Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah

Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah

By:  Pena_yuni  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
34Chapters
3.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Menjadi ibu tiri itu tidak mudah, apalagi jika si anak tiri tidak mau menerima kehadirannya, bahkan sampai menghina ketidaksempurnaan yang dimiliki. Itulah yang dirasakan Aisyah, ibu sambung dari Neng Rahma. Fisik yang cacat, membuat dia sulit diterima oleh anak gadis suaminya. Kata makian serta hinaan selalu dia dapat, membuat rasa sakit hati semakin berkarat. Namun, kedatangan Neng Rahma di pagi itu membuat Aisyah merasa ada yang tidak beres dengan putri sambungnya itu. Neng Rahma yang biasa datang dengan wajah ketus, kini dia datang dengan mata sendu dan wajah pucat. Permintaan yang terlontar dari bibir gadis itu pun membuat Aisyah tidak percaya sekaligus curiga, jika sesuatu telah terjadi pada Neng Rahma. Apakah permintaan Neng Rahma itu? Dan mampukah Aisyah si ibu tiri mengabulkan permintaan Neng Rahma?

View More
Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
34 Chapters
Bab 1 Permintaan Anak Tiri
"Minta uang, dong, Pak!" Kaki yang hendak melangkah masuk, kuurungkan saat mendengar suara seorang perempuan dari dalam rumah. Tadi, aku harus ke warung untuk membeli kopi. Dan saat kembali, ternyata rumah kami kedatangan tamu. "Rahma, Bapak belum punya uang. Hasil laut Bapak, juga sedang sepi. Nanti kalau sudah ada uang, Bapak sendiri yang akan antar uangnya ke sana. Sekarang kamu sabar dulu, ya?" "Sabar? Enggak bisa atuh, Pak! Seragam sama sepatuku sudah jelek!" Suara wanita itu meninggi. Neng Rahma namanya, anak kandung dari suamiku. Aku sampai memegangi dada karena kaget. Anak itu selalu saja pakai urat jika bicara dengan ayahnya. Padahal dia cantik, manis, tapi sayangnya cara bicara Neng Rahma sama seperti ibunya. "Pakai yang lama, kan masih bisa, Neng?""Udah jelek, Pak!" ujar Rahma lagi. "Bapak ini jadi pelit sejak nikah sama si pin cang itu. Jangankan ngasih uang banyak, untuk beli keperluan sekolah aja, Bapak perhitungan.""Bukan perhitungan, tapi saat ini memang belum
Read more
Bab 2 Amplop untuk Kang Surya
"Lauknya hanya dengan ikan, gak apa-apa, Neng?" lanjutku, setelah tadi menggantung ucapan. "Nggak apa-apa, Bu. Nasi tanpa lauk juga enggak apa-apa, kok." Neng Rahma menjawab cepat pertanyaanku. Sebagai seorang ibu, hatiku merasakan ada yang tidak beres dengan Neng Rahma. Aneh. Dia seperti bukan Neng Rahma yang sering aku jumpai. Mata tajam ketika dia melihatku, kini berubah sendu dengan penuh harap dan ratap. Ada apa sebenarnya dengan Neng Rahma? "Ya–yasudah, mari, ikut Ibu ke dapur." Aku berucap terbata. Tanpa berucap lagi, Neng Rahma langsung berdiri dan mengekor di belakangku. Dia aku persilakan duduk di kursi plastik yang menghadap ke meja kayu. Aku mengambil piring, mengeluarkan gulai ikan hasil tangkapan Kang Surya kemarin malam. Lalapan serta sambal pun turut aku suguhkan pada putri sambungku yang tengah diam seraya menatap makanan di atas meja. "Dimakan, Neng. Maaf, cuma ada ini di rumah Ibu," kataku. Neng Rahma mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya berkaca-kaca
Read more
Bab 3 Mantan Istri Kang Surya
"Tidak, tidak boleh seperti ini, Aisyah!" Aku memejamkan mata seraya terus beristighfar. Ini salah. Aku tidak boleh membuka sesuatu yang diamanahkan orang lain. Cepat aku berdiri, menyimpan amplop dari Neng Rahma ke dalam bufet agar tidak terlihat dan menghadirkan keinginan untuk membukanya. "Ya Allah ... astaghfirullahaladzim," ujarku lagi. Saga melihatku tak mengerti. Bayi itu masih anteng dengan mainan di tangannya, lalu merangkak mengambil mainan lainnya. Aku duduk, menyesali perbuatan yang hampir menjadikanku manusia munafik yang tidak bisa menjalankan amanah. Tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, hari ini waktu terasa lambat. Aku terus saja melirik jam dinding, berharap malam segera datang. Apa lagi alasannya kalau bukan ingin suamiku cepat pulang. Dengan begitu, rasa penasaran akan pemberian Neng Rahma, akan segera aku ketahui. "Sah!" Suara seseorang memanggil, membuatku menoleh ke arah pintu. Dari suaranya aku sudah tahu jika Mak Nia lah yang memanggilku.
