Share

Bab 6 Demi Bayar Utang

Mata saling melihat, dengan bibir saling terkatup rapat.

Di dalam hati, aku terus beristighfar melihat nominal utang Neng Rahma. Detik kemudian, embusan napas Kang Surya terdengar berat dan lesu.

"Jika tidak dilunasi sekarang, minimal setengahnya juga nggak apa-apa, Pak." Si pemilik kantin berucap lagi.

Sebelah tanganku mengusap tangan Kang Surya seraya mengangguk dan tersenyum ke arahnya.

Namun, suamiku itu tak membalas senyumku. Wajahnya memperlihatkan kebingungan serta rasa terkejut yang begitu kentara.

"Syah, aku cuma pegang tiga ratus ribu. Kamu ada tambahannya?" Kang Surya mulai bicara.

"Ada satu juta di aku, Kang."

Lagi-lagi Kang Surya mengembuskan napas dengan begitu berat. Uang yang ada pada Kang Surya, juga ada padaku, belum bisa menutupi utang Neng Rahma, yang jumlahnya dua juta lima ratus ribu rupiah.

Allah .... Ingin sekali aku berbicara, menanyakan bagaimana cara anak itu jajan hingga memiliki utang yang banyak?

Namun, aku sadar posisi. Malu rasanya jika protes, sedangkan segala kebutuhanku pun ditanggung Kang Surya, yang tidak lain ayah kandung Neng Rahma. Aku tidak punya penghasilan. Tidak membantu perekonomian rumah tanggaku sendiri.

"Kang, berikan saja semua yang ada di Akang, sama aku," lanjutku.

"Lalu kita?" Kang Surya menatap dengan mata berkaca.

"Sudah. Berikan saja. Insya Allah, masih ada rezeki kita yang belum Allah antarkan ke rumah. Dan ... aku ada sedikit simpanan," kataku, kemudian mengeluarkan uang satu juta dari dalam tas.

Uang satu juta tiga ratus sudah berpindah tangan pada pemilik kantin. Kami pun pamit pulang setelah meminta maaf atas apa yang dilakukan Neng Rahma, yang mungkin sangat merugikan penjual itu.

Kang Surya menggandeng tanganku saat keluar dari kantin, sampai kami berada di tempat parkir.

Sebelum naik ke atas motornya, Kang Surya melihatku lumayan lama, dengan ekspresi yang tidak bisa aku gambarkan maksudnya.

"Kang ...."

"Makasih," katanya.

"Untuk apa?"

"Sudahlah, ayo kita pulang. Kasihan, Saga kepanasan," tutur Kang Surya, lalu dia mulai menyalakan motornya.

Aku pun naik dan duduk di belakang pria itu, memeluk pinggangnya dengan sebelah tangan. Sedangkan tanganku yang satunya, memeluk Sagara yang aku gendong menggunakan kain jarik.

Tidak seperti saat dalam perjalanan ke sekolah yang di selangi obrolan kecil, kali ini kami diliputi kebisuan.

Apalagi penyebabnya, kalau bukan karena kami terjebak dan merasa kaget saat melihat nominal utang Neng Rahma.

Dua juta setengah bukan uang sedikit bagi keluargaku. Dan sekarang, kami harus membayar utang yang makanannya tidak kami nikmati sedikit pun.

"Alhamdulillah ... sampai," kataku seraya turun dari motor Kang Surya.

Aku masuk terlebih dahulu karena ternyata putraku sudah terlelap dalam gendongan.

Dengan pelan, aku menyimpan bayiku di atas karpet yang ada di ruang tengah rumah kami.

Kang Surya masuk, dia menutup pintu, kemudian duduk seraya menyugar rambutnya.

"Bagaimana ini, Syah?" ucapnya, "aku kira utangnya cuma tiga ratus ribu seperti waktu itu. Ternyata ...."

"Sudah, Kang. Jangan dipikirkan terus, jangan dibahas terus. Mendingan sekarang, Akang pergi ke toko perhiasan, jual cincin emas aku. Kita tidak punya uang lagi, kan?"

