Share

Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah
Ketika Anak Sambungku Tiba-tiba Berubah
Author: Pena_yuni

Bab 1 Permintaan Anak Tiri

"Minta uang, dong, Pak!"

Kaki yang hendak melangkah masuk, kuurungkan saat mendengar suara seorang perempuan dari dalam rumah.

Tadi, aku harus ke warung untuk membeli kopi. Dan saat kembali, ternyata rumah kami kedatangan tamu.

"Rahma, Bapak belum punya uang. Hasil laut Bapak, juga sedang sepi. Nanti kalau sudah ada uang, Bapak sendiri yang akan antar uangnya ke sana. Sekarang kamu sabar dulu, ya?"

"Sabar? Enggak bisa atuh, Pak! Seragam sama sepatuku sudah jelek!" Suara wanita itu meninggi. Neng Rahma namanya, anak kandung dari suamiku.

Aku sampai memegangi dada karena kaget. Anak itu selalu saja pakai urat jika bicara dengan ayahnya.

Padahal dia cantik, manis, tapi sayangnya cara bicara Neng Rahma sama seperti ibunya.

"Pakai yang lama, kan masih bisa, Neng?"

"Udah jelek, Pak!" ujar Rahma lagi. "Bapak ini jadi pelit sejak nikah sama si pin cang itu. Jangankan ngasih uang banyak, untuk beli keperluan sekolah aja, Bapak perhitungan."

"Bukan perhitungan, tapi saat ini memang belum ada, Neng."

"Bohong!" ujar Neng Rahma tidak percaya. "Pasti Bapak dilarang ngasih uang ke Neng, oleh si pin cang itu, kan?"

"Cukup, Rahma!"

"Akang!" Aku yang sedari tadi berdiri di luar, merangsek masuk ketika melihat Kang Surya beridiri dengan mata nyalang ke arah putrinya.

Yang aku takutkan, suamiku memukul putrinya yang baru saja menghinaku.

Iya, pasti karena ucapan Neng Rahma yang itu, yang membuat Kang Surya marah. Lagi-lagi Rahma menghina fisikku.

Ini bukan yang pertama Neng Rahma mengataiku. Sudah sering, bahkan sejak aku menikah dengan ayahnya, tiga tahun yang lalu.

Fisikku memang tidak sempurna. Sebelah kakiku tidak memiliki jari, juga sedikit panjang sebelah, hingga membuat cara jalanku tidak seperti orang pada umumnya.

Pin cang. Memang seperti itulah caraku berjalan.

"Istighfar, Kang. Jangan terbawa emosi," kataku, seraya mengusap-usap dada Kang Surya.

Neng Rahma berdiri. Dia menatapku benci seraya melipat kedua tangannya di perut.

"Bu, pasti kamu, kan yang sudah larang Bapak ngasih uang untukku? Jahat banget, kamu! Sudahlah merebut Bapak, sekarang kamu juga menguasai uangnya Bapak!"

"Astaghfirullah ...."

"Rahma, diam!"

Aku beristighfar, sementara Kang Surya kembali tersulut emosi hingga kakinya melangkah mendekati putrinya.

Lagi-lagi aku menahannya. Aku tidak mau Kang Surya berbuat kasar pada anak kandungnya itu.

"Berhenti menghina Aisyah. Bagaimanapun juga, dia ibumu, Neng."

"Ibu tiri! Ingat, ya Pak. Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai ibuku. Amit-amit aku punya ibu ca*at kayak gitu!" ujar Rahma, lalu berlalu keluar dari rumah kami.

"Astaghfirullahaladzim ...."

Kang Surya menjatuhkan tubuhnya di kursi seraya memijit keningnya.

Aku ikut duduk setelah suara motor matic Neng Rahma menjauh dari rumah. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Lama aku diam, hingga akhirnya Kang Surya menatapku seraya menggenggam tangan ini.

"Syah, maafkan Neng Rahma, ya? Lagi-lagi dia melukai hatimu," ujarnya dengan mata yang memerah.

Entah masih ada sisa amarah, entah karena dia sedih dengan hinaan yang dilontarkan putrinya padaku.

"Kang, tidak usah minta maaf, aku tidak apa-apa, kok." Tanganku membalas genggaman tangannya.

"Bibirmu tidak, tapi aku tidak tahu isi hatimu yang sebenarnya, Syah. Maafkan dia, ya?" ujar Kang Surya lagi.

Aku mengangguk lemah.

"Bukan hinaan dia yang membuat aku sakit hati, Kang. Tapi, tuduhannya yang mengatakan aku merebutmu darinyalah, yang membuatku tidak terima. Aku juga tidak pernah melarangmu memberikan uang pada dia, kan? Berapa pun itu."

"Maaf, Syah. Aku benar-benar minta maaf. Sejak menikah denganku, hanya luka hati yang kamu dapat. Entah harus dengan cara apa lagi aku membuat Neng Rahma menerima keberadaan kamu. Padahal, kamu baik, kamu lebih baik malah dari ibunya."

"Kan, aku pin cang, Kang. Itu yang Neng Rahma tidak suka dariku."

"Bagiku, cacat pisik tidak masalah, asal jangan cacat hati seperti ibunya Neng Rahma," ujar Kang Surya membuat mataku menyipit menatapnya. Lagi-lagi dia membawa-bawa mantan istrinya.