Read more
Bab 4 Ekspresi Kang Surya
"Tadi Neng Rahma ke sini, Kang." Lelaki empat puluh tiga tahun itu melihat padaku sejenak, kemudian dia kembali menikmati makan malam yang aku suguhkan. "Minta uang?" tebaknya. "Minta makan."Kang Surya tertawa seraya melihat ke arahku yang menyipitkan mata. Masih dengan diiringi tawa Kang Surya, aku duduk di samping dia, menemaninya makan. "Kamu bisa aja jawabnya, Syah. Iya, sih, harusnya aku gak nanyain itu. Karena jawabannya pasti sudah sangat mudah ditebak. Uang memang jadi tujuan anak itu. Iya, kan?" lanjut Kang Surya. Aku mengembuskan napas kasar seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik. Sengaja aku menunda menceritakan tentang Neng Rahma, sampai suamiku itu selesai makan. Rasanya tidak tepat jika membicarakan sesuatu di saat suamiku tengah kelaparan. Makanya, aku menungguinya, setia berada di sampingnya sampai piring yang tadi aku isi, tidak menyisakan satu butir nasi pun. "Alhamdulillah .... Selalu tidak pernah gagal masakan istriku ini. Terima kasih,
Read more
Bab 5 Catatan Utang Neng Rahma
"Mana amplop tadi, ya?" Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya. Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya. Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu. "Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah. Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya. Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut. Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun. Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku. Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu. "Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Sury
Read more
Bab 6 Demi Bayar Utang
Mata saling melihat, dengan bibir saling terkatup rapat. Di dalam hati, aku terus beristighfar melihat nominal utang Neng Rahma. Detik kemudian, embusan napas Kang Surya terdengar berat dan lesu. "Jika tidak dilunasi sekarang, minimal setengahnya juga nggak apa-apa, Pak." Si pemilik kantin berucap lagi. Sebelah tanganku mengusap tangan Kang Surya seraya mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Namun, suamiku itu tak membalas senyumku. Wajahnya memperlihatkan kebingungan serta rasa terkejut yang begitu kentara. "Syah, aku cuma pegang tiga ratus ribu. Kamu ada tambahannya?" Kang Surya mulai bicara. "Ada satu juta di aku, Kang."Lagi-lagi Kang Surya mengembuskan napas dengan begitu berat. Uang yang ada pada Kang Surya, juga ada padaku, belum bisa menutupi utang Neng Rahma, yang jumlahnya dua juta lima ratus ribu rupiah. Allah .... Ingin sekali aku berbicara, menanyakan bagaimana cara anak itu jajan hingga memiliki utang yang banyak? Namun, aku sadar posisi. Malu rasanya jika protes,
Read more
Bab 7 Isi Surat yang Sebenarnya
"Lagi apa, Syah?" Aku menoleh pada pria yang baru saja turun dari sepeda motornya. Dia menghampiriku yang masih mematung di dekat tempat sampah. "Kamu ngapain berdiri di sini? Jangan bakar sampah jam segini, angin masih kenceng, asapnya nanti masuk ke rumah," ujar Kang Surya lagi. "Aku bukan untuk bakar sampah, Kang. Tapi ... apa malam itu Akang baca semua pesan dari Neng Rahma?" Kini aku yang bertanya. Kang Surya mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang mungkin terasa aneh untuk dijawab. Aku mengulang pertanyaan yang sama, berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hati. "Enggak, sih. Lagian, dari atasnya sudah bahas utang, pasti ke bawahnya juga tentang uang, Syah. Sudahlah, ngapain terus dibahas lagi, sih? Kata kamu, enggak boleh diomongin lagi, tapi kamu sendiri malah terus mengulang pembahasan yang sama. Ini, uang penjualan cincin." Kang Surya memberikan uang padaku. "Astaghfirullahaladzim, Akang ...." Aku mengusap wajah, kemudian menatap Kang Surya dengan dada
