. "Entahlah, sepertinya di dalam perusahaan besar."
"Kamu masih mengerjakan pekerjaan kotor itu?"
Mendengar ucapan Haris, sebelah tangan Heris langsung terkepal. "Hanya ini yang bisa dilakukan orang bodoh sepertiku!"
"Jadi kamu ada di mana?"
"Sebentar biar ku lihat," gumam Heris sembari mengangkat papan nama dari meja. "ZEY Company."
"Sial! Cepat keluar dari sana dan pulang ke mansionmu. Aku sudah mempersiapkan hadiah ulang tahun untukmu."
Belum sempat menjawab, panggilan langsung diputus oleh pihak Haris. Secepat mungkin Heris meraih ranselnya, lalu keluar dari kawasan perusahaan itu sembari membawa koper uang. Ia bisa melenggang bebas karena CCTV di perusahaan sudah dimatikan oleh wanita yang membayarnya.
Heris melangkahkan kakinya sembari bersenandung. Ia tersenyum lebar dengan isi kepala yang penuh dengan rencana untuk menghabiskan uang.
"Aku akan membeli tempat tinggal baru agar Haris tidak bisa menemuiku lagi. Setelah itu aku akan membeli komputer dan bermain judi. Pasti aku akan sangat kaya," gumam Heris dengan senang.
Bruk!
Tubuhnya ditabrak dengan kuat oleh beberapa orang berpakaian hitam. Heris mengerutkan dahinya, ia melirik ke arah kantung besar yang dibawa oleh rombongan orang tersebut.
"Wah ... mereka mencurigakan," gumam Heris.
~~~
"Sudah ku bilang jangan berani masuk ke mansionku!"
Heris sangat terkejut saat melihat pria berjas cokelat tengah duduk di sofa. Pria itu juga nampak terkejut dengan kedatangannya.
"Si-siapa Anda? Mengapa Anda ada di dalam tempat tinggalku?" tanya Heris sembari menyipitkan kedua matanya.
"Haris?"
"Anda mengenal Kak Haris? Di mana dia saat ini?" Heris mendesis pelan sembari menyisir rambutnya. "Sialan! Mengapa dia membawa masuk orang ke rumahku?"
"Saya William, sekretaris utama Haris."
Pria bernama William itu menatap Heris dengan sangat serius. Ia tidak menyangka bisa melihat sosok Haris yang mati beberapa saat lalu. Namun dengan penampilan yang lebih hidup. Sweater berwarna biru langit dan celana jeans. Benar-benar berbeda dengan Haris yang selalu terlihat formal.
"Penjaga!" seru William dengan suara lantang.
Beberapa pria berjas hitam langsung masuk ke dalam ruangan. Mereka sama terkejutnya saat melihat sosok Haris berdiri tegak. Padahal jasadnya sudah dibawa pergi untuk dikebumikan.
"P-Pak Haris?!"
"Bukan, aku bukan Haris. Namaku Heris," ujar Heris sembari tersenyum kaku.
William perlahan mendekat ke arah pria yang mengaku bernama Heris tersebut. Ia meneliti penampilan pria itu dengan saksama. Sulit dipercaya, namun pria itu benar-benar mirip dengan Haris. Bahkan tidak ditemukan celah yang membedakan keduanya. Sebelah tangan William bergerak meraih pistol di sakunya. Lalu ia mengarahkan moncong pistol itu tepat ke wajah Heris.
"Siapa kau? Mengapa kau bisa masuk ke mansion ini?" tanya William.
"Mengapa aku bisa masuk? Tentu saja karena aku pemiliknya!" seru Heris sembari mengeluarkan kartu kunci mansion tersebut.
~~~
Berulang kali Heris berusaha memberontak. Namun tangannya diikat dengan kuat ke belakang. William masih terus mengamatinya dengan teliti. Bahkan matanya sampai tidak berkedip.
"Anda bilang, saudara kembar Pak Haris?"
Heris menghela napasnya dengan wajah kesal. "Ya, aku tidak bohong!"