"Aisyah ...."

Aku mengangguk. Cepat aku pergi ke kamar, mengambil cincin emas yang tiga tahun lalu menjadi mas kawin pernikahan kami.

Sengaja tidak aku pake, karena memang tidak ingin menunjukkan punya perhiasan pada orang lain.

Selain tidak percaya diri dan meras tidak pantas memakai perhiasan karena cara jalanku jelek, aku juga menghindari kecemburuan Neng Rahma padaku.

Aku kembali dengan cincin beserta surat-suratnya, lalu memberikan itu pada Kang Surya.

"Sebaiknya jangan, Syah. Aku cari pinjaman saja, ya? Ini kamu simpan lagi aja."

"Pinjem ke siapa, Kang? Emangnya ada, orang yang mau minjemin kita uang? Daripada pinjem ke orang, pake aja yang ada. Kalau utangnya lunas, kita pun tenang, Kang," ujarku lagi.

"Aku gak enak sama kamu, Syah. Maaf, ya? Lagi-lagi anakku menjadi duri dalam rumah tangga kita."

"Hus, jangan bicara gitu, Kang. Mana ada anak jadi duri. Sudah, mendingan tenangkan pikiran Akang, kalau sudah merasa tenang, pergi jual ini, ya?"

Kang Surya mengangguk lemah. Dia mengambil cincin yang sudah aku masukan ke dalam plastik kecil, lalu memasukkannya ke kantong celananya.

Habis dzuhur, Kang Surya pun pergi ke toko perhiasan yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal kami ini.

Sembari menunggu Kang Surya, aku pergi ke rumah Mak Nia untuk sekedar menghibur hati yang lara.

"Sekarang Surya ke mana, Syah?" tanya Mak Nia.

"Ke toko emas, Mak. Aku suruh dia jual cincin mahar pernikahan kami."

"Yang sabar saja, mungkin sekarang rumah tanggamu sedang diuji. Harus kuat, ya?"

Aku mengangguk kecil.

Sedari awal menikah, masalah rumah tanggaku terus saja tentang Neng Rahma. Sempat terbesit dalam hati, menginginkan anak itu pergi jauh saja dari kami.

Namun, lagi-lagi aku ditampar oleh kenyataan. Aku menikah dengan seorang duda, yang jika aku mencintai pria itu, maka harus menerima juga masa lalunya. Yaitu anaknya dari pernikahan terdahulu.

"Kamu sudah masak belum? Jika belum, simpan Saga di sini, dan pergi masak untuk makan suamimu nanti," tutur Mak Ina lagi.

"Emangnya, Emak gak akan pergi ke mana, gitu?"

"Tidak. Sana, beres-beres rumah dan masak. Jangan buat suamimu semakin tertekan dengan keadaan rumah yang berantakan. Buat dia nyaman di istana kalian. Berikan ketenangan hati agar tubuh lelahnya segar kembali."

Aku diam mencerna wejangan Mak Ina. Kepala aku anggukan, kemudian pergi meninggalkan Sagara bersama wanita yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri.

Seperti yang Mak Nia katakan, aku pun membereskan rumah yang sedikit berantakan dengan mainan dan makanan Saga.

Sampai bekas cemilan aku kumpulkan, kemudian memasukkannya ke dalam plastik. Aku membawa sampah itu ke bawah pohon kersen, tempat biasa aku membakar sampai plastik dan kertas.

"Eh, itu kayak ...." Aku menggantung ucapanku saat melihat amplop putih yang sudah terbakar sebagian.

Tangan terulur mengambil sisa amplop, lalu mengambil kertas dari dalamnya yang sudah tidak utuh juga.

"Ini surat dari Neng Rahma?" kataku lagi.

Aku meniup, membuang bagian yang sudah menjadi abu. Mata aku lebarkan, memperjelas penglihatan pada bagian yang mengusik hati.

"Tolong bebaskan aku, Pak."

Aku mengucapkan empat kata di bagian akhir yang membuat mataku menyipit.

"Bebaskan? Bebaskan dari apa? Dari utang?" Aku bergumam.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status