Read more
Bab 8 Memikirkan Neng Rahma
"Akang tahu, Teh Salsa kerja di mana?" Aku balik bertanya."Di kota.""Iya, di kota. Kerjanya apa, Akang tahu?" tanyaku lagi. "Tadi Kang Marwan bilang, jadi pemandu lagu di tempat karaoke. Ya, terus kenapa jika di tempat karaoke? Kan, kerjanya cuma nganterin minuman ke pengunjung, kan?" Aku menggelengkan kepala seraya tersenyum sinis pada Kang Surya. Ternyata suamiku itu tidak tahu tentang dunia yang sekarang tengah dijelajahi mantan istrinya. Dalam pikirannya, tempat karaoke itu sama seperti kafe. Padahal, mungkin lebih dari itu. Iya, aku juga tahu tidak semua tempat karaoke kelam. Tidak semua pemandu lagu nakal, tapi tidak jarang juga ada pengelola tempat usaha tersebut yang menjajakan wanita untuk pelanggannya. Dan aku yakin, itulah pekerjaan Teh Salsa sekarang. "Tidak mungkin Salsa menjerumuskan anaknya sendiri, Syah," ujar Kang Surya, saat aku mengatakan kemungkinan yang terjadi dengan Neng Rahma. "Aku juga tidak ingin berpikir ke arah sana, Kang. Tapi, setelah kemarin mel
Read more
Bab 9 Neng Rahma Kerja di Jakarta?
"Sah, sini!" Tangan Teh Dela melambai ke arahku. Dia bersama putrinya yang berusia lima tahun, tengah duduk di teras rumahnya seraya menghadap makanan serta segelas kopi. Aku tidak ingin menghampiri, tapi untuk menolak pun tidak punya alasan. Akhirnya, aku membawa Saga ke rumah Teh Dela, dan duduk lesehan bersama si tuan rumah. "Tadi Kang Dani ngapain, Sah?" tanya Teh Dela kemudian. "Nanyain Kang Surya. Tidak tahu mau apa. Katanya urusan laki-laki.""Oh ...." Teh Dela membulatkan mulut seraya mengangguk. Wanita yang selalu tampil cantik dengan rambut pirangnya itu menawariku makanan yang dia punya. Namun, aku menolaknya. Bukan jijik, tapi karena belum mau makan apa pun. Hanya Sagara saja yang makan biskuit dari tangan anaknya Teh Dela. "Sah, katanya kemarin kamu ke sekolahan si Rahma, ya?" tanya Teh Dela lagi. "Aku tahu dari adik iparku. Katanya, kamu bayar utang bekas jajan anak tirimu itu?" Aku mengangguk dengan senyum tipis. Ada penyesalan kenapa tadi aku tidak langsung m
Read more
Bab 10 Rencana Menjemput Neng Rahma
"Waalaikumsalam." Aku dan Kang Marwan menjawab bersamaan. "Loh, kok Akang sudah pulang? Enggak turun?" lanjutku, bertanya pada pria yang tak lain adalah suamiku sendiri.Iya, Kang Surya lah yang menghampiri aku dan Kang Marwan di warung. Dia duduk di belakangku, membuat tubuh ini bergeser agar tidak memunggunginya. "Tadinya mau turun, tapi gak jadi." "Kenapa, Sur? Kini Kang Marwan yang bertanya. "Tidak apa-apa, Kang. Lagi gak pengen aja. Ngomong-ngomong, ini pada ngapain nongkrong di warung?""Tadinya, aku mau ke rumah kamu, Sur. Tapi, karena tahu jam segini kamu pasti di laut, akhirnya aku mampir saja ke warung untuk ngopi. Nah, kebetulan Aisyah ke sini mau beli garem, katanya. Aku ajak duduk aja, karena ada sesuatu yang ingin aku bahas." Kang Marwan menjelaskan. Suamiku manggut-manggut. Karena sudah ada Kang Surya, akhirnya Kang Marwan meminta kami untuk bicara di rumah saja. Aku pun langsung membeli bumbu dapur yang tadi sempat tertunda, kemudian pulang dengan dibonceng Kang
Read more
DMCA.com Protection Status