Share

Bab 5 Catatan Utang Neng Rahma

"Mana amplop tadi, ya?"

Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya.

Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya.

Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu.

"Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah.

Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya.

Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut.

Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun.

Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku.

Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu.

"Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Surya seraya menguap.

"Jam lima, Kang. Cepat bangun, nanti kesiangan solat."

"He'em."

Kang Surya beringsut duduk. Dia tidak langsung pergi ke kamar mandi, dan malah menggoda putranya yang tengah menikmati ASI.

Sagara beberapa kali menjerit marah karena dijauhkan dariku oleh ayahnya.

"Sudah atuh, jangan dikerjain terus. Cepetan ke air." Aku mendorong pundak Kang Surya.

Pria beralis tebal itu pun segera pergi, membiarkan putranya yang kehausan.

Kebiasaan buruk yang sering terjadi padaku ialah, selalu merasakan kantuk jika menyusui Saga seraya berbaring. Alhasil, aku malah ketiduran lagi dan sadar ketika Saga sudah tidak ada di sampingku.

Aku kaget. Cepat-cepat keluar dari kamar mencari bayiku yang baru bisa merangkak itu.

Dengan berjalan pincang, aku pergi ke dapur bahkan kamar mandi untuk mencari keberadaan Sagara. Namun, tidak aku temukan.

Kang Surya pun sudah tidak ada di rumah, dan aku yakini dia telah berangkat ke laut.

Lalu di mana putraku?

"Di Mak Nia, kali, ya?" kataku bergumam.

Pintu aku buka dengan tangan yang bergetar, lalu terpaku di ambang pintu ketika melihat seseorang yang aku cari berada dalam gendongan ayahnya seraya memegang biskuit di tangannya.

Lega sekali rasanya melihat Sagara baik-baik saja, dan ... Kang Surya belum pergi ke laut?

"Mau ke mana?" tanya Kang Surya seraya menurunkan putranya dari gendongan.

Aku duduk di ambang pintu, mengikuti suamiku yang bersila di lantai teras.

"Akang, kok gak bilang kalau Saga dibawa ke warung? Tadi aku nyariin, loh. Panik aku, Saga gak ada." Aku mengerutkan kening, mengerucutkan bibir.

"Aku gak tega bangunin kamu, Syah. Pas tadi selesai solat, lihat Saga udah duduk di atas kasur, ya langsung aku ambil aja. Daripada dia jatuh dari ranjang, kan?"

"Maaf, Kang. Harusnya tadi aku gak tidur lagi, ya?" kataku menyesal.

"Harusnya kamu gak nungguin aku pulang dari laut, Syah. Jadi gitu, paginya ngantuk. Aku gak ditungguin gak apa-apa, kok. Sudah biasa ini."

"Jangan disamain, lah."

"Loh .... Siapa yang nyamain?" ujar Kang Surya seraya terkekeh.

Kang Surya melihatku dengan kedua alis yang terangkat, dan bibir tersenyum mengandung arti. Aku yang merasa malu dipandang seperti itu, langsung mengalihkan tatapan ke arah Saga.

Entahlah, aku ini selalu saja menyambungkan sesuatu dengan masa lalu Kang Surya.

Sering cemburu, jika dia membahas kebiasaan, meskipun maksudnya bukan pada hubungan rumah tangganya dengan yang dulu.

Aku yang memiliki kekurangan ini, selalu saja merasa rendah diri dan tidak percaya diri.

"Kang."

"Hem?" Dia bergumam seraya fokus membuka plastik berisikan biskuit untuk putranya.

"Kok, jam segini Akang masih di rumah? Gak ke laut?" tanyaku kemudian.

"Enggak. Hari ini Akang mau ke sekolahan Neng Rahma. Oh, iya, Syah. Uang hasil laut kemarin, masih ada, nggak? Soalnya, uang yang ada padaku, mau aku pakai untuk bebayar di sekolah si Neng."

Aku mengangguk lemah seraya mencerna ucapan Kang Surya. Bukan keberatan, tapi merasa tidak paham dengan penuturan suamiku itu.

"Bayar apa, ya, Kang? Bukannya sekolahnya gratis?" tanyaku, setelah diam beberapa saat.

"Bukan ke sekolahnya, Syah. Tapi .... Ekhem!" Kang Surya berdehem seraya memperbaiki letak duduknya.

Aku melihat ada ketidaknyamanan dalam mengucapkan kata yang akan dia keluarkan selanjutnya. Apa itu sangatlah penting?

"Tapi apa, Kang?" Aku bertanya tak sabar.

"Itu, loh. Kebiasaan buruk Neng Rahma di sekolahnya."

Aku menyipitkan mata, lalu membulatkan mulut seraya mengangguk paham.