"Tapi dari semua informasi yang saya tahu, Pak Haris putra tunggal. Dia tidak punya saudara, apalagi kembar."
"Itu karena Papa membenciku. Dia tidak mau melihatku sepanjang hidupnya. Dia mengirimku ke luar negeri, tapi aku melarikan diri. Hanya Kak Haris yang tahu kalau aku masih hidup," ujar Heris.
William mengangguk pelan setelah mendengar penjelasan Heris. Walau begitu kesempatan ini tidak bisa disia-siakan. Secepat mungkin William meraih laptopnya dan mulai terlihat sibuk sendiri. Setelah setengah jam, ia mengambil kertas dari mesin cetak yang ada di ruangan tersebut. Lalu meletakkannya di hadapan Heris.
"Saya ingin bekerja sama dengan Anda, Tuan Heris."
Heris mengerutkan dahinya sembari membaca setiap kalimat yang tertuang di sana. Matanya langsung melebar saat mengetahui kalau saudara kembarnya sudah tewas beberapa jam lalu.
"A-apa maksudnya? Kak Haris mati? Tapi beberapa saat lalu dia baru saja menghubungi saya!"
"Tidak ada satu pun orang yang boleh mengetahui kematian Pak Haris. Maka dari itu, saya ingin meminta Anda untuk berpura-pura menjadi Pak Haris. Lalu mengurus OBBY Company seperti yang dilakukan beliau selama ini."
Wajah Heris nampak sangat terkejut, bahkan berkali-kali lipat dari sebelumnya. Tanpa ragu ia menggeleng. Namun moncong pistol itu kini menempel di pelipisnya.
"Hanya satu tahun sampai pemilihan CEO yang baru. Setelah itu Anda bisa hidup dengan bebas seperti sebelumnya. Jika Anda tidak setuju, saya bisa saja melaporkannya pada ayah Anda."
"Ta-tapi aku sama sekali tidak tahu tentang perusahaan. Selama ini aku hidup dengan bekerja serabutan," ujar Heris dengan suara bergetar.
William meletakkan ponsel di atas meja. "Saya akan bertanggung jawab penuh untuk membantu Anda selama satu tahun."
"Tapi—"
Ucapan Heris terhenti saat ujung ibu jarinya berdarah karena ditusuk menggunakan jarum. Lalu ia dipaksa mencap kertas tersebut.
"Mulai pagi nanti, Anda akan mulai bekerja. Sekarang Anda harus pulang ke rumah, karena anak dan istri Anda pasti sudah menunggu."
Kedua mata Heris membulat. "A-apa? Anak dan istri?!"
Heris memandangi bangunan megah yang ada di depannya. Tentu saja berbeda jauh dari mansion tempat tinggalnya yang tidak terurus. Perlahan tangannya menekan bel rumah itu. Tidak perlu menunggu lama, pintu langsung terbuka. Nampak seorang wanita cantik yang langsung berlari ke arahnya dengan wajah gembira.Pasti wanita ini yang bernama AleyaHeris sedikit menoleh ke belakang. Sekilas melihat William yang masih mengawasinya dari luar pagar. Saat wanita itu menyentuh lengannya, Heris langsung mundur beberapa langkah. Kedua matanya terbuka lebar dan mulai gemetar."Ada apa, Mas? Kok kamu ketakutan begitu?"Kedua alis Heris terangkat. "Apa? Ti-tidak kok."Aleya semakin mendekati Heris dengan dahi berkerut. "Kamu sakit, Mas? Suaramu aneh."Heris menggeleng cepat, lalu bergegas menjauhkan tubuhnya. Ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya, ia merasa kakinya semakin melemas. Penyakitnya mulai kambuh lagi. Secepat mungkin ia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan wanita tersebut.Begitu tiba
Jantung Heris berdetak sangat cepat. Seluruh tubuhnya terasa gemetar saat memasuki gedung besar di depannya. William yang berdiri di sampingnya mendeham pelan."Jangan gugup," bisik pria tersebut.Heris mengangguk pelan. "Jangan menghilang dari jangkauanku ya."William mengangguk tegas. Begitu memasuki pintu utama, mereka langsung disambut oleh banyak karyawan yang berdiri membentuk barisan dan menyisakan jalan di tengahnya. Heris menarik napas panjang, lalu mulai berjalan sembari tersenyum pada semua orang yang ada di sana bagaikan seorang idol. Tiba-tiba saja sebelah tangannya dicubit oleh William. Lalu pria itu sedikit berbisik di dekat telinganya."Jangan tersenyum seperti orang bodoh. Anda mau mati?"Senyum di wajah Heris langsung sirna. Ia mendeham pelan, sebisa mungkin menahan kedua sudut bibirnya yang berkedut. Untuk pertama kalinya ia tidak tersenyum pada orang-orang yang menyambutnya dengan ramah.Ah, sial sekali. Ternyata selama ini kakakku menjalani hidup yang mengerikan.