Pria yang aku tatap terkekeh. Kebekuan yang sempat terjadi, mencair juga dan suasana rumah menjadi hangat kembali.

Tidak berapa lama, Kang Surya pun pamit melaut. Sedangkan aku, segera pergi ke rumah Mak Nia, untuk mengambil bayiku yang tadi aku titipkan sebelum ke warung.

Jika kata Kang Surya aku hanya mendapatkan luka hati sejak menikah dengannya, tapi menurutku tidak. Ada bayi berusia lima bulan buah cinta kami yang membuatku selalu bahagia. Bahagia tak terkira karena dia lahir dengan fisik sempurna, tidak ca*at sepertiku.

"Sah, anak tirimu minta uang lagi?" tanya Mak Nia, tetanggaku yang sudah kuanggap ibu sendiri. Ia tukang urut di desa ini, makanya semua orang memanggilnya dengan sebutan 'Emak'.

"He'em, Mak. Biasalah, anak gadis banyak kebutuhannya." Aku tersenyum seraya memberikan ASI untuk anakku.

"Ck, baru juga tiga hari yang lalu dia datang, sekarang sudah datang lagi. Dipake apa, sih duitnya? Jangan-jangan ... dia disuruh ibunya, Sah."

"Ah, aku gak berani berpikir seperti itu, Mak. Takut salah duga."

Mak Nia berdecak seraya menyimpan kain jarik di pangkuanku.

Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya, lalu kembali dengan tape singkong beserta teh yang masih mengeluarkan asap dari dalam cangkir.

Perpaduan yang sempurna. Seperti aku dan Kang Surya, hingga akhirnya menghasilkan bayi laki-laki yang lucu dan menggemaskan.

*

Dua minggu telah berlalu dari kejadian waktu itu, Neng Rahma belum datang lagi.

Entah ada apa dengan hatiku, tiba-tiba saja ingat anak itu. Biasanya, dia datang dua atau tiga hari sekali, karena jarak rumahnya dan rumahku tidaklah terlalu jauh.

Akan tetapi, kali ini dia tak datang-datang. Jika diingat-ingat, ini waktu terlama Neng Rahma tidak meminta uang dari ayahnya.

"Kang, Neng Rahma sekarang jarang ke sini. Apa kamu melarangnya?" tanyaku pagi ini, sebelum Kang Surya pergi melaut.

Suamiku itu seorang nelayan. Dia turun ke laut pagi hari, lalu kembali malam. Bisa juga sebaliknya. Tergantung cuaca dan kondisi laut itu sendiri.

"Mana ada Akang larang, Syah? Emangnya dia anak kecil, yang bisa dilarang?" ujarnya dingin.

"Kalau gitu, Akang lihatlah dia di rumahnya. Takutnya dia sakit. Uang yang buat dia pun, sudah aku kumpulkan dan simpan. Bawa sekalian, ya?" kataku lagi.

"Enggak, ah. Nanti saja. Atau besok, deh. Biar Akang telpon dulu. Sekarang, Akang berangkat, ya? Jangan beberes kalau sekiranya Saga rewel. Biarin aja rumah berantakan juga, rumah sendiri ini."

"Iya," kataku seraya mengambil tangan Kang Surya yang baru saja mengelus kepalaku. Aku mencium punggung tangan suamiku, lalu dia pun pergi setelah mencium pipi putranya.

Satu jam telah berlalu, semua pekerjaan rumah sudah aku selesaikan. Saga seperti biasa aku titipkan pada Mak Nia selama aku beres-beres di rumah.

Niat hati ingin pergi ke rumah Mak Nia untuk mengambil Saga, tapi tidak jadi setelah melihat siapa yang datang.

Panjang umur. Baru saja dibicarakan dengan ayahnya, Neng Rahma akhirnya datang juga.

Gegas aku masuk ke kamar, mengambil uang yang aku kumpulkan selama dua minggu hasil laut Kang Surya.

"Bu," panggilnya ketus. Dia duduk di kursi seraya menekuk wajah.

Aku sudah biasa. Setidaknya, dia masih memanggilku dengan sebutan ibu.

"Neng, ke mana aja baru kelihatan? Sakit?" tanyaku, memperhatikan wajahnya yang pucat.

"Enggak."

"Ini, uang titipan dari Bapak," kataku seraya menyimpan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.

"Makasih."

Satu kata yang selama ini belum pernah aku dengar terlontar dari bibir Neng Rahma. Aku membeku, kemudian mengangguk.

"Sebenarnya ... aku ke sini bukan mau minta uang, Bu."

"Lalu?" tanyaku.

"Aku ...." Neng Rahma terlihat gugup.

"Bicara saja, Neng."

"Aku mau minta makan, boleh, gak Bu?"

Makan?

Neng Rahma yang anti dengan segala makanan dariku, sekarang minta makan?

Bibir ini terkatup rapat dengan mata menatap wajah Neng Rahma yang pucat. Dia menggigit bibir dengan jari-jari saling bertautan.

Benarkah ini Neng Rahma, anak tiri si lidah berduri? Dan haruskah aku menyuruhnya pergi saja, agar dia merasakan sakit hati seperti yang sering aku rasakan?

"Bu." Dia menatapku sendu.

"Punten, Neng. Tapi ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status