"Utang jajanan ke kantin?" ujarku kemudian.

"Iya. Jadi, surat yang dia berikan, itu tentang utang itu. Dia minta Akang buat bayar utangnya."

"Oh ...," kataku, "yaudah, mangga. Pake aja uang yang ada di Akang. Aku masih ada uang, kok."

Kang Surya berterima kasih karena aku sudah mengerti dan ikhlas uang yang seharusnya dipakai kebutuhan rumah tangga, malah dipakai bayar utang Neng Rahma.

Kebiasaan buruk putri sambungku itu, jajan sesuka hati di kantin sekolah, dan memberikan tagihannya pada Kang Surya.

Sebagai orang tua, tentu saja Kang Surya bertanggung jawab atas itu.

Sudah sering dikasih tahu, sering diperingatkan, tapi Neng Rahma tidak berubah. Seperti sengaja membuang-buang uang, agar suamiku tidak memberikan hasil kerjanya untukku, dan hanya untuk dia saja.

Jahat, memang. Tapi, yasudahlah. Mungkin sudah nasib diri menikah dengan seorang duda dengan anak gadis berusia tujuh belas tahun.

"Kang, apa tidak sebaiknya ditelepon dulu Neng Rahma-nya? Suruh ke sekolah bareng," kataku, saat melihat Kang Surya sudah bersiap untuk pergi.

"Sudah Akang coba, tapi tidak aktif terus. Sudahlah, sendiri aja. Kecuali, kalau kamu mau ikut ke sana. Ayo, kita pergi."

"Boleh, Kang?" tanyaku memastikan.

"Boleh, atuh. Sini, Saga biar aku ajak main dulu, kamu sekarang ganti baju. Akang tungguin di luar, ya?" ujar Kang Surya, lalu mengambil Sagara dari gendonganku.

Karena memang belum pernah datang ke sekolah Neng Rahma, aku pun merasa ada keinginan untuk pergi ke sana. Hingga akhirnya, tawaran Kang Surya tidak aku tolak sama sekali.

Aku mengganti pakaian dengan yang lebih bagus dan rapi, lalu memoles wajah ini dengan sedikit bedak dan lipstik di bibir.

Setelahnya, aku keluar menemui suamiku.

"Aduh ... cantiknya si Ibu. Coba lihat, cantik, 'kan?" ujar Kang Surya, seraya membalikkan tubuh Saga, agar melihat ke arahku.

Aku tersipu mendengar pujian yang terlontar dari bibirnya. Meskipun dia tidak pelit kata-kata manis untukku, rasanya tetap saja selalu membuat jantung ini berdebar.

"Jangan liatin aku kayak gitu, Kang. Ayo, berangkat. Keburu kakiku berubah jadi duyung, nih. Udah gak ada jari-jarinya sebelah."

"Eh, hus! Kalau ngomong suka diperjelas," ujar Kang Surya, membuatku menepuk lengannya seraya tertawa.

Kami pun berangkat bertiga ke sekolah Neng Rahma, dengan menunggangi kuda besi yang usianya tak lagi muda. Sama seperti pemiliknya.

Sesampainya di sekolah, kami tak langsung ke kantin, tapi menemui guru-guru untuk bersilaturahmi, juga menanyakan jika sekiranya ada biaya yang belum dibayarkan oleh Neng Rahma.

Alhamdulillah tidak ada, semuanya beres jika tentang sekolah. Maka kami pun pergi ke kantin, yang menjadi tujuan utama kami datang ke sini.

"Neng Rahma tidak aku lihat, Kang," kataku dengan mata menyapu pada beberapa kelompok siswi yang ada di sekitar sekolah.

"Palingan di rumahnya. Masih belajar rutin saja dia sering bolos, apalagi sudah bebas seperti ini? Pasti enggak ke sekolah dia." Kang Surya berucap dengan dingin.

"Ibu, Bapak, ini, loh catatan punya Neng Rahma selama beberapa bulan ini. Saya pernah, loh nagih ke rumahnya, tapi malah dimarahi sama ibunya. Aduh, saya kapok. Tadinya mau pasrah saja, tapi pas lihat Bapak dan Ibu datang, rasanya lega sekali. Silakan, dilihat dulu," ujar wanita yang tak lain pemilik kantin.

Aku dan Kang Surya mengalihkan pandangan dari murid yang ada di sini, pada buku yang wanita itu sodorkan.

Kulihat dengan teliti macam-macam makanan serta harga yang tertera dalam buku tersebut, hingga akhirnya sampai di bagian penjumlahan.

"Innalillahi ...!"

"Astaghfirullahaladzim ...!"

Aku dan Kang Surya berseru bersamaan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status