Malam terasa sangat dingin, Heris menarik selimutnya lebih tinggi lagi hingga menutupi dada. Namun dahinya mulai berkerut saat rambutnya seperti diterpa angin kencang. Akhirnya ia segera membuka mata. Ia melirik ke arah jendela yang ada di dekat ranjang. Kedua matanya terbelalak saat menyadari kalau jendelanya sudah terbuka lebar."Bagaimana bisa?" gumam Heris sembari turun dari ranjangnya.Baru saja menjejakkan kakinya di lantai. Matanya langsung tertuju pada lemari yang sudah terbuka lebar. Untuk kedua kalinya ia mendapati semua pakaian sudah berserakan di lantai."Brankasnya!"Heris melangkah cepat ke arah lemari tersebut. Kedua matanya terpejam erat, lalu sebelah tangannya memukul lemari dengan kuat. Ia kehilangan satu-satunya barang yang mungkin berisi kepingan puzzle pembunuhan Haris."Papa!"Teriakan Hamdan yang begitu keras menyeruak masuk ke telinga Heris. Secepat mungkin ia berlari keluar dari kamar. Ia menuruni tangga dengan terburu-buru. Begitu tiba di bawah, ia mendapati
"Sebenarnya, apa isi brankas itu ya?" gumam Heris sembari menyisir rambutnya ke belakang.William yang tengah mengemudikan mobil sedikit melirik ke arahnya. "Brankas apa?""Entahlah, ada brankas di dalam lemari Kak Haris. Tapi semalam ada orang yang mencurinya."Tiba-tiba saja William menginjak rem hingga membuat Heris tersentak ke depan. Ia membulatkan kedua matanya dengan mulut bersiap untuk mengumpat. Namun tatapan William langsung membuat semua kalimat yang sudah tersusun rapi di kepalanya itu menghilang."Saya akan merekrut dua penjaga lagi di dekat kamar Anda," ujar William.Heris langsung menggeleng. "Tidak perlu sampai sebegitunya.""Saya yang sudah memaksa Anda, jadi keselamatan Anda itu prioritas bagi saya."William langsung menepikan mobilnya dan meraih ponsel yang ada di dashboard. Ia nampak menghubungi seseorang dengan mata sesekali melirik ke arah Heris melalui spion."Apa kau luang?"Wah ... Dia menelepon tanpa menyapa, membawa pistol, dan memukul atasannya. Benar-benar
"Tempatnya benar di sini?"Heris mengerutkan dahinya. Ia mencoba untuk terus memahami gambar yang ada di ponselnya. Namun rupanya sangat sulit, karena gambarnya hanya menampakkan kotak-kotak saja."Hei!""Apa?" sahut Heris yang seperti baru sadar dari lamunannya."Benar di sini tempatnya?"Heris mengedikkan bahunya, lalu menyodorkan ponsel itu pada William. "Bagaimana aku tau? Semua gambarnya terlihat sama!""Rupanya perbedaan Anda dengan Pak Haris ada di otaknya," gumam William."Kurang ajar."Heris dan William langsung turun dari mobil. Lalu mereka mulai menelusuri satu-satunya jalan setapak yang ada di dekat bangunan tua dengan cat setengah luntur. Begitu tiba di depan pintu besar, William langsung membuka pintu tersebut. Kemudian ia mendorong Heris masuk ke dalam ruangan tersebut dan menutup pintunya. "Hei! Apa yang kamu lakukan sialan?!" teriak Heris sembari berulang kali memukul pintu dengan keras."Anda lewat pintu utama, saya akan lewat pintu belakang," ujar William.Heris ya
"Pelan-pelan," ujar Heris sembari menggenggam pergelangan Aleya.Aleya terkekeh pelan, matanya sesekali melirik ke arah pria yang saat ini nampak sangat khawatir. Sementara Hamdan terus mengikuti mereka dari belakang. Saat hendak masuk naik ke tangga, Heris langsung menghentikan wanita tersebut."Kamu mau ke mana?" tanya Heris.Aleya menunjuk ke lantai dua dengan dahi berkerut. "Kamarku bukan di sana?""Kamarmu di sana," ujar Heris sembari menunjuk ke arah kamar di dekat ruang tamu.Aleya mengerutkan dahinya. "Apa gak ada kamar di atas sana?""Ada, tapi kamarku."Heris kembali menuntun Aleya menuju ke arah kamarnya. Namun wanita itu memberontak dan menarik tangannya. Raut wajahnya terlihat tidak terima."Kita 'kan suami istri, bagaimana bisa kamarnya terpisah?!" protes Aleya.Heris menggaruk tengkuknya. "Ya ... itu ....""Jangan-jangan kamu bukan suamiku ya?""Aku suami kamu, Aleya. Tanya sama dia," ujar Heris sembari menarik Hamdan ke dekatnya.Hamdan hanya tersenyum tipis, lalu meme
Heris melajukan mobilnya menembus jalan di Kota Jakarta yang sangat ramai. Berulang kali ia menekan klakson, namun tidak kunjung membuat pengendara lain menyingkir. Ia memukul kemudi diiringi decakan pelan."Kalau begini, kapan aku sampai di kantor?!"Tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ia mendesis pelan, lalu menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Setelah itu barulah ia menjawabnya."Ada apa lagi, Aleya?" katanya dengan suara lembut."Kamu lupa bawa tas kerja, Sayang."Heris mengerjapkan matanya beberapa kali. "A-apa?""Tas kerja.""Bukan, bukan itu! Kamu memanggilku apa?""Heris."Heris mengusap wajahnya dengan kasar. "Buk—ah sudahlah. Apa kamu bisa mengantar tas kerjaku?""Bisa, tapi mungkin sedikit terlambat. Soalnya aku harus mengantar Hamdan ke sekolah," sahut Aleya."Gak masalah. Hubungi aku kalau sudah mau pergi ke kantor."Setelah itu Heris mengakhiri panggilan bersamaan dengan jalan yang mulai lengang. Kini ia bisa melajukan mobilnya ke arah OBBY
Aku melakukan kesalahan.Heris menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak menyangka kalau Aleya berani melakukan hal tersebut. Padahal awal bertemu, ia yakin kalau wanita itu pemalu."Apa yang sudah ku lakukan?" Heris terkekeh berulang kali, lalu ia menghantamkan dahinya ke meja. "Sial, aku malah berciuman dengan dia."Klek.Heris menoleh ke arah pintu. Nampak William yang datang dengan senyum mencurigakan di wajahnya. Pria itu perlahan mendekat ke arah meja kerja Heris. Setumpuk berkas sudah siap di tangannya."Anda pasti bersenang-senang ya? Beritanya sudah menyebar ke seluruh penjuru," ujar William.Heris menaikkan kedua alisnya. "Berita apa?""CEO OBBY Company mencium wanita asing di lobby.""Tapi dia istriku," sanggah Heris."Lebih tepatnya, istri kakak Anda."Heris mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia tidak bisa membantah ucapan William. Sebab memang kenyataan kalau Aleya bukan istrinya."Lalu bagaimana? Apa akan berdampak buruk?"William menggeleng pelan. "Kita hanya perl